17. Budeg not Gudeg

1198 Kata
Pagi-pagi sekali Agnes sudah terbangun dari tidurnya karena harus membuat sarapan untuk dirinya sendiri. Tubuhnya bangkit seraya mengikat rambutnya asal supaya tidak mengganggu kegiatannya. “Masak apa ya hari ini ...” Bibir gadis itu bergumam ketika melihat berbagai macam bahan masakan memenuhi kulkas. Semenjak menjadi model di agency temannya, kehidupan Agnes benar-benar berubah drastis. Sejak saat itu pula dia tak lupa menyisihkan sebagian uangnya untuk diberikan kepada yayasan panti kasih. Ketika matanya melihat deretan telur, Agnes langsung menyunggingkan senyum lebarnya. “Bikin sandwich aja deh, biar sesekali makan sehat.” Gadis itu cekikikan mengingat seringkali mengkonsumsi micin akhir-akhir ini. Dengan cekatan tangannya menggoreng telur mata sapi. Tak membutuhkan waktu yang lama kini telur tersebut sudah siap dan Agnes segera memindahkannya ke atas roti yang sudah dihias dengan selada. Senyumnya semakin mengembang kala melihat begitu cantiknya telur yang ia goreng tadi. Tanpa menunggu lama Agnes mengambil saus tomat dari botol dan melabuhkan di atas telur. “Selesai!” seru Agnes membawa sandwich buatannya ke atas meja. Kemudian kakinya kembali melangkah menuju kamar karena akan mandi terlebih dahulu sebelum nantinya dia menikmati sarapan pagi. Sekitar 20 menit Agnes sudah selesai dengan seragam rapi yang melekat di tubuhnya. Agnes melangkah menuju meja dimana ia meletakkan sandwich tadi dan mulai memakannya santai. Hari ini ia tidak mau dijemput teman barunya karena sungkan, jadinya Agnes memutuskan untuk memesan ojek online. Sembari menikmati sarapannya, Agnes juga memesan ojek online agar saat makanannya habis dia bisa langsung berangkat. Tak lupa Agnes menenggak segelas susuu yang tadi diambilnya dari kulkas. “Puji Tuhan kenyang banget, semoga gak ngantuk deh ...” lirih Agnes. Tin! Senyuman Agnes mengembang ketika mendengar suara klakson motor. Dengan sigap dia mengambil tasnya kemudian berjalan keluar supaya tidak terlambat tiba di sekolah. Saat sudah keluar pagar, senyuman Agnes surut dan berubah menjadi kebingungan. “Kamu ngapain disini, Alun?” tanya Agnes saat melihat keberadaan Alun yang sudah duduk di atas motornya. Mendapat pertanyaan seperti itu, kedua mata Alun memutar malas. Bisa-bisanya ada orang yang tidak bahagia ketika dijemput oleh teman, atau mungkin sahabatnya seperti Agnes sekarang. “Lo gak seneng gue jemput, Nes?” cetus Alun. Sontak Agnes mengibaskan kedua tangannya agar Alun tidak salah paham. Mana ada orang yang tidak bahagia apalagi yang menjemputnya adalah Alun. Murid-murid di sekolah yang ingin dekat dengan Alun aja kesusahan, jadi tak ada alasan untuk dirinya menolak apalagi dia bisa sedekat itu dengan salah satu pentolan sekolah. Bukan perkara status Alun sebagai orang yang disegani, melainkan kebaikan yang dilakukan Alun selama ini. “Bukan Alun, masalahnya aku udah pesen ojek,” cicit Agnes tak enak hati menolak. “Ojek lo udah dicancel sama si Grace, cek aja kalau gak percaya,” tukas Alun. Mendengar itu Agnes langsung buru-buru mengecek riwayat pesanan dari aplikasi ojek langganannya. Kedua matanya membulat panik karena kasihan dengan nasib supir tersebut. “Alun seharusnya jangan gini, kasihan supir ojeknya kalau di tolak soalnya dia bisa dapet rating buruk dari atasannya,” cerocos Agnes membuat Alun memutar matanya jengah. “Semuanya udah diatur, Nes, lebay banget dah!” Alun menukas. “Buruan naik, keburu telat.” Agnes beberapa kali mengerjap karena mencoba mencerna maksud dan ucapan dari Alun. “Buruan!” gertak Alun karena Agnes yang terlalu lamban. “I—iya Alun.” Segera Agnes naik ke boncengan Alun sebelum dia terkena amukan temannya itu. Selama perjalanan menuju sekolah tak ada percakapan baik dari Agnes maupun Alun. Keduanya sibuk menikmati suasana pagi hari yang begitu ramai dengan kendaraan berlalu lalang. “NES, MAU BELI BUBUR DULU GAK?” teriak Alun mengingat tak lama lagi mereka melewati stand PKL yang terbiasa ramai di pagi hari. “HAH? BUNGANYA SUBUR?” sahut Agnes melenceng. “Dasar budeg ...” lirih Alun dari balik helm-nya. Kesalahan terbesar adalah mengajak orang berbicara ketika berada di motor. “LUN, MANA BUNGA YANG SUBUR?” teriak Agnes lagi karena tak mendapat tanggapan. “BODO AMAT NES, BUDEG LO!” Alun yang murka segera berteriak. “KAMU MAU BELI GUDEG?” tanya Agnes lagi. “GAK NGURUS LAH ANJENG!” Lebih baik ia segera melajukan kendaraannya supaya bisa menempeleng kepala si cupu itu. Benar saja tak lama kemudian motor yang membawa Alun dan Agnes itu akhirnya tiba di deretan penjuall makanan. Agnes sendiri hanya bisa menatap Alun penuh tanya. “Ngapain kok berhenti disini? Emang ada yang jual gudeg, ya?” tanya Agnes polos. “Heh, gak ada yang bilang mau cari gudeg ya, gue tadi bilang budeg soalnya lo ngomongnya gak nyambung banget selama di motor tadi!” sungut Alun kemudian melenggang menuju stand jualan bubur. Agnes melongo ketika Alun meninggalkannya. Otak cantiknya mencoba mencerna maksud perkataan gadis itu hingga akhirnya paham jika Alun ingin membeli bubur. “Hehehe ... kayaknya aku perlu ke THT ...” *** Motor yang dikendarai Alun dengan Agnes sebagai penumpangnya tiba di halaman sekolah Dems. Agnes segera turun guna membantu Alun yang kesusahan parkir karena banyaknya bubur yang dia bawa. “Emang anak-anak belum pada sarapan Lun? Kayaknya bel kan kurang lima belas menit lagi?” tanya Agnes setelah mengetahui jika bubur yang dibeli tadi ternyata untuk anggotanya. Alun mengangkat bahunya. “Riel cuma bilang aja minta belikan bubur buat anak-anak, gitu.” “Oh ... oh iya, tumben kamu gak berangkat sama Landra?” Agnes baru menyadari beberapa hari ini Alun terlihat pulang pergi seorang diri. “Bucin dia,” dengus Alun. “ya gak masalah sih sebenernya. Orang kalau lagi fall in love pasti bakal lupa sama semuanya, termasuk lupa sama gue yang statusnya kembarannya.” Agnes tertawa renyah menanggapi. Tidak mungkin juga harus menimpali dengan kata-kata karena itu bukan ranahnya. Riel yang kebetulan berada tak jauh posisinya langsung berlari saat melihat Alun. Pemuda dengan tas di punggungnya itu sembari mengabari para sahabatnya yang tadi memintanya untuk dibelikan bubur. “Wah, bubur gue tuh,” celetuk Riel merampas satu kresek dari tangan Agnes. “Heh, gak sopan lo!” delik Alun setelah melihat kelakuan Riel. Riel hanya cengengesan menanggapi kemudian berkata. “Thanks ya, gue mau kasih titipan ini ke anak-anak dulu.” Selepas Riel berlalu, sebuah mobil memasuki pekarangan dan parkir tidak jauh dari posisi Agnes dan Alun berdiri. Tak sampai lima menit pintu terbuka menampilkan Landra yang keluar disusul Jesslyn. “Widih ... pasangan bucin boskyue ...” sindir Alun. Melihat keberadaan calon Adik iparnya, Jesslyn segera berlari kecil mendekati Alun yang juga berstatus sebagai sahabatnya. Disana juga ada Agnes yang sedang tersenyum kepadanya. “Hai Alun, hai Agnes,” sapa Jesslyn. Alun membalas dengan cebikkan sementara Agnes membalas sapaan itu dengan senyuman. Jika ada Landra seperti ini, Agnes tak bisa leluasa mengobrol dengan Jesslyn. “Heh, ngapain lo disini? Pergi sono,” usir Landra sekenanya. Baru saja Agnes memikirkan apa yang akan Landra lakukan, pemuda itu ternyata sudah siap dengan ucapan pedasnya. Karena tak mau terkena amukan lagi dari si pemuda PMS tersebut, Agnes akhirnya berlalu dari sana. “Nes, lo lihat Alun gak?” Di pertengahan jalan, Agnes berpapasan dengan Zelo yang notabene kekasih dari Alun. “Di parkiran, Kak, lagi ngobrol sama Jesslyn,” sahut Agnes ramah. Zelo segera mengucapkan terima kasih kepada Agnes dan berlalu dari sana, sedangkan Agnes kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas karena tak mau bersitatap dengan Landra lagi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN