Rio mengerang kecil ketika mendengar ponselnya berbunyi beberapa kali.
"Siapa sih?" geram Rio sembari meraba-raba bawah bantalnya.
"Hallo" Rio dengan suara serak khas bangun tidur.
"Ke kelab yuk." ajak suara di seberang.
"Memang sekarang jam berapa sih?" Rio masih berusaha membuka matanya dengan sempurna.
"Sudah jam delapan oon."
"Huh... Gue baru bangun nih, Bal. Kepala gue pusing." Rio mendudukkan tubuhnya bersandar pada ranjang.
"Buruan ke sini, gue tunggu." Rio mendengus ketika Ikbal sudah lebih dulu mematikan sambungan telefonnya.
Rio memilih beranjak ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Perutnya pun sudah berkoar meminta diisi. Malam ini Rio akan pergi ke restaurant lalu melanjutkan pergi ke kelab menemui Ikbal yang sudah menunggunya.
***
Zita merasa kedinginan di luar rumah. Perutnya juga terasa perih karena belum diisi dari siang. Tidak ada penerangan, hal itu membuat tubuh Zita semakin bergetar hebat.
"Kak Rio, buka pintunya." ucap Zita lirih. Suaranya pun ikut bergetar karena kedinginan dan ketakutan. Zita sangat takut dengan gelap.
"Dingin." suara Zita semakin bergetar merasakan angin yang berembus tiada henti.
Zita membenamkan kepalanya ke antara lipatan lutut dan dadanya.
Cklek!
Zita mendongakkan kepalanya ke atas. Ternyata Rio yang baru saja membuka pintu. Zita cepat-cepat berdiri.
"Kak Rio mau ke mana?" tanya Zita.
Rio menatap tidak suka ke arah Zita. Pandangannya nyalang ke depan. Rio hampir saja melupakan bahwa ada Zita di luar rumah. Bukan melupakan, tapi Rio baru saja bangun karena mendapat panggilan dari Ikbal.
"Awas!" Rio menyingkirkan tubuh Zita dengan sekali dorong. Alhasil Zita jatuh tersungkur dan lututnya membentur pot keramik yang tadi ada di dekat Zita.
"Aw..." rintih Zita merasakan perih di bagian lututnya.
"Nih, kunci lo!" Rio melemparkan kunci yang sudah dia bagi menjadi dua.
"Kak Rio mau ke mana?" tanya Zita diiringi senyuman manisnya. Tanpa mempedulikan lututnya yang perih dan sikap Rio yang barusan kasar padanya.
"Berisik lo! Hidup hidup gue, tidak usah ikut campur!" Rio masih saja membentak Zita meskipun Zita bersikap baik padanya. Rio meninggalkan Zita begitu saja tanpa rasa bersalah.
"Heh ayam! Bukain gerbangnya!" suruh Rio dari jendela kemudi.
"I-iya, Kak." Zita langsung bangkit lalu membukakan gerbang untuk Rio.
Zita hanya melihat saja ketika Rio mengendarai mobilnya keluar rumah. Setelah mobil Rio benar-benar meninggalkan kediaman mereka, Zita kembali menutup dan menguncinya.
"Mending gue masak, sudah lapar banget." Zita memasuki rumah baru mereka untuk pertama kalinya.
***
Ulfa mendengus kesal ketika dirinya harus tidur dalam satu kamar dengan Refi malam ini. Semua ini karena keluarga Refi yang memutuskan untuk menginap satu malam di rumah baru Refi.
"Capek." desah Ulfa mendudukkan pantatnya ke sofa kamar milik Refi.
"Heh... Tidur lo di sofa. Jangan berani-beraninya tidur di ranjang gue." suara Refi terdengar menggema di kamarnya.
Ulfa merinding mendengar suara dingin dari Refi. Bulu kuduknya pun sudah berdiri karena takut. Ulfa seperti berada di sebuah labirin berhantu yang berada di mana-mana.
"Hem." sahut Ulfa acuh. Badannya sudah terlalu lelah untuk dipakai debat dengan Refi.
Ulfa memejamkan matanya sejenak. Ulfa ingin merelaksasikan badan sekaligus otaknya. Hati Ulfa sungguh sakit menerima kenyataan bahwa dirinya sudah resmi menjadi istri dari seorang Refi Immanuel. Perasaannya terharap Reno harus segera dihapus.
"Heh cewek manja, ambilkan gue minum." titah Refi setelah selesai dengan ritual mandinya.
Ulfa membuka matanya mengarah ke lelaki yang sudah sibuk dengan ponselnya di atas ranjang plus rambut basahnya.
"Iya, tunggu." Ulfa keluar kamar sembari menaikkan gaun pengantinnya yang sangat berat.
Ulfa menahan untuk tidak menggerutu sampai di luar kamar.
"Mau ke mana, Ul?" tanya bibi dari Refi.
"Mengambilkan Kak Refi minum, Bi." Ulfa tersenyum kepada bibi Refi.
"Oh, memang istri yang baik."
"Kan memang sudah kewajiban, Bi."
"Refi itu kalau lagi capek paling suka minum teh hangat gulanya satu sendok teh. Coba kamu buatkan deh, pasti dia suka." Rafena membelai sanggulan rambut Ulfa sayang.
"Aku bikin deh." Ulfa mengikuti anjuran dari Rafena membuatkan secangkir teh untuk Refi.
"Bibi tinggal ya." pamit Rafena menuju kamar tamu meninggalkan Ulfa yang masih berkutik dengan secangkir tehnya.
Ulfa hanya tersenyum menjawab Rafena tanpa berniat bersuara lagi.
"Heuh... Asli, kaki gue pegal banget." desah Ulfa merasakan tumit kakinya yang bengkak.
Selesai membuat teh untuk Refi, Ulfa langsung membawanya dengan susah payah. Beberapa kali Ulfa hampir terserimpat oleh gaunnya yang panjang.
"Nih, Kak." Ulfa meletakkan secangkir teh ke meja dekat ranjang Refi.
"Thank." jawab Refi tanpa berniat menengok ke Ulfa.
Ulfa membalikkan tubuhnya. Tapi naas, ketika Ulfa akan memutar tubuhnya. Ulfa terserimpat oleh gaunnya.
"Aa...!" teriak Ulfa pelan.
Ulfa terjatuh dalam pelukan Refi. Tubuh Ulfa tepat berada di depan Refi. Mata mereka bertemu dalam satu titik. Tangan Ulfa berada dalam d**a bidang Refi. Begitu juga tangan Refi yang menahan pinggang Ulfa.
"Maaf, Kak. Maaf." sadar atas posisinya, Ulfa langsung bangkit.
"Badan lo berat banget sih." gerutu Refi kesal, lalu beralih menatap ponselnya lagi.
"Ya maaf, Kak tidak sengaja." Ulfa buru-buru menjauh dari Refi.
Ulfa lebih memilih mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang sudah lengket di sana sini.
"Gue kenapa deg-degan pas tadi natap matanya Kak Refi ya? Ish... Matanya indah banget. Ditambah Kak Refi juga natap mata gue." Ulfa melihat pantulan tubuhnya yang sangat cantik pada cermin kamar mandi.
"Andai gue nikah sama orang yang gue sayang dan sayang sama gue." Ulfa menatap miris ke arah dirinya sendiri. Senyum miring tercetak dalam bibirnya.
Refi sendiri masih sibuk dengan ponselnya. Refi melihat chat dari sahabat-sahabatnya yang menanyakan ke mana dirinya. Refi tersenyum membaca kabar bahwa Rio bisa mengalahkan Viki dalam balapan semalam. Sayang sekali, Refi tidak ada di samping Rio ketika Rio balapan dengan Viki. Kepalanya kini menengok ke arah cangkir teh yang tadi dibuatkan oleh Ulfa. Mungkin teh itu hampir dingin. Refi sudah mendiamkannya selama lebih dari setengah jam.
"Ini teh enak tidak ya?" Refi langsung meminum teh buatan Ulfa.
"Uhuk... Uhuk..." Refi tersedak pada tegukan keduanya.
"Rasanya... Ah..." Refi meletakkan cangkir teh itu ke tempat asalnya lagi.
"Kenapa sama rasanya? Tidak enak ya? Sorry, itu tadi Bibi Rafena yang bilang kalau Kak Refi suka minum teh dengan gula satu sendok teh." Ulfa baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Refi yang tersedak oleh teh buatannya.
"Gue mau tidur. Ingat lo, tidur di sofa. Jangan tidur di sini." Refi membaringkan badannya setelah meletakkan ponselnya ke atas meja.
Bruk!
"Tuh buat lo." Refi melemparkan satu bantal untuk Ulfa tepat mengenai wajah Ulfa. Selesai melemparkan, Refi langsung menarik selimut dan menutup seluruh badannya menggunakan selimut.
"Apa selamanya gue bakalan diginiin terus sama lo? Sama suami gue sendiri? Gue tidak berharap lebih kok. Gue cuma ingin dihargai, tidak dicintai juga tidak apa-apa. Tidak akan protes, cuma please hargai gue sebagai istri lo, Kak." mohon Ulfa dalam hati. Tanpa sadar air mata Ulfa berjatuhan tanpa diminta.
Ulfa membawa bantal yang tadi dilemparkan oleh Refi lalu menuju sofa yang tidak jauh dari jangkauannya. Ini pertama kalinya Ulfa tidur di sofa. Ulfa sudah bisa menebak kalau besok ketika bangun, pasti badannya akan sakit semua. Ulfa rela tidur di sofa demi Refi. Supaya Refi menganggapnya ada, dan menghargainya. Biar Refi tak membenci atau marah padanya.
***
Devi mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan.
"Devi, akhirnya lo sadar juga." Nofal mendekati Devi yang terbaring di ranjangnya.
Devi kaget karena mendengar suara lelaki. Devi berusaha memulihkan kesadarannya meski pening kini melandanya.
"Jangan dipaksakan, Dev. Kalau masih lemas tiduran saja." Devi tersentak ketika merasakan Nofal memegangi bahunya.
"Kak Nofal, ngapain?" tanya Devi ketakutan.
Devi mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamarnya, lalu ini kamar siapa?
"Lo tenang, Dev."
"Gue di mana?" tanya Devi ketakutan.
"Lo di kamar gue, tadi lo pingsan pas kita di perjalanan pulang dari bioskop. Gue takut dimarahi nyokap lo, jadi gue bawa lo ke sini." jelas Nofal supaya Devi tak salah paham.
Memang setelah pulang kuliah, Nofal mengajak Devi menonton di bioskop sebagai ucapan terima kasih ke Devi karena kemarin malam Nofal sudah diajak makan malam di rumah Devi ketika mengantar Devi dari rumah sakit. Tapi apalagi jika bukan sebuah alasan semata. Karena tujuan Nofal masih satu. Memacari Devi dan meninggalkannya ketika Devi sudah benar-benar mencintainya.
"Kamar lo? Lo tide apa-apakan gue kan, Kak?" tatapan Devi penuh selidik ke arah kedua mata Nofal.
"Tidak, Dev." Nofal berusaha memegang bahu Devi. Namun Devi menjauh dari jangkauan Nofal.
"Mending sekarang Kak Nofal antar gue pulang. Ini sudah jam delapan, takut Mama khawatir." pinta Devi lalu beranjak dari ranjang Nofal dan menyambar tas selempangnya. Devi memakai wedges sebagai alas kaki mungilnya.
"Ya sudah, gue antar lo pulang. Tapi kita makan malam dulu ya." Nofal meraih kunci mobilnya dan berjalan mengikuti Devi yang sudah menuruni tangga rumahnya.
"Tidak Kak, gue harus pulang sekarang juga. Gue tidak mau bikin Mama tambah khawatir." tolak Devi tanpa menengok ke arah Nofal yang berjalan di belakangnya.
"Ya sudah, ok." Nofal menuruti saja permintaan Devi. Nofal tersenyum miring di belakang Devi.
***
Rio mendatangi Ikbal yang sudah memesan private room untuk mereka. Rio mendudukkan pantatnya tepat di sebelah Ikbal yang sedang bermesra-mesraan sama Irma.
"Curut lo, nyuruh gue ke sini cuma buat lihatin lo ciuman." Rio menampol kepala Ikbal yang sedang asik dengan Irma.
"Noh ada yang nganggur." tunjuk Ikbal pada cewek lain.
"Tidak minat gue." Rio menghempaskan badannya ke bahu sofa.
"Nofal sama Refi ke mana sih?" tanya Rio heran.
"Nofal lagi mengantar Devi pulang. Kalau si sipit gue tidak tahu." Ikbal kini beralih memfokuskan perhatiannya pada Rio.
"Lo kangen sama si sipit?" Ikbal menuangkan red wine pada sloki miliknya dan sloki baru untuk Rio.
"Tidak biasanya saja itu bocah menghilang tiba-tiba dan tidak ada kabar." Rio menerima sloki dari tangan Ikbal lalu meminumnya dengan sekali tenggak.
"Iya juga sih." Ikbal hanya manggut-manggut saja.
"Nofal mau ke sini?"
"Katanya sih mau, habis mengantar cewek sasaran pulang."
"Cewek sasaran?" Rio menaikkan sebelah alisnya sekejap lalu memanggut-manggutkan kepalanya mengerti.
"Hei bro." Rio maupun Ikbal menengokkan kepalanya ke arah sumber suara.
"Bagaimana? Lancar?" tanya Rio jahil.
"Ya beberapa langkah lebih maju sih. Gue sudah dapat respon baik dari keluarganya. Terus Devi-nya sendiri sudah tidak terlalu menghindar dari gue." jelas Nofal yang memilih duduk di samping Rio.
"Lo habis jalan, Fal?" Ikbal melongokkan kepalanya supaya Nofal bisa melihatnya.
"Tadi habis pulang ngampus langsung nonton. Eh pas gue mau mengantar dia pulang, dia malah pingsan. Ya sudah, gue bawa saja dulu ke kamar gue. Kalau gue antar pulang, gue takut dikira ngapa-ngapain anak orang." jelas Nofal membuat Rio dan Ikbal terbengong.
"Lo takut, Fal? Bukannya tiap malam lo selalu ngapa-ngapain anak perempuan orang ya?"
Nofal melotot karena pertanyaan Ikbal yang memang benar adanya.
"Ya tapi kan ini beda."
Rio tersenyum sinis mendengar jawaban Nofal tentang berbeda.
"Sama-sama cewek, Fal." komentar Rio menolehkan kepalanya ke Nofal.
"Cara mendapatkannya beda. Cewek lain mah tanpa gue yang minta, mereka sudah nyodorin duluan." Nofal ikut menuangkan red wine ke sloki baru di depannya.
"Lo tadi ngapain saja sama Devi?" Ikbal mulai penasaran.
"Ngapain? Orang dia pingsan. Tapi gue cium bibirnya sih bentar." cengir Nofal dengan wajah tanpa dosanya.
"Pasti tadi lo menahan godaan kan?" Rio menaik turunkan alisnya menggoda Nofal.
"Banget."
"Wkwkwk... Kasihan." Ikbal melempar kacang ke wajah Nofal.
"Eh, bagaimana hubungan lo sama istri lo itu?" tanya Nofal kepo.
"Iya, Yo. Cantik tahu tidak istri lo itu. Kalau gue jadi lo ya, tidak akan gue bolehin dia keluar rumah." Ikbal membayangkan jika dirinya menjadi Rio.
"Ambil saja sana kalau mau." Rio kembali menenggak red wine-nya.
"Lo kenapa sih kayaknya anti banget sama itu cewek. Padahal cantik loh." Nofal memusatkan wajahnya untuk menatap Rio yang tersenyum sinis ke arah lantai lalu menengokkan kepalanya ke arah Nofal dengan posisi masih menunduk.
"Dia tidak jauh beda sama cewek-cewek yang suka gue tidurin tiap malam." Rio kembali tersenyum miring ke arah Nofal.
"Maksud lo?" Ikbal kembali kepo.
"Dia dinikahkan sama gue karena dia butuh uang buat operasi Ayahnya. Apa namanya kalau bukan jual diri?" Rio beralih menengok ke Ikbal.
"Tapi kan dia sudah jadi istri lo, Yo. Lagi pula kan kata lo dia sama saja jual diri. Jadi ya sudah, manfaatkan saja. Lo tidak usah bayar cewek tiap malam." Nofal menepuk-nepuk bahu Rio.
"Gue muak sama tampang sok polosnya. Tampang saja polos, tidak tahunya sama saja. Kalau murahan ya murahan saja." Rio kini menenggak red wine dari botolnya langsung. Bukan dari sloki yang tadi dia pakai.
"Kalau gue pakai boleh?" tanya Ikbal membuat Rio menghentikan aksi menenggak red wine-nya.
"Pakai saja." jawab Rio seolah-olah menganggap jika Zita bukanlah hal berharga untuknya.
"Sayangnya gue masih punya kewarasan untuk tidak meniduri istri dari sahabat gue." balas Ikbal membuat Nofal tersenyum.
Rio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Serah, Bal." Rio kembali menenggak red wine-nya lagi. Bahkan Rio memesan vodka. Salah satu minuman yang memiliki kadar alkohol tinggi pula.
***
Zita gelisah menunggu Rio tak kunjung pulang. Zita hanya bisa menunggu dan menunggu. Zita sendiri tidak punya kontak Rio satu pun. Tidak mungkin Zita menanyakan nomor ponsel Rio kepada Hans. Yang ada malah Rio kena marah oleh Hans dan sesudahnya Rio yang akan memarahi Zita.
Tok! Tok! Tok!
Zita berjingkat kaget mendengar pintu utama diketuk. Zita segera berlari ke arah pintu utama.
Cklek!
"Kak Rio." Zita menutup mulutnya tak percaya ketika Ikbal dan Nofal membawa Rio dalam keadaan mabuk berat.
"Di mana kamarnya, Ta?" tanya Nofal yang terlihat juga sedang mabuk.
"Di atas, Kak." Zita berjalan duluan memandu Ikbal dan Nofal.
Zita membukakan pintu kamar mereka supaya Ikbal dan Nofal bisa masuk untuk membaringkan Rio ke ranjang.
"Hah... Berat banget sih." gerutu Ikbal setelah berhasil membaringkan Rio di ranjang.
"Kak Rio mabuk, Kak?" tanya Zita pada Ikbal dan Nofal.
"Iya, kalau tidak mabuk tidak mungkin teler begitu." jawab Nofal membuat Zita sedikit merutuki pertanyaannya.
"Ya sudah, gue pulang dulu. Sorry, kunci Rio tadi jatuh di dekat gerbang." pamit Ikbal keluar dari kamar.
"Terima kasih ya, Kak Nofal, Kak Ikbal." ucap Zita tulus sembari mengikuti mereka berdua dari belakang.
"Ok." jawab Nofal menoleh sekejap ke arah Zita.
Zita mengantar Ikbal dan Nofal sampai depan gerbang. Karena Zita juga harus menutup gerbang dan mengambil kunci milik Rio yang terjatuh. Zita memasuki rumah barunya, lalu menutup pintu dan menguncinya.
"Kak Rio kenapa mabuk sih?" tanya Zita pada dirinya sendiri.
Zita membuka pintu kamarnya lalu menatap Rio yang masih terbaring.
"Gue kangen lo, Ra." Zita mendengar Rio menggumam. Meski sangat lirih, tapi pendengaran Zita mampu menangkapnya.
"Ra? Siapa?" tanya Zita pada dirinya sendiri.
Zita mendekati Rio setelah menutup pintu kamar mereka. Zita berniat ingin melepas sepatu dan kaos kaki Rio yang masih menempel. Baru Zita memegang sepatu Rio, terasa ada pergerakan dari Rio.
"Ish... Apa sih lo ayam?!" tanya Rio beralih duduk menatap Zita tak suka.
"Cu-cu-ma... Mau... Buk." jawab Zita tergagap.
"Tidak usah pegang-pegang!" ucap Rio lantang dengan tangan menunjuk Zita. Meski tubuh Rio sempoyongan, tapi mampu membuat Zita ketakutan.
"Jauh-jauh lo dari gue!" bentak Rio kasar.
Zita terdiam tak berkutik mendengar Rio membentaknya. Lagi-lagi lelaki berwajah manis di depannya ini membuatnya sakit hati.
Kapan Rio akan membuatnya tersenyum? Ah, tidak-tidak. Rio selalu membuat Zita tersenyum ketika melihat Rio tersenyum meski bukan karenanya.
"Tidur lo di lantai ayam! Najis gue tidur seranjang sama lo." Rio melemparkan bantalnya tepat mengenai wajah Zita yang sudah basah oleh air mata. Persis seperti apa yang dilakukan Refi pada Ulfa. Hanya saja, Refi tidak berkata terlalu banyak.
Rio ambruk setelah melemparkan bantal itu pada Zita. Zita bahkan sudah bisa memastikan jika Rio sudah tidak sadar lagi.
Zita hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Kenapa mencintai seseorang semenyakitkan ini? Hati Zita serasa dicambuk berkali-kali setiap mengingat ucapan demi ucapan pedas yang keluar dari mulut Rio.
Zita merasakan lantai yang dia tiduri ini sangat dingin. Ditambah suhu AC di kamar mereka berada pada angka paling rendah. Sehingga menambah rasa dingin pada kamar mereka. Zita tidur tanpa beralaskan sehelai benang pun dan tanpa sehelai selimut menempel pada tubuh mungilnya. Tubuh mungilnya kini menggigil seperti hatinya yang serasa menggigil oleh perkataan Rio.
Kenapa cinta tak berpihak padanya sebentar saja. Meski hanya satu menit maka Zita akan mengingatnya seumur hidupnya.
***
Next...