18. Strategi Kenand, Unda ...

1215 Kata
Dari balik kacamatanya, Kenand mengamati rangkaian huruf yang membentuk kalimat pada layar laptopnya. Kedua mata tajamnya menelisik tulisan yang saat ini ia baca dengan pandangan tak percaya. “KENAND? KAMU UDAH BANGUN NAK?” Kenand terkejut mendengar teriakkan dari balik pintu. Tanpa menutup laptopnya, Kenand bangkit menghampiri seseorang yang mungkin masih menunggu balasan darinya. Cklek! “Unda, masih pagi udah teriak-teriak aja,” ucap Kenand dengan wajah pura-pura mengantuk. Padahal dia sudah terjaga sejak pukul satu dini hari tadi. Jika saja Undanya tau, pasti dia akan terkena amukan. Abel melirik putranya seraya berkacak pinggang. “Kamu gak tidur lagi, hah? Lihat, mata kamu kayak habis digebukin satu RT!” Kenand yang sudah kepergok hanya bisa cengengesan. Dia juga tak menyangkal ucapan Undanya sekalipun dia sempat tidur selama tiga jam. Karena semakin dia mengelak seorang wanita, maka semakin panjang urusannya. “Bukan gitu Unda ... Kenand itu lagi menjalankan misi—” “Misi apa? Misi tawuran? Iya?” tukas Abel yang langsung dibalas urutan dadaa oleh Kenand. Ketakutan terbesar dalam diri Abel sebagai seorang Ibu adalah anaknya terluka dan dia tidak bisa melakukan apapun selain membawanya ke rumah sakit. Sejak awal Kenand bergabung di STONE, harapan Abel hanyalah ‘Kenand dan lainnya selalu dilindungi'. “Misi cari tau, siapa yang udah pukulin Celine ...” cicit Kenand. Di luar dia memang terlihat tangguh dan serba bisa, namun ketika di rumah Kenand akan seperti anak kucing yang bergantung pada induknya. Kedua mata Abel yang tadinya menunjukkan ekspresi berang berubah menjadi terkejut dan khawatir. Wanita itu mengguncang lengan putranya dengan raut yang tak bisa dijelaskan. “Lalu, bagaimana keadaan Celine sekarang? Kenapa kamu gak cerita sama Unda?” cecar Abel yang mengingat beberapa hari ini dia tidak ada kegiatan menjenguk sahabat anaknya. “Maaf, Unda ... kami sepakat buat menyembunyikan ini dari para orang tua sampai kami semua tau, siapa pelakunya ...” jelas Kenand. Abel menghela pelan. “Ya udah, sekarang kamu siap-siap terus makan.” *** Sekarang ini Landra berada di kursi panjang yang terletak di depan kelas bersama dengan Jesslyn. Tangannya begitu cekatan menyuapi Jesslyn dengan bubur yang tadi dibawakan oleh Adiknya. “Untung Alun bawa bubur, Jess, coba kalau enggak?” ingat Landra ketika mengetahui jika gadisnya belum sarapan. Jesslyn tertawa renyah. “Hari ini aku bingung makan apa karena merasa malas makan di rumah, ternyata Alun membeli bubur sangat banyak.” “Ya ... itu karena Riel yang kebetulan minta untuk dibelikan banyak sekali bubur, katanya akan dibagikan kepada anak-anak,” jelas Landra. “Ada-ada aja kelakuannya,” sahut Jesslyn setelah menelan makanannya. Landra mengangguk setuju. Memang tingkah anak STONE suka tidak terduga. Terkadang mereka akan seperti singa yang tak akan melepas mangsanya, terkadang juga mereka seperti anak-anak yang membutuhkan perlindungan. “BISA-BISANYA LO BERDUA GIBAHIN GUE!” Dari jarak yang lumayan jauh, Riel berkacak pinggang dengan mata melotot karena menjadi bahan gosip para sahabatnya. Pemuda absurd itu merasa risih karena sejak tadi telinganya berdengung keras. Ternyata ini penyebabnya! “Lo ngadi-ngadi doang pasti,” elak Landra dengan senyum mengejek. “Heh, gue denger ya sejak lo berdua bahas bubur!” hardik Riel. “Pantesan dari tadi kuping gue ngang-nging-ngong terus!” “Seriusan Riel?” pancing Jesslyn yang langsung diangguki cepat oleh Riel. “Mungkin lo kopok, bawa aja ke dokter.” “SERAH LO BERDUA DAH, THANKS JURAGAN KOS!” teriak Riel karena dia merasa seperti hanya mengontrak di bumi. Sudah dijadikan bahan gosip, sekarang diperlihatkan ke-uwu-an keduanya. Sedangkan Landra dan Jesslyn disini statusnya sudah seperti pemilik kos-kosan. Landra dan Jesslyn keduanya serempak tergelak kencang karena melihat apa yang dilakukan oleh Riel. *** Keriuhan yang terdengar dari kelas 10 IPA 2 mendadak terhenti saat mendapati pria setengah baya dengan tumpukan buku di tangannya memasuki kelas. Mereka yang tadinya berisik itu mulai mengecilkan suaranya, membicarakan guru yang baru saja masuk tersebut. “Ya ... yang di belakang kenapa kumpul seperti itu? Lagi gosip, kan?” tuding Pak Tatang sekenanya. Kebetulan posisi yang ditunjukkan oleh Pak Tatang itu merupakan letak dimana Stoneji berkumpul. Alun mendengus karena kini seisi kelas sudah menatap ke arah kelimanya. Agnes sendiri meskipun berada dalam lingkup Stoneji, dia tetap terfokus pada buku catatannya. “Estrella, kamu ngapain berkumpul dengan mereka? Mau membandel juga?” Pak Tatang berkacak pinggang setelah menyadari ada salah satu muridnya yang berprestasi di antara gadis-gadis bandel tersebut. “Tidak, Pak, saya kan mau belajar,” sahut Agnes dengan wajah yang polos. Pak Tatang yang geram segera membuang muka, dia tak mau kelepasan emosi dengan murid-muridnya. “Baiklah, lebih baik sekarang buka materi tentang perhitungan gelinding bola,” perintah Pak Tatang. “Eh, gue males banget hari ini ... bawaannya pengen tidur aja,” keluh Grace. Jesslyn menoleh kemudian menyentuh dahi sahabatnya. “Gak panas, lo mau alasan doang kan biar gak bolos?” Grace cengar-cengir mendengar penuturan Jesslyn. Dia ketahuan padahal baru saja memulai acting. “Sekolah yang bener,” tegur Celine yang sejak tadi mendengarkan obrolan kedua sahabatnya. “Lo kira selama ini gue gak bener gitu sekolahnya? Asal lo tau, nilai gue selalu di atas rata-rata,” sombong Grace. Sekalipun kegiatan anak STONE hanya mondar-mandir bersama gengnya, tak pernah mereka merasakan yang namanya remedial. Silahkan bebas melakukan apapun, kecuali s*x and stupid. Kedua mata Celine memutar jengah karena kesombongan sahabatnya. Setelah itu tak ada percakapan lagi karena mereka semua fokus dengan Pak Tatang yang menjelaskan mengenai rumus. *** Kring ... Kring Riel berbinar setelah mendengar suara bel kebahagiaan menggema di seluruh sekolah. Pemuda itu bangkit dari duduknya sembari mengulet brutal hingga tanpa sengaja menyenggol kepala Rio yang kebetulan baru saja berdiri. “Bangsatt!” Rio menatap tajam sahabatnya yang justru kini menyengir tanpa dosa. “Sumpah, gue gak sengaja Rio.” Riel menunjukkan jari tengah dan telunjuknya bersamaan setelah melihat wajah garang Rio. Ardo yang mendengar itu segera menimpali. “Hajar aja udah, emang tuh orang suka seenaknya.” “Bener apa yang dibilang sama Ardo, sekali-kali si Riel emang harus dikasih pelajaran,” sahut Kenand. Wajah nelangsa Riel kini menatap Landra penuh. Hari ini hanya Landra saja yang tidak ikut menjadi kompor, jadi ada kemungkinan Riel bisa mendapatkan bantuan. “Lan ...” panggil Riel. Landra menoleh dan mengangkat sebelah alisnya penuh tanya. Melihat respon Landra, sepertinya pemuda itu memang tidak mengetahui jika Riel baru saja menjadi objek bully. “Bantu gue Lan ... masa iya gue diserang kayak gini,” adu Riel pura-pura menjadi manusia paling ternistakan. “Kenapa hm? Lo diapakan sama mereka?” sahut Landra mulai tertarik dengan topik pembicaraan. Senyum Riel mengembang setelah mendengar respon dari sahabatnya. Segera saja ia mulai mengarang indah supaya mendapat simpati dari ketuanya itu. “Gini ya Lan, masa Rio marah sama gue tanpa sebab? Gue gak sengaja nyenggol dia, dikit doang padahal.” Rio yang mendengar cerita ngawur itu semakin berang, ingin sekali dia menghajar wajah Riel yang kini memasang senyum mengejek kepadanya itu. Tahan, tunggu waktunya! “Serius lo ngambek sama ini orang cuma karena kesenggol?” Landra beralih menatap Rio yang kini sudah membuang muka. “Gak.” “Serius gak?” “Hm.” Landra menyeringai. “Riel ...” Mendadak bulu kuduk Riel merinding karena nada panggilan Landra yang terkesan angker untuk didengarkan. Karena tak mau mendapatkan bogeman, Riel akhirnya menatap Landra penuh hingga kedua matanya refleks membola. “GAK LAN, GUE CUMA BERCANDA!!!!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN