Moment_BaSi
Sinah keluar rumah sakit setelah berpamitan dengan Zita untuk pulang. Sinah yang memang tidak membawa mobil bertujuan akan menunggu taksi di depan rumah sakit.
Dengan kecepatan tinggi, Sinah berjalan tanpa mengamati sekitarnya. Sinah tergelincir di tangga pertama dari dalam. Tubuh Sinah oleng seketika. Bahkan Sinah sudah memejamkan matanya jika pantatnya itu mencium lantai dengan mulusnya.
Bug!
"Kok tidak sakit ya?" tanya Sinah dalam hati.
Sinah membuka matanya dengan perlahan. Kedua matanya terpaku pada sepasang mata yang menatapnya intens. Mata yang sangat menyejukkan dan menenangkan.
"Lo tidak apa-apa?" tanya lelaki yang menolong Sinah.
Sinah bangkit dari jatuhnya. Pantas saja tidak sakit, tubuhnya ditahan oleh lelaki itu. Tapi bentar, Sinah seperti mengenal siapa lelaki itu.
"Kak Ikbal." kaget Sinah ketika menyadari itu Ikbal yang menolongnya.
"Iya, gue Ikbal. Lo tidak apa-apa?" tanya Ikbal dengan nada lembut.
"Enggak kok, thank sudah menolong." dengan gerakan cepat, Sinah langsung meninggalkan Ikbal begitu saja.
Ikbal tersenyum miring menatap kepergian Sinah. Bisa Ikbal ketahui kalau sebenarnya Sinah tadi salah tingkah.
"Lo bakalan jatuh cinta sama gue, Nah." Ikbal meninggalkan area rumah sakit lalu menuju basement untuk pergi bersama mobilnya.
Sampai di depan gerbang rumah sakit, Ikbal melihat Sinah yang berdiri menunggu taksi. Ikbal sengaja memberhentikan mobilnya tepat di depan Sinah.
"Pulang bareng gue saja." ajak Ikbal keluar dari mobilnya.
"Gue bisa pulang sendiri." Sinah mengalihkan pandangannya dari Ikbal.
"Langit mendung loh. Belum tentu juga ada kendaraan umum." bujuk Ikbal tak hilang akal.
Sinah melihat langit di atasnya. Memang mendung, tapi bukankah mendung tak berarti hujan?
"Sudah ikut saja." Ikbal menarik pergelangan tangan Sinah lalu menggiring Sinah sampai masuk ke dalam mobilnya.
"Lo apa-apaan sih. Gue bisa pulang sendiri." Sinah sudah berancang-ancang untuk keluar dari mobil Ikbal. Tapi sial, Ikbal lebih dulu memencet tombol lock pada mobilnya.
Sinah menggeram kesal ketika tidak bisa keluar dari mobil Ikbal. Lagi pula andaikan pintu mobil bisa dibuka tidak mungkin Sinah loncat dari mobil. Ikbal sudah menjalankan mobilnya membelah jalanan kota Bandung.
"Maksud lo apa sih? Gue mau pulang!" bentak Sinah kesal pada Ikbal.
"Gue antar lo pulang." Ikbal mengacak-acak puncak kepala Sinah membuat sang pemilik kepala terdiam seketika.
"Kenapa jantung gue deg-degan begini?" gumam Sinah dalam hati.
Sinah merasa aneh dengan detak jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya.
"Gue pastikan sebentar lagi lo bakalan jatuh hati sama gue, Nah." Batin Ikbal.
Ikbal melirik Sinah dengan ekor matanya. Senyum miring tercetak di bibirnya ketika melihat reaksi Sinah yang salah tingkah.
***
Moment_ReFa.
Ulfa buru-buru berlari dari dalam rumah sakit menuju mobilnya yang terparkir di basement. Ulfa dapat melihat jelas lelaki berwajah oriental sedang menunggunya sambil memainkan ponselnya.
"Lama banget sih lo." gerutu Refi tanpa melihat ke Ulfa.
"Sorry. Gue pamitan dulu sama Zita, Tante Nafita dan Ka..."
"Pacar lo itu." potong Refi cepat. Tangannya memasukkan ponsel ke saku celananya lalu berdiri tegak dan menatap Ulfa yang berdiri tepat di depannya.
"Dia bukan pacar gue kok, Kak." ucap Ulfa jutek.
"Mana kunci mobil lo?" Refi menodongkan tangannya ke Ulfa meminta kunci mobil.
Ulfa mengorek-ngorek tasnya lalu menyerahkan kunci mobilnya pada Refi. Refi dengan cepat masuk ke mobil Ulfa pada pintu kemudi.
"Dasar batu." gumam Ulfa pelan.
"Lo mau gue tabrak?" Refi melongokkan kepalanya dari jendela mengarah ke Ulfa yang masih berdiri di depan mobilnya.
"Ish... Iya bentar." dengan langkah seribu, Ulfa langsung memasuki mobilnya di dekat kursi kemudi.
Refi melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit. Ulfa hanya diam tanpa berniat untuk bertanya kepada Refi akan membawanya ke mana.
"Kita makan bentar." ujar Refi dengan nada datar.
Mobil Ulfa yang tadinya hangat oleh candaan Devi, Sinah dan dirinya kini menjadi sedingin es di kutub. Tidak ada percakapan atau pun tawa bahkan canda. Yang ada hanyalah kebisuan dan suara embusan nafas dari keduanya.
"Apa selamanya gue akan hidup dengan lelaki yang sedingin dia? Gue mimpi apa sampai besok gue harus menyerahkan seluruh hidup gue buat cowok yang sangat dingin. Bahkan lebih dingin dari es di kutub utara." Batin Ulfa meratapi nasibnya.
Refi membelokkan mobilnya ke salah satu caffe yang berjajar di pinggir jalan. Ulfa dapat melihat Refi keluar tanpa sepatah kata pun untuknya. Lagi-lagi Ulfa mengembuskan nafasnya kasar lalu mengikuti Refi keluar. Refi cepat-cepat memencet tombol lock pada kunci mobil Ulfa. Mereka berjalan masing-masing memasuki caffe.
Tanpa menghiraukan tatapan para kaum hawa yang memandang Refi karena ketampanannya. Refi langsung memilih meja hanya untuk dua orang saja yang berada di sudut ruangan. Ulfa mengikuti Refi dan duduk berseberangan dengan Refi.
"Mau pesan apa?" tanya seorang waitters.
"Spagheti dua, ice lemon dua." ucap Refi tanpa meminta persetujuan Ulfa.
Waiters tadi langsung pergi setelah mencatat pesanan Refi.
"Ada yang mau gue bicarakan sama lo. Lebih tepatnya gue mau membicarakan perjanjian kita sebelum nikah." Ulfa bergidik ngeri mendengar suara dingin Refi.
"Nih, baca dan tanda tangani." Refi menyodorkan selembar kertas kepada Ulfa.
Ulfa meraih kertas itu lalu dengan was-was mulai membacanya.
"Baca pakai suara." titah Refi.
"Perjanjian pra-nikah Refi dan Ulfa." Ulfa menarik nafasnya dalam-dalam.
"Satu. Dilarang ikut campur dalam urusan pribadi pasangan dalam hal apa pun."
"Dua. Boleh punya pacar tanpa larangan dan tidak boleh cemburu."
"Tiga. Tidur terpisah dengan beda kamar kecuali kalau ada keluarga yang menginap di rumah."
"Empat. Tidak boleh sampai ada yang tahu kalau kita sudah menikah. Wajib dirahasiakan termasuk dari ketiga sahabat kita masing-masing."
"Lima. Tidak ada namanya keturunan dalam pernikahan ini."
Ulfa selesai membacakan kelima syarat yang diajukan oleh Refi dalam selembar kertas itu.
"Kalau lo mau menambahi syarat tinggal tulis saja." tawar Refi berbaik hati.
"Gue rasa cukup." ada sedikit rasa nyeri di hati Ulfa setelah membaca semua syarat dari Refi.
Apa benar jika Refi tak ada niat untuk mencintainya? Jangan jauh-jauh cinta, menerima saja Ulfa sudah bersyukur.
"Apa lo tidak mau menambahkan kontrak pernikahan dan cerai dalam perjanjian kita?" tanya Refi lagi membuat Ulfa tersentak akan kata cerai.
"Gue memang tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Tapi gue tidak pernah menganggap sebuah pernikahan menjadi permainan. Gue punya prinsip menikah hanya sekali seumur hidup. Ya meski pun gue nikah sama orang yang tidak gue cintai dan tidak cinta sama gue. Tapi tidak pernah terbesit sekali pun untuk cerai." Ulfa memberanikan diri untuk membalas tatapan mata Refi.
"Dan yang paling penting, gue tidak mau bikin kedua orang tua gue kecewa. Mereka hanya punya gue satu-satunya anak. Kalau bukan gue yang membahagiakan mereka, mau siapa lagi?" Ulfa mengembuskan nafasnya kasar.
Refi menautkan jemarinya lalu menyangga kepalanya dan memandang Ulfa.
"Good. Pemikiran lo sama kayak gue. Maka dari itu, gue tidak mencantumkan syarat itu dalam surat perjanjian kita." Refi meraih surat perjanjian mereka lalu menanda tanganinya.
"Tanda tangan sekarang." Refi kembali menyodorkan ke Ulfa. Kali ini ganti Ulfa yang menanda tanganinya.
"Gue sudah siapkan rumah buat kita setelah nikah nanti."
Ulfa mendongakkan kepalanya mengarah ke Refi.
"Cuma kita berdua yang akan tinggal di rumah itu?" Ulfa merutuki pertanyaannya barusan.
"Iyalah, memang lo berharap ada siapa lagi? Anak kita? Ingat! Gue tidak cinta sama lo! Jadi jangan berharap gue mau menjamah tubuh lo itu." Refi menyiniskan suaranya mengarah ke Ulfa.
"Lo pikir gue cinta sama lo? Gue juga tidak mau tubuh gue digerayangi sama makhluk tidak bermoral kayak lo." balas Ulfa tak kalah tajamnya.
Mata Refi nyalang menatap Ulfa. Amarah memuncak di ubun-ubunnya.
"Silakan pesanannya." seorang waiters menyelamatkan Ulfa dari tatapan tajam Refi.
Tanpa mempedulikan tatapan tajam dari mata Refi. Ulfa langsung menyantap spaghettinya dengan lahap.
***
Moment_DeNof.
Devi merasa was-was berada di dalam mobil bersama Nofal. Jantungnya tak bisa berhenti berdetak karena takut. Keringat dingin terus meluncur di kedua pelipisnya.
"Lo kenapa sih, Dev?" Nofal mengangkat tangannya ingin membelai rambut Devi yang tergerai indah.
"Mau apa?" tanya Devi dengan takut menghadap ke Nofal.
"Rambut lo indah." kali ini Nofal sudah benar-benar membelai rambut Devi.
"Biar gue ikat."
Devi cepat-cepat mengikat rambutnya. Devi tidak ingin Nofal lebih lama lagi membelai rambutnya.
Glek!
Nofal meneguk ludahnya dalam-dalam ketika melihat leher jenjang Devi yang putih tanpa bekas luka sedikit pun. Hasrat Nofal sebagai lelaki kembali datang ketika melihat sebuah tali underwear Devi yang kelihatan berwarna hijau. Dengan cepat Nofal mengalihkan pandangannya dari Devi dan memfokuskan ke jalan raya.
"Tahan, Fal. Lo harus bekerja lebih ekstra lagi buat mendapatkan semuanya." Bisik hati Nofal sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lo kenapa, Kak?" Devi memandang aneh ke arah Nofal.
"Enggak, Dev. Gue tidak kenapa-napa." dengan sekuat tenaga Nofal berusaha menetralkan hasratnya.
"Kita makan jagung bakar bentar yuk." ajak Nofal diiringi senyum ramahnya.
"Tidak usah." Devi masih berusaha menolak dengan lembut.
"Tidak apa-apa, gue traktir kok." Devi mendengus kesal ketika Nofal tak menggubris tolakannya.
Nofal membelokkan mobil milik Refi yang dia kendarai ke sebuah warung pinggir jalan yang menyediakan jagung bakar juga. Devi kembali dibuat terkejut ketika Nofal membukakan pintu untuknya.
"Thank." Devi berjalan mendahului Nofal.
Nofal terus memandangi leher jenjang Devi. Semua itu menyiksanya. Dengan keberanian penuh Nofal membuka ikat rambut Devi secara perlahan.
"Apa-apan sih, kenapa dilepas." gerutu Devi mencoba meraih ikat rambut di tangan Nofal.
"Lo lebih cantik kalau rambut lo digerai, Dev." dengan tidak berdosanya, Nofal membuang ikat rambut Devi sejauh-jauhnya.
"Ish... Seenaknya saja main buang-buang. Dikira belinya pakai daun apa." dengus Devi bertambah kesal.
"Nanti gue ganti segudang. Asal tidak lo pakai di tempat umum." Nofal merangkul pundak Devi. Membuat Devi berjingkat kaget.
"Apa sih, Kak. Lepas." Devi berusaha melepaskan rangkulan tangan Nofal dari pundaknya.
Hanya sia-sia yang Devi dapatkan. Tangan Nofal terlalu kuat merangkulnya.
"Pak, jagung bakar rasa pedas manis dua ya." pesan Nofal kepada sang penjual.
Devi menutup hidungnya menggunakan tangan ketika ada banyak asap mengepul di sekitarnya.
"Baik, silakan ditunggu."
Nofal menyeret Devi ke salah satu saung yang masih kosong. Dari saung itu bisa terlihat pemandangan pohon teh terbentang luas menghampar di sepanjang jalan.
"Pakai jaket gue, Dev. Lo kedinginan kan." Nofal melekatkan jaketnya ke tubuh Devi. Lagi-lagi Devi dibuat kaget oleh Nofal.
"Tidak usah, Kak. Thank." Devi berniat melepas jaket Nofal dari tubuhnya. Tapi dengan cepat, Nofal menahannya.
"Gue tidak mau lo sakit."
Devi sempat terpana akan tatapan lembut dari mata Nofal.
"Ini jagung bakarnya."
Nofal dan Devi kembali bersikap biasa ketika pedagang jagung bakar memberikan pesanan mereka.
"Dev." panggil Nofal di sela-sela kunyahannya.
"Hem..."
"Lo kenapa sih takut banget sama gue?"
Devi menghentikan aktivitas makan jagung bakarnya lalu memandang Nofal yang menatapnya penuh tanda tanya.
"Gue cuma jaga diri saja. Gue tidak mau jadi korban kayak cewek lainnya." jawab Devi jujur. Meski dalam lubuk hatinya, Devi menahan ketakutan yang sangat besar.
"Lo tahu, Dev? Selama ini cewek-cewek itu yang kejar-kejar gue. Bukan gue yang mengejar mereka. Mereka yang menyerahkan diri mereka ke gue." Nofal sengaja memberikan jeda dalam ucapannya.
"Gue sebagai lelaki bisa apa? Sedangkan lo tahu sendiri, yang namanya lelaki punya nafsu tinggi. Pas giliran mereka sudah tidak ada artinya, mereka menyalahkan gue dan jelek-jelekin gue."
"Tapi kan lo bisa nolak, Kak."
"Gue sudah bilang kan. Cowok itu nafsunya tinggi. Yang namanya kucing dikasih ikan mana ada yang nolak sih."
"Gue itu bagaimana ceweknya. Kalau ceweknya bisa jaga diri, ya gue tidak akan sentuh cewek itu. Dan lo percaya kan kalau gue tidak mungkin menyakiti cewek yang gue sayang."
Devi sempat terkesiap ketika Nofal menggenggam jemarinya.
"Gue suka sama lo, Dev. Please, izinkan gue buat menjaga lo." Nofal membelai tangan Devi dengan sangat lembut.
Devi melepaskan tangannya dari genggaman Nofal.
"Gue tidak akan paksa lo kok, Dev. Cinta kan tidak bisa dipaksakan."
Hati Devi terenyuh mendengar penuturan Nofal barusan.
"Jangan termakan sama gombalannya, Dev." Devi mencoba mengingatkan dirinya sendiri dalam hati.
"Gue akan tunggu jawaban lo minggu depan. Dan gue berharap lo tidak mengecewakan gue."
"Gue mau pulang, Kak. Mama pasti sudah menunggu di rumah." Devi meninggalkan Nofal begitu saja menuju mobil Refi yang dikendarai oleh Nofal.
"Gue yakin, lo bakal cinta sama gue." ucap Nofal percaya diri.
***
Moment_RiZi
Setelah dipaksa oleh Reno dan Zita, akhirnya Nafita mau pulang juga. Nafita memang butuh istirahat saat ini. Sedangkan Zita siap siaga menjaga Yudha di ruangan rawatnya. Zita senang, mengingat di dalam kamar ini ada lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya dari pagi.
"Kak Rio sudah makan?" tanya Zita lembut kepada Rio yang asik duduk di sofa.
"Lo lihat gue pergi tidak dari tadi pagi? Ya jelas belumlah kecuali sarapan." jawab Rio jutek tanpa menengok ke arah Zita.
"Ya sudah, biar aku belikan makanan ya."
"Tidak usah, biar gue delivery saja. Lo kalau mau pergi ya pergi saja. Kalau bisa tidak usah balik lagi." sahut Rio marah kepada Zita.
"Ya, aku pergi dulu, Kak." Zita meninggalkan Rio di dalam ruang rawat Yudha. Zita masih berusaha tersenyum di depan Rio meski hatinya sangat sakit saat ini.
"Ish... Menyebalkan, kenapa hidup gue semenderita ini sih?" tanya Rio membanting ponselnya ke sembarang tempat.
Rio mendengus ketika mengingat bahwa Hans sengaja mengirimkan lima bodyguard untuk menjaga depan pintu ruang rawat Yudha. Tujuannya hanya satu, supaya Rio tidak pergi dari rumah sakit.
"Ini konyol." Rio menjambak rambutnya sendiri karena merasa frustasi.
"Sampai kapan pun, gue tidak akan terima dia sebagai istri gue." rahang Rio mengeras mengingat kebahagiaannya telah dirampas oleh Zita.
Ditambah pernikahan ini ada karena Zita yang membutuhkan uang untuk biaya operasi Yudha. Hal itu membuat Rio semakin murka jika melihat Zita.
"Dasar gadis murahan, gue benci sama lo." Rio menjambak rambutnya sendiri meluapkan rasa kesalnya.
***
Next...