Devi dan Sinah lari sekencang mungkin untuk melihat keadaan Yudha. Ayah dari sahabatnya itu, Zita. Sedangkan Ulfa masih berada di belakang memarkirkan mobilnya.
"Lo tahu kan ruangannya, Dev?" tanya Sinah sembari berlari.
"Tahu kok, di lantai tiga." Devi memencet lift supaya segera sampai ke lantai tiga.
"Eh Ulfa tidak apa-apa nih kita tinggal?" tanya Devi ingat kepada satu sahabatnya itu yang tertinggal.
"Dia sudah besar." sahut Sinah dengan nafas ngos-ngosan.
***
Ulfa sama saja dengan Devi dan Sinah. Berlari menuju ruangan yang sudah dia hafal di luar kepala.
Bruk!
"Aw...! p****t gue." pekik Ulfa ketika tubuhnya menabrak orang dan terjengkang ke belakang.
"Lo tidak kenapa-napa?" Ulfa mendongakkan kepalanya ke sumber suara.
"Kak Ikbal." gumam Ulfa kaget.
Ulfa bisa melihat ada Refi dan Nofal berdiri di samping Ikbal. Dengan gerakan cepat, Ulfa berdiri dan membersihkan celananya yang kotor oleh debu.
"Kalau jalan pakai mata dong. Sakit ini punggung gue ditabrak sama badan segede lo." marah Nofal menggebu-gebu melihat Refi.
"Suruh siapa menghalangi jalan orang." sembur Ulfa balik.
"Lo saja tidak punya mata." Ikbal ikut-ikutan dalam perdebatan Nofal vs Ulfa.
"Lo lagi ikut-ikutan. Sudah jelas teman lo satu ini yang salah."
"Ya jelaslah gue ikutan, Nofal sahabat gue." Ikbal maju selangkah dari tempat asalnya. Ulfa melirik Refi yang diam saja tanpa reaksi.
"Ngapain kalian di sini?" Ulfa menaikkan alisnya menghadap ke tiga lelaki di depannya secara bergantian.
"Ini tempat umum."
Ulfa tahu pasti itu suara siapa. Itu suara Refi yang menjawabnya. Ulfa bergidik ngeri mendengar suara Refi yang sangat dingin.
"Ish... Dasar batu." gumam Ulfa kesal lalu kembali berlari meninggalkan Refi, Nofal, dan Ikbal.
***
Zita mematung tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa mata Zita ada kesalahan? Tapi tidak, ini nyata.
"Zita, ini cucu Kakek. Dan Rio, itu gadis pilihan Kakek untuk kamu." ucap Hans yang ternyata kakek-kakek yang diselamatkan oleh Zita.
"Kek, ini tidakl lucu." Rio memandang benci ke arah Zita.
"Siapa yang bilang ini lucu? Kakek sedang serius." balas Hans membuat amarah Rio memuncak.
"Kakek!" semua orang menoleh ke arah pintu.
Semua penghuni ruang rawat Hans bisa melihat jika di ambang pintu ada tiga pria tampan, sahabat Rio.
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Hans dengan nada tidak sukanya.
Refi, Nofal dan Ikbal melengos mendengar pertanyaan dingin dari Hans. Selama ini mereka tahu bahwa Hans tidak pernah menyukai kalau Rio berteman dengan mereka.
"Aku akan menikahi gadis itu kalau Kakek mengizinkan aku buat sahabatan sama ketiga sahabatku dan menerima mereka." ujar Rio pelan di dekat telinga Hans.
Hans mendengus ketika Rio berani mengancamnya. Yang lebih bikin Hans kesal, Hans tidak bisa menolak kemauan Rio.
"Ok, tapi laksanakan ijab kabulnya sekarang juga." jawab Hans setuju.
"Heh cewek kuper, ngapain lo di sini?" tanya Nofal pada Zita.
"Jaga ucapan kamu, dia calon cucu menantu saya." sahut Hans membuat ketiga sahabat Rio menciut nyalinya.
"Zita akan menikah dengan Rio saat ini juga." ujar Hans tenang.
"Hah? Menikah?" teriak ketiga sahabat Rio. Tapi yang paling aneh, ada suara perempuan di antara ketiga cowok itu.
"Zita menikah sama Kak Rio?" tanya Sinah dengan kekagetannya.
Semua orang menoleh ke arah belakang Refi, Ikbal dan Nofal. Di sana sudah ada Ulfa, Devi dan Sinah dengan wajah shok.
"Kalian siapa?" tanya Hans kepada ketiga gadis yang berdiri di luar.
"Mereka sahabatku, Kek." jawab Zita pelan.
Nafita terus mengusap bahu Zita guna menenangkan putrinya.
"Awas dong, jangan di pintu." bentak Sinah kepada Refi, Ikbal dan Nofal.
"Ye... Datang-datang langsung marah-marah." cibir Nofal yang masuk ke dalam ruang rawat Hans. Diikuti oleh Refi dan Nofal.
Ulfa, Devi dan Sinah ikut masuk lalu menghampiri Zita yang berdiri di dekat Nafita dan Reno.
"Kak Reno." gumam Ulfa pelan. Saking pelannya sampai tidak ada yang mendengar gumaman Ulfa. Kakinya berhenti mendadak membuat Devi dan Sinah menabraknya.
"Ulfa, kalau berhenti pakai lampu sen dong." gerutu Devi kesal.
"Iya ih... Benjol nih kening gue." sambung Sinah mengusap-usap keningnya.
"Sorry." balas Ulfa pelan lalu menyingkir memberi jalan untuk Devi dan Sinah mendekat ke Zita.
Refi melihat gerak-gerik Ulfa yang berubah setelah melihat Reno. Refi memang tidak mendengar Ulfa mengucapkan kata Reno. Tapi Refi melihat bibir Ulfa ketika dia menggumamkan nama Reno
"Kok kalian bisa di sini?" tanya Zita heran.
"Kita mau jenguk Om Yudha, eh tidak sengaja dengar Kakek itu ngomong lo bakal nikah sama Kak Rio." jawab Sinah mewakili ke tiga sahabatnya.
"Sudah kan berbincangnya? Sekarang waktunya ijab kabul." sela Hans membuat semuanya bungkam.
"Nikahkan mereka sekarang juga." perintah Hans pada penghulu yang sudah dipanggil.
"Baik, Pak." penghulu tadi mengatur kursi untuk tempat duduk antara dirinya, Rio dan Zita.
"Silakan duduk." titah sang penghulu.
Rio memilih duduk terlebih dahulu tanpa memedulikan tatapan penuh tanda tanya dari ketiga sahabatnya. Disusul oleh Zita yang duduk di samping Rio dengan tubuh bergetar.
"Apa kalian siap?" tanya penghulu kepada kedua calon mempelai ini.
"Siap." jawab Rio yakin. Sedangkan Zita hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Mari kita mulai." penghulu pun menjabat tangan Rio dengan yakin.
"Apa gue mimpi?" tanya Zita pada dirinya sendiri dalam hati.
"Kalau gue mimpi, tolong jangan bangun dulu." lanjut Zita.
"Apa benar gue nikahnya sama Kak Rio?" Zita masih tak percaya.
"Gue harus senang atau tidak?" Zita masih bergumam dalam hati.
Pikiran-pikiran itu terus berkelebat di otak Zita saat ini. Sampai pada dua kalimat sah menggema di ruang rawat Hans. Itu artinya Zita sudah resmi menjadi istri dari seorang Alzario Pratama.
Rio dan Zita diminta untuk menandatangani buku nikah lalu bertukar cincin.
"Kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri di mata agama maupun hukum." tutur penghulu yang sudah menikahkan mereka beberapa menit lalu.
Ada perasaan bahagia juga sedih di hati Zita. Bahagia, karena bisa menikah dengan lelaki yang dia cintai selama ini. Sedih, karena Rio menikahinya bukan atas dasar cinta.
Zita memberanikan diri melirik Rio yang masih duduk di sebelahnya. Sungguh ciptaan Tuhan yang maha dahsyat. Tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Zita tersenyum singkat mengingat lelaki tampan itu adalah miliknya. Seketika Zita menundukkan kepalanya ketika Rio meliriknya dengan tajam.
Melihat lirikannya saja, Zita serasa akan terbunuh. Apalagi memandang matanya langsung.
***
Semuanya menunggu di ruang tunggu operasi. Nafita terlihat gelisah dalam pelukan Zita. Rio juga heran pada Hans, baru saja beberapa jam lalu tubuh Hans masih dipenuhi dengan berbagai macam alat medis. Tapi kini? Semua alat medis itu sudah dilepas dari tubuhnya. Katanya sudah sembuh ketika melihat Rio menikah. Itu hal yang sangat konyol menurut Rio.
"Kak Zita, Ayah dioperasi?" semua mata memandang ke sumber suara yang menampakkan lelaki remaja memakai seragam SMP-nya.
"Kak Reno." ucap lelaki itu kaget ketika melihat Reno.
"Faisal, lo bukannya pulang dulu ganti seragam." omel Reno pada adik bungsunya.
"Aku kangen Ayah." jawab Faisal lirih. Dirinya memilih duduk di dekat Devi. Karena hanya di dekat Devi kursi yang kosong.
Ulfa yang duduk tepat di dekat Reno bisa merasakan kalau Reno sedang gelisah memikirkan hasil operasi di dalam. Entah mendapat keberanian dari mana, Ulfa menggenggam erat tangan Reno.
"Tenang, Kak. Gue yakin kalau Om Yudha pasti kuat." Ulfa tersenyum manis pada Reno.
Tangan Ulfa pun bisa merasa kalau Reno membalas genggaman tangannya.
"Thank ya, Ul." balas Reno diiringi senyuman manis di bibirnya.
"It's okay, Kak."
"Kakek harus pulang. Sebentar lagi Kakek ada acara penting. Kakek pamit." ujar Hans pamit ke semua yang menunggu operasi Yudha.
"Hati-hati di jalan, Kek." balas Zita dan Rio bareng.
Semua orang memandang ke arah Zita dan Rio secara bergantian. Sinah pun mendekati Zita yang paling dekat dengan pintu ruang operasi.
"Ta, gue pulang dulu ya. Nyokap tidak ada teman." pamit Sinah tepat di depan Zita.
"Iya tidak apa-apa, Nah. Lo pulang saja, thank ya sudah menjenguk Ayah." Zita memperlihatkan senyuman termanisnya.
"Ok, semoga operasinya lancar dan cepat sembuh. Gue pulang."
Zita menganggukkan kepalanya mendengar doa dari teman baiknya. Sinah meninggalkan tempat itu tanpa berpamitan dengan yang lainnya. Apalagi geng dari Rio, menoleh pun tidak.
"Yo, gue pulang sekarang ya. Ada perlu." pamit Ikbal tiba-tiba.
"Hem." hawab Rio sekenanya.
"Gue ke toilet bentar." pamit Devi pada Ulfa. Ulfa hanya menganggukkan kepalanya sekilas.
Refi melihat Ulfa terus menggenggam tangan Reno. Refi memang tidak tahu ada ikatan apa di antara mereka. Tapi Refi yakin, di antara keduanya pasti ada rasa saling suka. Refi tersenyum miring melihat cincin di jari manis Ulfa yang sama dengan cincin di jari manisnya. Besok mereka akan menikah.
"Fal, bawa mobil gue pulang." Refi memberikan kunci mobilnya pada Nofal yang duduk di dekatnya.
"Lo mau ke mana?" tanya Nofal heran.
"Yo, gue pulang dulu." pamit Refi pada Rio yang hanya mendapat anggukan saja.
"Ref, lo pulang naik apa?" Nofal menggerutu ketika tak dijawab lagi oleh Refi.
Refi meninggalkan mereka begitu saja tanpa berpamitan. Ulfa merasa ponselnya bergetar saat ini. Dengan cepat Ulfa membuka notifikasi pada ponselnya. Ternyata ada chat via w******p. Ulfa membulatkan matanya ketika melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya. Ya, Refi yang mengirimkan pesan melalui w******p.
"Keluar sekarang. Gue butuh ngomong sama lo sebelum besok kita nikah."
Ulfa membaca dengan saksama isi pesan dari Refi dalam hati. Tak lama ada sebuah notifikasi lagi.
"Gue tunggu di depan mobil lo. Tidak usah pakai lama." tentu saja Ulfa membaca dalam hati, dirinya tidak mau Reno mendengarnya.
Ulfa mendengus kesal atas isi chat dari Refi saat ini. Kenapa lelaki itu selalu saja berbuat seenaknya.
"Kak Reno, gue harus pulang sekarang. Mama menunggu di rumah." pamit Ulfa terpaksa berbohong.
"Oh, okay. Thank ya sudah jenguk Ayah." balas Reno melepaskan tautan tangan mereka.
"Iya." Ulfa tersenyum manis pada Reno.
Ulfa beralih ke Zita dan Nafita untuk berpamitan.
"Ta, gue harus pulang sekarang. Mama sudah nunggu di rumah. Gue bantu doa ya."
"Iya, Ul. Thank ya untuk semuanya." Zita masih terus berusaha mengembangkan senyumnya untuk Ulfa.
"Kita kan sahabat." Ulfa memeluk tubuh Zita sekilas.
"Tante, aku pulang ya. Semoga Om Yudha selamat." pamit sekaligus doa Ulfa.
"Hati-hati di jalan ya, Ul." balas Nafita tersenyum paksa untuk Ulfa.
"Iya, Tante." Ulfa langsung pergi meninggalkan rumah sakit untuk menemui Refi yang katanya sudah menunggunya di parkiran. Lebih tepatnya di depan mobilnya.
"Lo sudah makan, Sal?" tanya Zita pada Faisal yang sudah pindah duduk di dekat Reno.
Sebenarnya dari tadi Faisal bertanya-tanya siapa lelaki yang duduk di dekat Zita.
"Loh, Ulfa mana, Ta?" tanya Devi yang baru saja datang dari toilet.
"Sudah pulang dari sepuluh menit yang lalu." jawab Zita mengarah ke Devi.
"Yah, gue pulangnya bagaimana dong? Tas gue ada di mobil Ulfa." keluh Devi merutuki kebodohannya. Kenapa tadi tidak dia bawa saja tasnya. Kalau sudah begini kan repot. Semua uang, dompet, dan ponsel ada di tas semua.
Nofal tersenyum sinis mendengar Devi tidak bisa pulang. Jadi ini tujuan Refi memberikan kunci mobilnya pada Nofal. Memberi kesempatan untuk Nofal supaya bisa mengantar Devi pulang.
"Gue antar saja, Dev." tawar Nofal ke Devi yang memasang tampang murung.
Rio sama tersenyum miring mendengar semua ini. Refi memang pintar untuk membuat orang lebih maju selangkah.
"Jangan!" pekik Devi dan Zita bareng.
Rio mengelus-elus telinganya yang hampir budek oleh teriakan Zita.
"Lo bisa pelan tidak sih kalau ngomong." ucap Rio sinis pada Zita yang duduk di dekatnya.
"Maaf, Kak." ujar Zita merutuki kebodohannya.
"Kenapa jangan?" tanya Nofal tak mengerti.
"Gue bisa pulang sendiri." jawab Devi ketus.
"Kan dompet lo ada di tas. Pasti lo tidak ada uang kan buat ongkos pulang. Jadi ya sudah, biar gue antar."
Devi mengembuskan nafasnya pasrah. Benar sekali ucapan Nofal. Dirinya tidak memiliki uang untuk membayar angkutan umum apa pun.
"Ya sudah deh. Zita, gue pulang ya. Cepat sembuh ya bokap lo." Devi berpamitan terlebih dahulu pada Zita.
"Thank ya, Dev." balas Zita tersenyum pada Devi.
"Sip." Devi mengacungkan jempolnya pada Zita lalu pergi meninggalkan rumah sakit.
"Gue lanjutkan misi dulu, Yo." bisik Nofal pada Rio tepat di dekat telinga Rio.
Rio hanya mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Good luck." balas Rio menyemangati Nofal.
"Thank." desis Nofal pelan.
Mereka takut Zita mendengar percakapan mereka. Bisa gawat jika Zita mendengar semuanya. Setelah kepergian Nofal, lampu ruang operasi padam. Pertanda operasi telah berakhir. Reno berdiri menunggu dokter keluar.
Srek!
Pintu ruang operasi terdengar digeser. Menampakkan seorang dokter yang baru saja melepaskan maskernya.
"Bagaimana keadaan Ayah saya, dok?" tanya Reno khawatir.
"Iya, dok. Bagaimana keadaan suami saya?" tanya Nafita ikut bangun diikuti oleh Zita dan Faisal. Sedangkan Rio masih tetap di posisi semula, duduk dengan santai.
"Operasinya berjalan lancar. Pak Yudha akan segera dipindahkan ke ruang rawat. Mungkin pihak keluarga pasien bisa menemui Pak Yudha sekitar setengah jam lagi." jelas dokter bernama Refan itu.
"Terima kasih, dok." ucap serempak Nafita, Reno, Zita dan Faisal.
"Berterima kasihlah kepada yang Maha Kuasa." Refan kembali ke dalam ruangan operasi lagi.
"Syukurlah." ucap Zita bernafas lega. Pengorbanannya tak sia-sia.
"Nak Rio, saya ucapkan banyak terima kasih ya. Karena bantuan Pak Hans, suami saya bisa dioperasi dan diselamatkan." ujar Nafita duduk dan menggenggam tangan Rio.
Zita sudah was-was karena Nafita berani menggenggam tangan Rio. Zita masih menunggu apa jawaban dari Rio.
"Sama-sama, Bu." balas Rio diiringi senyuman manis.
"Kalau Nak Rio tidak keberatan. Panggil Bunda saja, kan Nak Rio sudah menjadi suami putri Ibu." pinta Nafita penuh harap.
"Iya, Bunda." Rio tersenyum sangat manis mengarak ke Nafita.
Zita sampai tak percaya kalau Rio bisa tersenyum semanis itu.
"Maksud Bunda tentang dia suami lo apa sih, Kak?" tanya Faisal tak mengerti.
"Tadi pagi gue nikah sama dia." jawaban Zita mampu membuat Faisal shock.
Ada setangkup harapan di benak Zita kalau Rio akan menerima dan belajar mencintainya saat melihat Rio sangat manis kepada Nafita.
***
Next...