4. Keputusan Menyesakkan

1998 Kata
Zita dan Nafita berlari menyusuri lorong rumah sakit setelah di kasih tahu di mana ruang rawat Yudha. Dengan diantar oleh lelaki yang tadi ke rumah Yudha. "Ayah." panggil Nafita ketika memasuki ruang rawat Yudha. Zita mengikuti Nafita berdiri di samping brankar Yudha. "Maaf, keluarga pasien?" tanya seorang suster kepada Nafita dan Zita. "Iya sus, bagaimana keadaan suami saya?" Nafita menatap nanar ke arah suster berwajah oval di depannya. "Yang memiliki kewenangan untuk menjelaskan hanya dokter, Bu. Dan kebetulan dokter sudah menunggu keluarga pasien dari tadi." jawab suster itu ramah. "Biar aku saja yang ke ruangan dokter, Bun." cegah Zita tak tega jika melihat Nafita sangat rapuh seperti itu. "Ya sudah, Bunda tunggu di sini ya." serah Nafita mengikut saja. Zita berlalu ke ruangan dokter yang menangani Yudha. "Maaf ini administrasi yang harus segera diurus, Bu." suster tadi memberikan selembar kertas ke Nafita. "Untuk kelancaran pengobatan, mohon dengan segera dilunasi untuk pendaftaran, Bu." ucap suster itu lagi. "Baik sus." Nafita berusaha membalas senyuman suster di depannya meski sulit. "Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak ini?" Nafita membekab mulutnya ketika melihat jumlah angka yang tertera jelas di atas kertas putih di tangannya. "Biar saya bayar dulu, Bu. Masalah mengembalikan bisa nanti-nanti. Yang penting Yudha sembuh." Nafita menengokkan kepalanya mengarah ke lelaki yang sudah memberi kabar tadi. "Tapi saya tidak mau merepotkan Bapak." tolak Nafita halus. "Tidak merepotkan, Bu. Saya hanya membantu." lelaki tadi tersenyum lalu mengambil kertas yang dipegang Nafita. "Terima kasih banyak, Pak. Pasti akan saya kembalikan." balas Nafita penuh linangan air mata. "Sesama umat yang beragama kan harus saling tolong menolong." lelaki tadi langsung meninggalkan Nafita menuju tempat pelunasan administrasi. "Terima kasih atas bantuan-Mu, Ya Allah." *** Brak! "Astaga, Rio!" pekik Hans ketika melihat cucu kesayangannya jatuh tergeletak tak berdaya setelah membuka pintu utama. Hans berlari kecil menuju Rio yang bisa dipastikan sedang dalam pengaruh alkohol. "Rio bangun." Hans menepuk-nepuk pipi Rio lumayan kencang. Berharap sang empunya pipi bangun dan sadar. "Aish... Anak ini, semakin hari semakin parah saja. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Hans geram dengan kelakuan Rio. "Aku punya ide." Hans tersenyum licik menatap punggung Rio. "Mulya...! Mulya...!" seru Hans. Seorang satpam baru saja datang dengan tergopoh-gopoh ke hadapan Hans. "Iya, Tuan." sahut satpam yang bernama Mulya. "Bantu saya mengangkat Rio ke kamarnya." titah Hans dengan nada tegas. Membuat Mulya merinding seketika. "Baik, Tuan." Mulya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. *** Zita baru saja keluar dari ruang dokter yang menangani Yudha. Flashback On "Bagaimana keadaan Ayah saya, dok?" tanya Zita sopan kepada dokter muda nan tampan di hadapannya. "Maaf, saya harus menjelaskan." dokter itu menarik nafasnya lalu mengembuskan secara kasar. "Baik, dok." jawab Zita sesopan mungkin. "Luka benturan di kepala Pak Yudha sangat parah. Mengakibatkan darah menggumpal di kepalanya. Ini harus segera ditangani, kami harus mengambil tindakan untuk mengoperasi Pak Yudha. Kalau tidak secepatnya dioperasi, maka akibatnya bisa fatal." Zita shock mendengar penjelasan dari dokter di hadapannya. "Kapan operasi itu bisa dilaksanakan, dok?" "Setelah pihak keluarga melunasi biaya administrasi operasi dan menanda tangani surat perjanjian antara pihak rumah sakit dan pihak keluarga." "Berapa biaya operasinya, dok?" tanya Zita was-was. Takut jika tabungannya tidak bisa membayar untuk operasi Yudha. "Biaya operasinya sekitar tujuh puluh juta." Mata Zita melotot sempurna mendengar jawaban dari dokter. "Kalau bisa, besok sudah ada keputusan. Saya tunggu sampai sore. Kalau tidak cepat-cepat, takutnya semakin parah. Bahkan bisa menyebabkan kematian." lanjut sang dokter. Air mata Zita jatuh tak terbendung lagi. "Kalau begitu saya permisi, dok." pamit Zita sopan. "Silakan." Flashback Off. Zita terus menangis mengingat apa yang tadi dijelaskan oleh dokter. Dari mana Zita mendapatkan uang sebanyak itu? Tabungannya saja hanya ada tiga juta setengah. Sangat jauh dari angka tujuh puluh juta. "Kenapa Engkau memberikan cobaan yang sangat besar untuk keluarga hamba, Ya Allah?" Zita mengusap air mata yang terus jatuh membasahi kedua pipinya. "Apa yang harus gue lakukan?" tanya Zita entah ke siapa. Tangisnya terus saja terdengar. Sungguh memilukan, menyakitkan, miris. "Ayah harus kuat. Aku akan mengusahakan segala cara agar Ayah bisa sembuh." Zita menghapus air matanya lalu menyusul Nafita yang pasti sudah menunggunya dari tadi. *** Ulfa sedang menangis di dalam kamarnya. Tubuhnya bergetar hebat mendekap pigura foto bergambar dirinya dengan seorang lelaki yang sudah dia cintai dari masa SMP. Siapa lagi jika bukan Reno, kakak kandung dari sahabat karibnya. Kenapa kedua orang tuanya sangat egois tanpa membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu dengannya. Tapi Ulfa juga tidak bisa marah kepada kedua orang tua yang sangat Ulfa cintai. Terlebih Ulfa anak tunggal, jadi seluruh kasih sayang orang tuanya tercurah kepadanya seorang. "Gue cinta sama lo, Kak Reno." isak Ulfa tertahan. Tok... Tok... Tok...! "Ulfa... Ini Mama, Nak." seru Naira dari luar. Ulfa cepat-cepat menyembunyikan pigura foto yang dari tadi didekapnya dan menghapus air matanya secara kasar. "Masuk, Ma. Tidak dikunci." sahut Ulfa dari dalam. Cklek! Dari arah pintu menampakkan sesosok wanita setengah abad yang masih cantik memasuki kamar Ulfa. Naira duduk di depan Ulfa yang bersandar pada pilar ranjangnya. "Maafkan Mama sama Papa sayang." Naira membelai rambut panjang Ulfa. Mata Naira berkaca-kaca melihat kondisi putri tunggalnya yang mengenaskan.  "Mama sama Papa tidak perlu minta maaf. Bukankah ini yang terbaik untukku?" air mata Ulfa kembali mengalir seperti sungai tak terbendung. "Mama sadar kalau selama ini kamu menyukai Reno." Naira menunduk menyembunyikan air matanya. "Kalau Mama tahu itu, kenapa Mama tetap menjodohkan aku dengan orang yang tidakl aku kenal?" "Ini keputusan Papa sayang. Kamu harus terima semua ini. Bukankah dari kamu kecil sampai sekarang Papa dan Mama selalu menuruti apa pun kemauan kamu? Jadi untuk sekali ini saja, Mama mohon turuti kemauan Papa dan Mama. Hanya sekali, Ul." pinta Naira. Inilah kelemahan Ulfa, tidak pernah bisa melihat Naira menangis. "Mama mohon, Ul. Turuti kemauan Papa sama Mama yang ini." tersirat permintaan yang sangat ingin dikabulkan oleh Ulfa. "Aku akan menuruti kemauan Mama dan Papa." Naira memeluk Ulfa, mencoba memberi kekuatan untuk anak gadisnya. "Terima kasih sayang." Hati Ulfa sakit dengan keputusannya sendiri. Tapi menolak pun tidak akan berlaku. Pernikahan tinggal dua hari lagi. Ulfa bukan orang yang memiliki nyali sepuluh untuk mempermalukan kedua orang tuanya di depan umum. Terutama di depan semua koleganya yang bejibun tak terhitung. "Gue akan coba terima Kak Refi dengan sepenuh hati gue. Meski gue tahu bagaimana dia sebenarnya." putus Ulfa dalam hati. Karena hanya itu solusi yang baik untuk dirinya. Ikhlas kunci semuanya. *** Malam telah digantikan oleh cerahnya cahaya mentari. Mungkin masih bisa dibilang pagi. Saat ini tepat pukul sembilan lewat dua puluh. Zita cepat-cepat kembali ke rumah sakit setelah tadi pagi pulang untuk mengurus kebutuhan Faisal ke sekolah. Kepalanya celingak-celinguk mencari angkutan umum supaya bisa sampai ke rumah sakit. Matanya melotot sempurna ketika melihat seorang kakek-kakek hampir tertabrak oleh sedan yang melaju lumayan kencang. "Awas... Kek...!" teriak Zita sembari berlari menyelamatkan sang kakek. Zita berhasil menyelamatkan kakek itu tanpa tergores sedikit pun. "Aw...!" rintih Zita ketika kepalanya terbentur trotoar. "Astaga, Nak." kakek tadi membantu Zita untuk bangun. "Kepala kamu berdarah, kita ke rumah sakit sekarang." Zita meringis menahan sakit di bagian pelipisnya. Benar saja, cairan berwarna merah berbau anyir mengalir di pelipis hingga ke pipinya. "Tuan, syukurlah Tuan tidak kenapa-kenapa." ucap seorang lelaki memakai pakaian rapi dengan wajah khawatir. "Bawa mobil ke sini, kita ke rumah sakit sekarang." perintah sang kakek tua itu tapi terlihat masih berkarisma. "Biar saya ke rumah sakit sendiri saja, Kek." tolak Zita halus. "Jangan! Kamu terluka karena saya. Saya yang harus bertanggung jawab." "Ayo masuk." ajak kakek tadi. Zita masuk mengikuti sang kakek dengan hati was-was. Takut jika lelaki tua di sebelahnya itu adalah orang jahat. "Boleh saya meminta untuk ke rumah sakit Pelita?" tanya Zita takut-takut. "Pelita? Itu lumayan jauh. Kenapa tidak rumah sakit terdekat saja?" "Saya sekalian ingin mengantarkan makanan ini untuk Bunda saya yang menunggu Ayah saya." jawab Zita jujur. "Baiklah, kita ke rumah sakit Pelita." kakek tadi tersenyum tulus untuk Zita. Zita masih sibuk menyeka darah di pelipisnya yang terus mengalir. "Terima kasih." balas Zita sesopan mungkin. "Kalau boleh tahu, Ayah kamu sakit apa?" "Ayah semalam kecelakaan dan harus dioperasi karena penggumpalan darah di bagian otaknya." jawab Zita spontan. "Lalu? Sudah dioperasi?" Zita menggelengkan kepalanya lemah mengingat biaya operasi yang tidak sedikit. Bahkan ketika tadi pagi dirinya menelepon Reno, kakaknya bilang tidak ada jika sebegitu banyaknya. Tapi setidaknya, Reno akan pulang menemaninya dalam keadaan sulit seperti ini. "Maaf, kalau boleh tahu kenapa?" "Saya bukan orang kaya, Kek. Saya tidak memiliki biaya untuk operasi Ayah." jawab Zita menunduk. "Berapa biayanya?" "Kata dokter sekitar tujuh puluh juta." entah dari kapan Zita terisak mengingat bagaimana keadaan ayahnya jika tidak dioperasi. "Seandainya saya mau membiayai operasi dan seluruh biaya pengobatan Ayah kamu, apa kamu mau menerima syarat yang saya ajukan?" "Saya mau, Kek. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Ayah saya. Apa pun syaratnya akan saya terima. Meski harus menjadi pembantu di rumah Kakek." jawab Zita cepat. Karena saking senangnya mendapat tawaran untuk biaya operasi Yudha. "Menikahlah dengan cucuku hari ini juga. Hanya itu syaratnya." lontar kakek tua itu dengan tenang. Tubuh Zita menegang mendengar syarat dari kakek tua di sebelahnya. Zita sangat membutuhkan uang itu untuk membiayai operasi Yudha. Tapi apakah tidak ada syarat lain untuk menggantikan syarat tadi? "Bagaimana? Kamu setuju?" pertanyaan kakek tadi membuyarkan lamunan Zita. "Kesempatan tidak datang dua kali." ucap kakek tadi membuat Zita semakin dilema. "Baik, saya setuju." jawab Zita tiba-tiba. "Menikahlah dulu dengan cucuku. Baru saya akan membiayai operasi Ayahmu. Di sisi lain, ini sebagai ucapan terima kasih saya karena kamu sudah menyelamatkan nyawa saya." Bulu kuduk Zita merinding mendengar kata menikah. Pertanyaan-pertanyaan aneh menyergap pikiran Zita saat ini. Tapi tidak ada kesempatan lagi, siapa yang akan membantunya jika bukan lelaki tua di sampingnya ini. *** Setelah mendapat telefon dari Hans. Rio buru-buru tancap gas meninggalkan area kampus menuju alamat yang sudah disebutkan oleh Hans. Dengan kecepatan di atas rata-rata, Rio mengendarai lamborghini berwarna kuningnya. Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke tempat tujuan. Itu juga Rio mengambil jalan pintas untuk cepat sampai. Setelah Rio berhasil memarkirkan mobilnya. Rio berlari ke ruangan sang kakek tercinta. "Kakek!" pekik Rio ketika melihat Hans tergeletak di brankar rumah sakit dengan berbagai macam alat medis. "Rio... Kakek minta satu permintaan sama kamu." Rio menggenggam erat tangan Hans. "Apa permintaan Kakek? Pasti akan aku turuti." "Janji?" "Janji, Kek. Apa pun yang membuat Kakek bahagia pasti akan aku turuti. Katakan saja, Kek." "Menikahlah dengan gadis pilihan Kakek, Rio." Rio terpaku atas permintaan Hans kali ini. Apakah ini sebuah mimpi buruk baginya? Rio menepuk pipinya sekeras mungkin. Sakit yang Rio rasakan. Berarti ini nyata. "Apakah tidak ada permintaan lain, Kek?" tanya Rio mencoba bernegosiasi. "Kakek semakin tua, Rio. Tidak selamanya Kakek bisa menemani kamu. Kakek hanya ingin ketika Kakek tiada nanti, kamu sudah bersama dengan orang yang baik. Yang bisa mendampingi kamu di kala senang maupun susah. Bukan hanya karena harta yang kamu miliki." Hati Rio sakit mendengar ucapan Hans tentang tiada. Rio tak ingin membayangkan semua itu. Bagaimana pun juga Rio sangat menyayangi Hans sebagai satu-satunya orang yang sudah mengurus, mendidik dan menjadi sosok seorang Ayah sekaligus Ibu dari usianya masih enam tahun. Hans orang yang Rio punya satu-satunya di dunia ini selain ke tiga sahabatnya. "Kakek mohon, Rio. Ini permintaan Kakek yang terakhir." Rio dapat melihat Hans yang menarik nafasnya dengan susah payah. "Aku mau, Kek. Hanya karena Kakek, bukan yang lainnya." bagaimana pun juga Rio tak akan bisa menentang kemauan sang kakek. "Panggilkan gadis itu sekarang juga." perintah Hans kepada salah satu bodyguard-nya. "Siapkan sekarang semuanya." perintah Hans lalgi kepada bodyguard lainnya. *** "Lo gila, Ta." Reno marah ketika mendengar keputusan Zita untuk menikah supaya mendapat biaya operasi Yudha. "Dari mana lagi kita mendapatkan uang, Kak? Ini kesempatan." Zita menangis melihat Reno marah. "Bun, restui aku. Ini untuk Ayah, aku hanya ingin Ayah sembuh." rengek Zita pada Nafita. "Tapi Ta, bunda takut mereka orang jahat." Nafita lagi-lagi menangis mendengar rengekan Zita. "Please, Bun, Kak." Zita bersujud di depan Nafita kali ini. "Aku sayang sama Ayah. Kita semua tidak mau kan kehilangan Ayah? Jadi tolong restui aku." Hati Nafita dan Reno bagai tersayat sembilu mendengar tangisan dan permohonan Zita. "Bunda merestui, Nak." Reno mengalihkan pandangannya pada Nafita. Mulutnya menganga tak percaya dengan keputusan Nafita kali ini. Reno jongkok memeluk tubuh Zita yang bergetar hebat. Reno menangis dalam pelukan adik gadisnya. "Maafkan gue, Ta. Gue tidak bisa jadi Kakak yang baik buat lo." Reno mencium puncak kepala Zita. Reno merasa gagal menjadi kakak untuk Zita dan menjadi anak laki-laki untuk Yudha juga Nafita. "Restui aku, Kak." mohon Zita di sela-sela isakannya. "Gue merestui, maaf." lagi-lagi Reno menghujani Zita dengan ciuman di puncak kepalanya. "Mungkin, gue harus lupakan cinta gue buat Kak Rio mulai dari sekarang." tutur Zita dalam hati. Zita semakin terisak dalam dekapan Reno. Nafita yang sudah tidak kuat melihat keputusan yang sangat menyesakkan dadanya itu akhirnya memilih keluar dari ruangan Yudha. "Maafkan Bunda, Ta. Bunda sayang sama kamu." tangis Nafita tak terbendung. Sesak rasanya harus merelakan putri satu-satunya untuk orang yang belum dia ketahui baik buruknya hanya untuk sebuah uang yang akan digunakan biaya operasi suaminya. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN