3. Kabar Buruk

1882 Kata
Chat Group RRIN via line. Rio : ke tempat biasa yuk, bored nih gue. Nofal : ayok, ada yang mau gue bicarain ke kalian tentang kemajuan gue buat deketin cewek itu. Ikbal : gue siap-siap dulu guys, tungguin. Nofal : gue juga belum siap-siap kali Bal. Rio : gue juga belum siap-siap kali Bal (2). Nofal : eh tapi si cina ke mana? Enggak ada nongol dia. Rio : paling dia jadi sider. Ikbal : molor kali. Nofal : Refi sayang, keluar dong. Ikbal : anjirrrr..... Najis gue bacanya, Fal. Rio : rt. Refi : Nofal. (Pakai emot tonjok). Ikbal : mampus lo, Fal Rio : cina ngamuk. Nofal : sorry Ref Nofal : eh tapi mempan kan panggilan gue. Buktinya Refi nongol noh. Ikbal : jadi enggak nih ke club? Rio : jadilah, gue sudah cakep begini. Nofal : (emot malas). Ikbal : rt. Refi : w g bs kt. W d cr. Nofal : lo kalau enggak niat nimbrung enggak usah ikutan Ref. Ikbal : Rio apa kata Refi? Rio : kata bebeb Refi "gue enggak bisa ikut. Gue ada acara. Nofal : oh..... Ngmong kek Ref dari tadi. Ikbal : lo dibayar berapa buat translatein bahasa cina keblangsak Yo? Rio : dibayar pakai cinta Bal. Nofal : so sweet Refi : w bl Fal Refi : Rio (pakai emot tonjok). Nofal : bodo amat Ref, lo mau ngomong apa juga. Nofal : gue tunggu kalian di club. Ikbal : gue menyusul Fal. Rio : maaf kakak Refi. Rio : yah, gue ditinggalkan. Gue menyusul deh. Bye cina *** Rio menuruni tangga rumah megah kediaman Pratama. Rio dapat melihat Hans sedang menikmati secangkir kopi hitamnya di depan televisi. "Kek, aku mau keluar dulu." pamit Rio mendekati Hans. "Mau ke mana kamu, Yo?" tanya Hans menyelidik. “Aku ada janji sama teman-teman." jawab Rio langsung berjalan pergi meninggalkan Hans. "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya. Pulangnya juga jangan malam-malam, Rio." selalu seperti itu yang Hans ucapkan ketika Rio pamit keluar malam. Meski Hans sangat hafal jam berapa Rio akan pulang. Jika tidak tengah malam pasti menjelang pagi. "Iya, Kek." Rio keluar dari kediaman Pratama sembari melempar-lemparkan kunci mobilnya. Rio jarang memakai motor jika keluar malam kecuali kalau akan balap liar. *** "Faisal...! Kembalikan buku gue...!" teriak Zita kencang di dalam kamarnya. "Kejar gue kalau mau buku ini...!” Ubun-ubun Zita terasa mengepul ketika mendengar suara Faisal. Zita berlari mengejar Faisal yang sedang berlari-lari menghindari Zita. "Kembalikan enggak?" tanya Zita galak. "Enggak mau... Wle...." Faisal menjulurkan lidahnya lalu berlari menjauhi Zita lagi. "Faisal...! Ada kecoak." teriak Zita tiba-tiba sembari mengibas-ngibaskan baju bagian punggungnya. Faisal berlari ke arah Zita lalu meletakkan buku diary milik Zita ke atas meja. "Mana-mana kecoaknya?" Faisal ikut panik sembari mengecek punggung Zita. "Gue dapat." pekik Zita ketika buku diarynya kembali berada di tangannya. Faisal mendengus kesal saat sadar jika Zita mengerjainya. "Gue sumpahin supaya ada kecoak beneran di badan lo." Faisal meninggalkan Zita dengan kekesalan penuh. Susah payah Faisal mendapatkan buku itu, tapi kini sudah ada di tangan sang pemiliknya lagi karena kebodohannya sendiri. "Rese sih lo jadi orang." sahut Zita meninggalkan ruang tamu untuk menuju kamarnya lagi. Zita mengunci pintu kamarnya lalu duduk di atas ranjangnya dan membuka buku diary yang penuh dengan nama Rio. Tidak ada selembar pun yang tidak ada nama lelaki jangkung pemilik kulit hitam manis itu. "Aku sangat menyayangimu, Kak Rio." Zita mengusap lembut selembar foto yang memang dia selipkan di dalam buku diarynya. Foto lelaki yang sudah dia kagumi bahkan dia cintai secara diam-diam dari SMP. "Entah kenapa setiap kali aku memikirkan kamu, pikiranku selalu melanglang buana tak tahu arah." Zita tersenyum geli ketika selalu saja membayangkan jika Rio tiba-tiba memintanya untuk menjadi kekasihnya dan mereka pacaran. "Kapan kamu akan sadar?" Zita menatap lekat-lekat foto Rio yang dia ambil secara diam-diam dari akun instagramnya. "Kapan kamu akan melihatku?" tanya Zita lagi. "Ah... Entahlah." Zita menutup buku diarynya secara paksa. Kalau terus dibiarkan, maka otak Zita tidak akan pernah bisa berhenti memikirkan Rio. "Zita...! Bantu Bunda menyiapkan makan malam. Ayah kamu sebentar lagi pulang!" Zita tersadar ketika mendengar panggilan Nafita. "Iya, Bun!" Zita mengencangkan suaranya supaya Nafita bisa mendengar. Buku diarynya dia letakkan ke dalam laci lalu mengunci laci itu supaya adik resenya tidak lagi mengambilnya. Bisa tamat riwayatnya kalau sampai Faisal tahu rahasia Zita selama ini. *** "Mama tumben ingin makan malam di luar segala?" Tanya Ulfa heran kenapa malam ini Naira mengajaknya untuk makan malam di luar. Bahkan Ulfa dipercantik dengan dress selutut berwarna pink dan make-up sangat menor, menurut Ulfa yang tomboy. "Kita kan sudah lama enggak makan malam di luar bersama, sayang." sahut Rizal mewakili Naira. "Ya kan aneh saja, Pa." Ulfa mengedikkan bahunya acuh. "Hai, Rizal. Maaf kami terlambat." Ulfa mengikuti arah pandang Rizal dan Naira. Ulfa bisa melihat ada seorang lelaki bersama seorang wanita paruh baya, ya bisa dibilang seorang nenek. Rizal dan Naira berdiri menyalami lalu memeluk lelaki itu dengan senyuman semringah. "Tidak masalah, kami juga baru sampai." balas Nata. "Hai, Naira." lelaki itu ganti menyalami Naira sebagai tanda hormat. "Ibu, sehat?" tanya Rizal pada wanita paruh baya itu. "Sehat, itu putrimu?" tanya wanita itu sembari menunjuk Ulfa. "Ah iya, Ulfa sini." Ulfa mengikuti panggilan Rizal untuk mendekat padanya. "Kenalkan ini Ulfa, putri kami. Ulfa, ini Om Nata dan Oma Airin." Ulfa menyalami Nata dan Airin secara bergantian. "Cantik sekali, sama seperti Naira." puji Airin pada Ulfa. "Terima kasih, Oma." balas Ulfa tersipu malu. "Mari duduk." ajak Naira mempersilakan. Ulfa sempat kaget mendengar ajakan Naira pada Nata dan Airin. "Mana putramu?" tanya Rizal pada Nata. "Masih di belakang sedang memarkirkan mobil." Nata tersenyum ke arah Rizal memberi tahu. "Nah, itu dia." Airin menunjuk seorang lelaki yang sudah mendekat ke meja mereka. "Refi, sini." panggil Nata pada lelaki bernama Refi. Ulfa mendongakkan kepalanya ke arah lelaki yang kini sudah berdiri di samping Airin, tepatnya berhadapan dengan dirinya. "Lo!" pekik Ulfa kencang ketika melihat Refi kakak seniornya ada di depannya. Refi mengarahkan pandangannya pada Ulfa. Sama halnya, Refi juga kaget. "Ngapain lo di sini?" tanya Refi sinis menatap Ulfa. "Refi, jaga ucapan kamu." tegur Airin meredakan emosi Refi. "Ulfa kenal sama Refi?" tanya Naira. "Dia seniorku di kampus, Ma." jawab Ulfa jutek. "Ayo Refi duduk." titah Rizal sopan. "Wah... Bagus dong kalau kalian sudah saling kenal." Ulfa dan Refi menatap Nata penuh tanda tanya. "Maksud Papa?" tanya Refi tak mengerti. "Maksud kami makan malam di sini dan mempertemukan kalian itu karena kami sudah sepakat untuk menjodohkan kalian." ucap Airin mewakili yang lainnya.  "What? Dijodohkan?" tanya Ulfa kencang mengarah ke Airin. Kalimat barusan bagaikan berita buruk untuk Ulfa mau pun Refi. "Ulfa, jaga ucapan kamu." desis Naira yang duduk di dekat Ulfa. "Iya sayang." jawab Airin dengan senyuman sumringah. "Tapi kan, Oma. Ak..." "Ini sudah keputusan final." ucap Airin cepat menyela kalimat protes dari Refi. "Bagaimana? Kalian setuju kan? Apalagi kalian sudah saling kenal. Jadi tidak akan sulit untuk beradaptasi." Nata memandang Refi dan Ulfa secara bergantian. "Terserah Papa sama Oma saja." jawab Refi tak ada minat. "Malam ini acara pertunangan kalian. Dua hari lagi acara pernikahan kalian." ucap Rizal santai. Mata Ulfa melotot sempurna mendengar penuturan Rizal barusan. Bahkan Refi sampai tersedak minumannya. "Papa enggak salah?" tanya Ulfa memberanikan diri. "Papa serius, Ulfa." Kepala Ulfa bagai tersambar petir berkali-kali saat ini. Tiba-tiba pusing melandanya seketika. "Bagaimana kalau sebelum makan acara tukar cincin dulu?" tanya Airin memberi ide. "Setuju, Bu." sahut Naira semangat. "Ayo Refi, sematkan cincin ini ke jari Ulfa." Airin menyodorkan kotak berlapis beludru ke Refi yang duduk di sebelahnya. "Oma." ucap Refi memelas. "Refi cepat lakukan. Kalau tidak, Oma akan meminta Papa kamu menyita semua fasilitas kamu." bisik Airin di dekat telinga Refi. "Ck, iya-iya." desah Refi pasrah lalu mengambil sebuah cincin yang ukurannya paling kecil dari cincin yang satunya. Ulfa kembali melotot ketika melihat Refi mengambil cincin dari kotak berlapis beludru warna merah yang dipegang Airin. "Ulfa, kasih tangan kamu." bisik Naira menyadarkan Ulfa. Dengan sangat amat terpaksa, Ulfa menyodorkan tangannya pada Refi. Dengan cepat Refi memakaikan cincin ke jari manis Ulfa. "Ulfa, pakaikan ke jari manis Refi." Airin menyodorkan kotak beludru itu pada Ulfa. Ulfa menatap kotak beludru dan Airin secara bergantian. "Aw...!" pekik Ulfa ketika kakinya diinjak oleh Refi. "Kamu kenapa, Ulfa?" tanya Nata khawatir. "Iya, kamu kenapa?" tanya Naira prihatin. Ulfa melihat Refi yang memelototinya. "Enggak kok." dengan cepat Ulfa langsung mengambil cincin itu lalu menyematkan ke jari manis Refi. "Selamat ya, kalian sudah resmi tunangan." ucap Rizal penuh kebahagiaan. "Senangnya Oma, sebentar lagi akan memiliki cucu menantu secantik Ulfa." Refi tak dapat berkutik ketika melihat wajah Airin tersenyum bahagia. *** Zita bersama Nafita dan Faisal sedang menunggu kepulangan Yudha di meja makan. Harusnya Yudha sudah pulang dari setengah jam lalu. Tapi kenapa sampai sekarang belum pulang juga. Tok...! Tok...! Tok...! "Biar aku saja yang buka pintunya, Bun." Zita bangkit untuk membuka pintu rumahnya yang diketuk secara tidak sabar. "Siapa ya?" tanya Zita setelah membuka pintu dan mendapatkan ada seorang lelaki berseragam seperti Yudha. "Benar ini rumah Yudha?" tanya lelaki itu dengan nafas memburu. "Benar. Maaf, Bapak siapa?" "Yudha sekarang berada di rumah sakit. Tadi di perjalanan mengalami kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis." Zita kaget mendengar kabar dari lelaki itu. Nafasnya tercekat tiba-tiba. Hanya sesak yang kini dia rasakan. "Siapa, Ta?" tanya Nafita yang baru saja datang. "Ayah kecelakaan, Bun." ucap Zita terisak. "Apa?" "Bunda!" pekik Zita kaget ketika melihat Nafita pingsan begitu saja. *** Ketiga lelaki muda ini sudah menghabiskan berbotol-botol minuman di temani dengan beberapa wanita penghibur yang menggelendot manja di sisi kanan dan kiri mereka. "Jadi apa rencana lo selanjutnya, Fal?" Ikbal menenggak minumannya. Entah sudah gelas ke berapa yang dia minum barusan. "Lihat saja nanti apa yang bakal gue lakukan." meski pun remang-remang, Rio dan Ikbal bisa melihat Nofal tersenyum licik. "Mau sama siapa lo malam ini, Yo?" kini giliran ke arah Rio mereka memfokuskan pandangan. "Gue libur." jawab Rio santai. Tangannya kembali menuangkan tequila ke dalam gelasnya. "Lo, Fal?" tanya Ikbal beralih ke Nofal. "Dia sudah menunggu di hotel. Gue sudah pesan kamar tadi sore." jawab Nofal santai. "Jadi kalian enggak akan sama kita-kita nih malam ini?" tanya seorang wanita yang duduk di samping kiri Rio. "Sorry." Rio mencium bibir wanita itu sekilas. "No problem." jawab wanita itu tersenyum kecil untuk Rio. "Lo sendiri?" tanya Nofal pada Ikbal. "Gue mau sama ini." Ikbal meraih pinggang wanita yang menyandarkan kepalanya pada bahu kanan Ikbal. "Ok, sudah ah. Gue duluan, kasihan dia sudah menunggu dari tadi." pamit Nofal menyambar jaketnya. Ikbal dan Rio melambaikan tangannya pada Nofal "Gue juga cabut." pamit Ikbal menggandeng wanita di sebelahnya. "Ok." sahut Rio acuh tak acuh. "Turun yuk." ajak wanita di sebelah kanan Rio sembari menunjuk keramaian orang yang sedang berjoget ria. "Gue malas." jawab Rio sekenannya. Rio merasakan ponselnya bergetar. Benar saja ketika Rio membuka lock pada ponselnya. Ada sebuah notifikasi masuk dari Refi. Refi : ms d tmp bs? Rio : masih. Ke sini aja, Pit. Refi : w mlc. Rio : (emot ok). "Refi mau ke sini?" Rio menganggukkan kepalanya ketika wanita di sebelah kirinya bertanya. "Wah... Refi mau ke sini." girang salah seorang wanita berpakaian sangat seksi di antara yang lainnya. "Refi enggak akan suka sama lo. Lo cuma wanita penghibur." tutur Rio dengan nada remeh. "Yang penting Refi pernah pakai gue." sahut wanita itu tak kalah remehnya. "Hai, bro." Rio mendongakkan kepalanya mengarah ke suara lelaki yang sudah dihafalnya. "Refi, gue kangen banget sama lo." wanita tadi berdiri dan mencium kedua pipi Refi manja. Refi melepaskan lengan wanita itu secara perlahan. "Sorry, gue mau ngomong sama Rio." Semua wanita-wanita itu bangkit dan meninggalkan mereka berdua. Setelah semuanya pergi, Refi duduk di dekat Rio. "Lusa gue nikah." ucap Refi santai. Rio mengulurkan tangannya lalu meletakkan punggung tangannya ke kening Refi. "Sama kayak p****t gue panasnya." Rio terkekeh mendengar penuturan Refi yang menurutnya melantur itu. "Gue serius." Refi mengangkat tangannya lalu memperlihatkan cincin di jari manisnya tepat di depan wajah Rio. "Sama siapa?" tanya Rio yang sudah percaya. "Ulfa Anggara. Anak desain semester satu." Rio kembali terkekeh mendengar penjelasan Refi. "Temannya Devi yang bakal dijadikan korbannya Nofal ya?" Refi mengangguk mendengar pertanyaan Rio barusan. "Gue dijodohkan." Refi ikut menyesap minuman yang diberikan Rio barusan. "Oma yang minta." ucap Refi lagi ketika Rio menatapnya penuh tanya. Kini Rio hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Refi sama seperti dirinya, yang tidak pernah bisa menyakiti Airin. Sama seperti Rio yang tidak pernah bisa menentang kemauan Hans. Seperti sekarang ini, kuliah di jurusan bisnis managemen itu adalah perintah Hans. "Gue ngerti." Rio menepuk bahu Refi dua kali. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN