Zita kembali dari membeli makanan untuk dirinya. Tangannya penuh dengan jinjingan keresek berisi makanan ringan. Ketika Zita baru saja masuk, Zita bisa melihat Rio sedang menikmati pizza sendiri. Senyum Zita merekah ketika melihat Rio makan dengan sangat lahapnya.
"Ish... Ngeselin." gerutu Rio menyadari kedatangan Zita.
"Kak Rio lahap banget makannya." Zita duduk di sofa jauh dari Rio.
"Tidak usah sok akrab lo sama gue." Rio memalingkan wajahnya ke arah lain.
Zita melengos menerima respon negatif dari Rio. Zita kira Rio akan menerimanya setelah Rio bisa bersikap baik kepada Nafita, Reno dan Faisal tadi.
"Ya sudah, Kak Rio lanjutkan saja makannya." Zita memilih memakan nasi kotaknya yang tadi dia beli.
Drt.... Drt... Drt...
Rio maupun Zita mengarahkan pandangan mereka ke arah ponsel Rio yang tergeletak di atas meja. Dengan segera, Rio mengangkat panggilan telfon dari Nofal.
"Hallo." jawab Rio ogah-ogahan.
"Lo masih di rumah sakit menemani istri cantik lo itu?" tanya Nofal di seberang dengan nada menggoda.
"Jaga ucapan lo atau lo mau gue tonjok itu bibir besok?" Rio mendenguskan nafasnya kesal ketika mendengar godaan sahabatnya.
"Masa lo malam pertama di rumah sakit sih? Pas enak-enaknya entar ada dokter sama suster masuk bagaimana?" Rio kembali mengembuskan nafasnya ketika mendengar godaan Ikbal.
Ternyata di sebelah Nofal ada Ikbal. Rio yakin, mereka memang sengaja menggodanya.
"Bibir lo berdua. Kalau mau ambil saja, tidak butuh gue cewek kayak begitu." ucap Rio tajam sembari melirik Zita sinis.
Zita yang sadar akan lirikan Rio lantas menundukkan kepalanya karena takut akan tatapan mata dari Rio. Sangat menakutkan dan sangat mengerikan.
"Yakin lo? Boleh dibagi sama kita?" tanya Nofal lagi menggoda.
"Dibagi? Gue saja belum sentuh seujung kuku pun. Kalau mau embat saja, gue tidak masalah." Rio tertawa sinis mengetahui Zita yang mengeluarkan bulir air matanya meski langsung dihapus dengan cepat.
"Wah... Parah lo. Kalau gue jadi lo, tidak akan gue sia-siakan cewek secantik dia. Gue bawa kabur ke kamar langsung." Ikbal kembali ikut nimbrung.
"Tidak minat gue sama cewek murahan kayak dia. Kalau lo mau ambil saja, lagi pula dia sudah dibeli sama Kakek gue."
Zita yang merasa tidak kuat lagi langsung meninggalkan Rio ke toilet.
"Asli parah lo, Yo. Dari pada tambah galau, mending susul kita. Kita balapan malam ini." ajak Ikbal.
"Viki nantangin lo. Dia pertaruhkan motornya buat lo kalau lo bisa mengalahkan dia." sambung Nofal membuat mata Rio berbinar. Sedetik kemudian, Rio mendesah kasar.
"Kenapa lo? Motor? Pakai motor gue atau Ikbal." tawar Nofal terkekeh.
"Bukan itu, di depan pintu ruang rawat bokapnya ini cewek ada bodyguard suruhan Kakek. Bukan hanya itu, mobil gue juga dijagain." Rio menjambak rambutnya frustasi.
"Bagaimana kalau gue jemput lo? Lo cari cara supaya bisa keluar dari kamar itu." usul Ikbal membuat pikiran Rio sedikit cerah.
"Bentar gue pikir-pikir." Rio mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke pelipis. Seolah-olah sedang mencari cara untuk mendapat jalan keluar.
"Lo mikir apa semedi? Lama banget, keburu lewat waktu tanding nih." suara Nofal kembali menggema di telinga Rio.
"Ok, gue tahu caranya. Suruh Ikbal jemput gue di dekat rumah sakit. Gue bertindak sekarang." Rio langsung menutup sambungan telefon mereka.
***
Zita menumpahkan sakit hatinya karena ucapan Rio. Keran kamar mandi dia hidupkan supaya Rio tak mendengar jika Zita menangis.
"Apa sebegitu bencinya lo ke gue, Kak?"
Zita memegangi bak mandi sekuat-kuatnya. Tangisnya pecah mendengar ucapan Rio jika dirinya gadis murahan yang menjual dirinya untuk uang.
"Tapi bukannya benar apa yang dibilang Kak Rio? Gue memang menjual diri gue supaya dapat uang buat biaya operasi Ayah." Zita menghapus air matanya secara kasar.
"Gue memang cewek rendahan." Zita lagi-lagi terisak mengingat pengorbanannya yang sangat menjatuhkan harga dirinya.
"Tapi ini semua gue lakukan buat Ayah."
"Kenapa rasanya sangat menyakitkan Tuhan?" lanjut Zita dalam hati.
Zita meremas baju bagian dadanya. Berharap perih di dalam sana bisa seketika berhenti. Tapi nihil, usaha Zita tidak membuahkan hasil.
"Apa tidak ada harapan buat gue bikin Kak Rio cinta ke gue?" tanya Zita ke dirinya sendiri.
"Gue sendiri tidak tahu harus senang atau sedih dalam pernikahan ini." nafas Zita mulai tersendat-sendat. Hidungnya mulai tersumbat, bahkan kepalanya pun terasa sangat pening karena terlalu lama menangis.
"Di satu sisi gue senang bisa nikah sama lelaki yang gue cintai." Zita berusaha menetralkan deru nafasnya. Dirinya berulang kali terus-terusan menarik nafas dan mengembuskannya secara perlahan.
"Tapi di satu sisi gue juga sedih. Gue sedih karena bikin orang yang gue cintai jadi tersiksa hidup sama gue." air mata Zita kembali mengalir membasahi pipi mulusnya. Lagi-lagi Zita menghapus air matanya secara kasar.
"Gue harus kuat, ini pilihan gue. Ini semua demi Ayah, demi keluarga gue. Gue tidak jual diri." dengan cepat Zita membasuh wajahnya dengan air sebanyak mungkin lalu mengeringkannya dengan handuk yang tersedia.
Zita membuka pintu toilet untuk kembali melanjutkan makannya yang tertunda. Betapa kagetnya Zita ketika melihat tubuh tinggi Rio berada di depan pintu toilet.
"Kak Rio." ucap Zita gugup.
"Lo lama banget sih di dalam kamar mandi. Ngapain saja? Tidur?" omel Rio kesal kepada Zita.
"Kak Rio mau ke toilet?" tanya Zita lembut.
"Ada jendela tidak di dalam?" tanya Rio membuat kerutan di dahi Zita.
Rio melongokkan kepalanya ke dalam kamar mandi mencari-cari jendela atau celah untuk dirinya kabur.
"Kak Rio cari apa sih?" Zita keheranan sendiri dengan tingkah Rio.
"Diam bisa tidak sih!" Zita diam ketika Rio kembali membentaknya.
Rio berbalik dengan senyuman merekah.
"Heh, dengarkan gue!" ujar Rio dengan nada keras. Zita memberanikan diri menatap wajah Rio yang menakutkan.
"Apa, Kak?"
"Gue bakalan ke arena balap malam ini. Karena di luar banyak bodyguard Kakek, jadi gue kabur lewat jendela itu. Lo jangan berani ngomong ke bodyguard Kakek atau mengadu ke Kakek." Rio celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.
"Lo kunci pintu ruangan ini. Awas kalau sampai lo berani mengadu, hidup lo tidak akan selamat!" ancam Rio membuat nyali Zita menciut.
"Kak Rio mau ngapain ke arena balap?" bodoh! Zita merutuki pertanyaannya.
"Ya balapanlah, masa makan. Pakai otak dong." Rio kembali memasuki kamar mandi.
"Oh ya, kalau Kakek telefon bilang saja gue sudah tidur. Dan bilang ponsel gue habis batrey, di sini tidak ada charger. Gue bakal balik kalau urusan gue sudah beres." ucap Rio lagi sebelum benar-benar keluar dari kamar lewat jendela.
"Kak Rio." panggil Zita lirih.
Rio menghentikan aksinya yang akan keluar dari jendela yang sangat-sangat sempit. Rio menggeram karena Zita kembali memanggilnya.
"Apa lagi sih? Masih kurang jelas?" geram Rio mengarah ke Zita.
"Eum... Mending lewat jendela itu saja, Kak." Zita menunjuk jendela dalam ruang rawat Yudha.
Rio mengikuti arah telunjuk Zita. Rio dapat melihat ada gorden menutupi jendela dalam kamar. Kenapa tadi Rio tidak melihatnya.
"Ya sudah, gue lewat sana." dengan gerakan cepat, Rio langsung mendekati jendela itu lalu membuka gordennya dan slot pada jendela.
"Jangan lupa kunci pintu. Ingat apa yang gue bilang." pesan Rio pada Zita sesudah sampai di luar jendela.
Zita hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Satu lagi, kalau tidur jangan ngebo. Biar kalau gue pulang tidak lama menunggu lo buka jendela." lagi-lagi Zita hanya mengangguk menanggapi ucapan Rio.
Rio dengan langkah seribunya langsung meninggalkan area rumah sakit dan menemui Ikbal yang sudah menunggunya di seberang jalan.
Sepeninggalan Rio, Zita langsung menutup jendelanya lagi. Tak lupa Zita mengunci pintu ruang rawat Yudha seperti apa yang sudah diperintahkan oleh Rio.
"Semoga lo baik-baik saja, Kak." doa Zita mengingat Rio akan ke arena balap malam ini.
***
"Lama banget sih lo, Yo. Habis ngapain sih? Making love lo?" gerutu Ikbal kesal karena terlalu lama menunggu Rio.
Rio menoyor kepala Ikbal begitu saja. Kesal dengan pertanyaan Ikbal yang tidak bermutu.
"Sembarangan saja itu bibir kalau ngomong." sembur Rio kesal.
"Sudah ah, mending ke sana sekarang. Keburu ketahuan sama bodyguard Kakek." Rio menyambar kunci motor dan helm milik Nofal.
Rio mengambil alih motor Ikbal menuju arena balap.
"Viki sudah menunggu di sirkuit, Yo." ucap Ikbal memberi tahu.
"Cari gara-gara apa lagi dia?" tanya Rio mengencangkan suaranya.
"Dia menantang lo, kalau lo tidak bisa mengalahkan dia, dia minta motor kesayangan lo."
Rio tersenyum miring mendengar penjelasan Ikbal.
"Kita lihat saja nanti, siapa yang bakalan menang."
Ikbal sudah yakin seratus persen kalau sahabatnya ini akan menang.
***
Suara gerungan gas dari berbagai macam motor terdengar di sirkuit yang sudah dipenuhi oleh banyak penonton maupun mereka yang akan balapan.
"Mana teman lo itu? Kalau tidak berani lawan gue bilang saja. Tidak usah bikin waktu gue terbuang lama." Viki tersenyum meremehkan ke arah Nofal ketika mengetahui Rio dan Ikbal tak kunjung datang.
"Mereka lagi di perjalanan." jawab Nofal acuh.
"Bilang saja cemen, tidak ada nyali."
Nofal semakin geram mendengar lelaki tak punya otak di sampingnya ini yang terus saja menjelek-jelekkan sahabatnya, Rio.
"Gue di sini k*****t!" Viki maupun Nofal menolehkan wajahnya ke arah sumber suara.
Nofal tersenyum senang ketika melihat Rio datang bersama Ikbal. Sedangkan Viki tersenyum miring melihat Rio.
"Lo mau balapan pakai apa?" tanya Viki meremehkan.
"Gue punya dua sahabat." jawab Rio santai.
"Gue maunya motor lo." ucap Viki tajam sembari menekan-nekan d**a Rio menggunakan jari telunjuknya.
"Gue ganti, kalau lo menang. Gue kasih sirkuit pribadi gue buat lo." semua mata melotot mendengar penuturan Rio.
"Tapi kalau gue yang menang, gue mau lo potong kedua jari kanan lo." lagi-lagi para penonton melotot mendengar tantangan dari Rio.
Viki tersulut amarah. Tangannya mengepal kuat-kuat. Tantangan yang diberikan Rio lebih menguras emosi.
"Gue yakin. Kalau motor, orang tua lo masih sanggup buat belikan lo. Tapi kalau sirkuit pribadi, gue rasa orang tua lo harus nangis darah terlebih dahulu."
Amarah Viki semakin memuncak mendengar penuturan Rio barusan.
"Gue terima tantangan lo." Viki mengulurkan tangannya pada Rio menunggu Rio menjabat tangannya.
"Deal!" Rio tersenyum sinis mengarah ke Viki.
"Ok, deal!"
Semuanya langsung bersiap-siap untuk menonton pertandingan balap liar antara Rio vs Viki.
Rio sendiri sudah siap dengan motor milik Nofal sekaligus helmnya. Di sampingnya ada Viki yang tak kalah siapnya dengan dirinya. Di depan mereka sudah ada Tina.
dengan pakaian seksinya sedang memegang bendera.
"One... Two... Three... Go...!" Rio maupun Viki menarik setang bagian gas masing-masing ketika Tina menaikkan benderanya.
Adu gas semakin terdengar bising di setiap daun telinga yang ada di arena balap. Ikbal dan Nofal berkomat-kamit sendiri supaya Rio memenangkan balapan kali ini. Kalau tidak, tamat riwayat mereka untuk bisa berlatih dengan bebas di sirkuit pribadi milik Rio.
Rio semakin menambah kecepatan motornya. Meninggalkan Viki dengan kekesalannya. Tapi ketika di tikungan, Rio tertinggal jauh dari Viki.
"s**t! Sial." umpat Rio di dalam helm full facenya.
Lagi-lagi Rio menambah kecepatannya. Tulisan finish sudah terlihat jelas di depan mata Rio. Rio semakin mengumpat kesal ketika Viki jauh dari posisinya.
"Gue bakal mengalahkan lo." tekad Rio tersenyum miring mengarah ke Viki.
Ikbal dan Nofal semakin was-was. Pasalnya Rio tertinggal jauh dari Viki. Tapi seingat mereka berdua, belum pernah yang namanya seorang Alzario kalah dalam balapan.
"Gue menang...!"
Ikbal menjatuhkan helm dalam tangannya melihat siapa yang menang dalam pertandingan ini. Nofal sendiri sudah terduduk lemas melihat sekaligus mendengar suara sang pemenang.
***
Zita gelisah sendiri di dalam ruang rawat Yudha. Entah kenapa hatinya gelisah mengingat Rio malam ini sedang balap liar bersama sahabatnya.
"Gue khawatir sama keadaan lo, Kak." Zita melirik arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam menjelang pagi. Tapi kantuk tak kunjung melandanya.
"Tenang Ta, lo percaya kan sama Kak Rio. Kalau Kak Rio itu bisa menjaga dirinya sendiri. Buktinya selama ini dia selamat terus kan." Zita mengusap-usap dadanya sendiri mencoba menenangkan batinnya.
***
"Refi ke mana sih?" tanya Rio heran.
"Tidak tahu, habis dari rumah sakit tadi siang dia menghilang begitu saja." jawab Ikbal.
Rio dan Ikbal memandang geli ke arah Nofal yang masih terlihat shock atas apa yang dilihatnya tadi.
"Sudah deh, Fal. Tidak usah dipikirkan. Lo keterlaluan tahu tidak." Rio mengusap-usap bahu Nofal.
"Ngeri tahu tidak, Yo. Lo bikin gue sama Ikbal jantungan." Nofal menenggak air mineral dalam botolnya sampai habis.
"Ikbal saja sampai menjatuhkan helm begitu tadi."
Rio merasa kedua sahabatnya itu terlalu lebay.
"Ini gila." Nofal menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali.
"Bener kata Rio, Fal. Lo jangan lebay kenapa. Gue saja sudah baikan." Ikbal ikut duduk di dekat Nofal, kemudian disusul oleh Rio.
"Gue saja tidak kenapa-napa." sambung Rio santai.
"Lo lihat, Rio. Gue akan balas semua ini!" ucap Viki penuh amarah di depan Rio.
"Tidak usah songong. Jari lo sudah tidak lengkap itu." ledek Ikbal melihat jari Viki yang baru saja dia potong sendiri karena kalah tantangan.
"Awas lo!" ancam Viki lalu meninggalkan Rio, Ikbal dan Nofal.
"Lo tadi berdua kenapa sih ekspresi kayak begitu?" tanya Rio heran.
"Gue tidak menyangka, Yo. Secara lo kan tertinggal jauh dari Viki. Eh tidak tahunya lo teriak gue menang. Ya siapa yang tidak shock." jawab Ikbal jujur.
"Benar apa kata Ikbal. Kaki gue lemas pas lihat lo jadi pemenang. Gue berdiri sambil gemetaran lihat lo ketinggalan dari Viki. Tapi nyatanya, lo tidak pernah kecewakan kita berdua, Men." Nofal menepuk-nepuk bahu Rio bangga.
"Tidak ada hiburan nih buat Rio malam ini?" tanya Ikbal pada Nofal.
"Gue kira tadi lo sudah menyiapkannya, Bal. Ya gue tidak menyiapkanlah." balas Nofal diiringi cengirannya.
"Kan gue jemput Rio, ya mestinya lo-lah yang nyiapin." balas Ikbal membuat Nofal tambah nyengir.
"Gue lupa. Lagian gue juga menyiapkan motor." bela Nofal pada dirinya sendiri.
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kedua sahabatnya saling menyalahkan.
"Sudah-sudah, hari tidak berhenti sampai di sini kok. Mending antarkan gue lagi ke rumah sakit." pinta Rio menengokkan kepalanya ke Ikbal dan Nofal secara bergantian.
"Bal, lo ingat tidak sih?" tanya Nofal tanpa mengindahkan permintaan Rio.
"Ingat apaan?" terlihat Ikbal menaikkan sebelah alisnya.
"Kita ganggu malam pertama sobat kita ini."
Pletak!
Pletak!
"Aw..." ringis Ikbal dan Nofal bersamaan sembari mengelus-elus kepalanya.
Rio mendengus kesal mendengar candaan kedua sahabatnya itu. Sudah berapa kali Rio harus bilang kalau Rio tidak menyukai gadis itu.
"Sakit tahu tidak, Yo." gerutu Ikbal memandang Rio bringas.
"Iya nih, otak gue bisa-bisa geser. Tidak cakep lagi deh gue." sahut Nofal membuat Rio dan Ikbal memutar bola matanya.
"Apa hubungannya otak sama wajah?" tanya Ikbal tidak mengerti.
"Sama-sama di kepala. Hehehe...."
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedangkan Ikbal mengelus dadanya berusaha sabar akan tingkah Nofal.
"Sudah ah, antarkan gue ke rumah sakit lagi. Gue takut Kakek tahu." Rio berdiri meminta salah satu sahabatnya itu mengantarnya.
"Takut ketahuan sama Kakek apa rindu sama istri mungil lo itu?" goda Ikbal kali ini.
"Lo berdua diam. Gue sumpal juga lama-lama itu mulut pakai kaos kaki gue. Kalau lo berdua mau, ambil saja. Gue tidak butuh." Rio meninggalkan Ikbal dan Nofal menuju tempat di mana motor mereka diparkir.
"Lo yang antarkan Rio deh, Fal. Gue sudah ditunggu di tempat biasa nih. Gue kan sudah jemput."
Skak mat! Nofal tak bisa membantah lagi. Benar saja, Ikbal sudah menjemput Rio tadi.
"Lo ke tempat biasa?" tanya Nofal memastikan.
"Hem..."
"Pesankan gue satu kamar plus isinya." pinta Nofal pada Ikbal.
"Lo mau siapa?" Ikbal memicingkan matanya menangkap keanehan dari Nofal.
"Gue mau Irma."
Mata Ikbal melotot. Benar kan, Nofal aneh.
"Tidak bisa, dia sama gue malam ini." tolak Ikbal mentah-mentah.
"Wkwkwk... Ekspresi lo lucu, Bal. Ya enggaklah gue rebut mainan lo. Terserah siapa saja, yang penting gue sampai sudah ada." Nofal memakai helm full facenya.
"Ok..." Ikbal mengacungkan kedua jempolnya ke atas.
"Woy... Antarkan gue kunyuk!"
Nofal dan Ikbal cepat-cepat berlari ke arah Rio yang sudah berdiri di antara motor Ikbal dan Nofal.
"Gue antar, Yo. Tapi lo yang bawa motornya." Nofal menyerahkan kuncinya ke Rio.
"Gue duluan." pamit Ikbal menuju kelab tempat di mana mereka biasa kumpul.
"Ayo cepat."
Nofal naik ke atas motornya. Lalu Rio menggas motor Nofal dengan kecepatan penuh.
***
Next...