Alun yang tadinya akan menenggak minumannya langsung urung saat itu juga ketika melihat Kenand keluar bersama tangan kanannya. Karena penasaran dengan strategi terbaru dari Stranemos, gadis itu memilih bangkit dari duduknya.
“Mau kemana, Lun?” Pergerakan Alun terhenti saat mendapatkan cekalan pada tangannya. Gadis itu melepaskan tangan Zelo kemudian menundukkan kepalanya.
“Bemtar, aku mau nguping.” Setelah berkata seperti itu, Alun cekikikan sendiri lalu beranjak dari ruangan.
Alun melewati kerumunan yang ada di luar ruangan dengan tangan berada di hidung. Bukan karena aroma alkohol, melainkan aroma rokok yang kini mengusik penciumannya.
“Cewek, ngapain sih buru-buru?”
Berkali-kali Alun menepis tangan nakal laki-laki yang sedang mabuk disana. Hingga akhirnya gadis itu menghembuskan nafas lega karena bisa keluar dari club dengan selamat.
“Akhirnya gue bebas dari kandang buaya,” gumam Alun lega. Matanya berpendar mencari keberadaan kedua temannya dan melihat punggung Kenand memasuki mobil. Gadis itu melangkah segera bermaksud untuk menguping.
Saat berada di samping mobil, bibir Alun berdecak karena ternyata tak bisa mendengar apapun yang dibicarakan oleh Kenand dan Leo.
Tok! Tok!
“Kenand!”
Tak lama setelah Alun mengetuk pintu mobil itu, Kenand menurunkan kaca dengan raut bingungnya. Sama halnya dengan Leo yang menatap Alun penuh tanya.
“Ngapain, Lun?” tanya Kenand kemudian keluar dari mobil diikuti oleh Leo.
Sekarang ketiga orang itu tengah berdiri berhadapan dengan wajah tegang masing-masing. Leo yang tegang karena berpikir mengenai rencana Kenand kali ini, Kenand si pembuat strategi tegang karena harap-harap cemas dengan rencananya, sementara Alun tegang karena rasa takut dari dalam dirinya.
“Kenapa gak langsung ke Landra aja, Kenand?” tanya Alun.
“Gak bisa, Lun. Gue ada tangan kanan, jadi gue harus ke Bang Leo dulu sebelum keputusan final ke Landra. Itu kan aturannya dari dulu?” ujar Kenand agar tak ada kesalahpahaman.
Alun mengetuk dagunya seolah berpikir panjang yang tentu saja membuat Kenand jengah sendiri.
“Iya-iya, serius banget lo pada!” Mendengar ucapan Alun, Kenand dan Leo seketika mendatarkan wajahnya. Terkadang Alun tidak bisa mengikuti kondisi dan sering keterlaluan dalam bertindak. “Ya udah mending sekarang balik lagi ke ruangan sebelum kalian berdua dicurigai!”
Kenand dan Leo setuju dengan ucapan Alun. Jika mereka berdua terlalu lama di luar seperti ini, mereka semua pasti akan berpikiran macam-macam atau paling parahnya keduanya akan dianggap menyusun cara untuk berkhianat.
***
Hari ini Dems kebetulan sedang libur sekolah karena para petinggi mengadakan kunjungan amal ke panti kasih yang ada di Ibukota. Waktu seperti inilah yang sangat dibutuhkan oleh Landra karena otomatis universitas turut libur dan dia bisa mengobrol dengan Kakaknya Alcan.
“Kak, sibuk gak?” tanya Landra menghampiri Alcan yang bersantai menikmati suasana pagi di tepi kolam.
Alcan mengalihkan perhatiannya dari ikan koi kesayangannya ketika mendengar suara Adiknya. Pemuda itu bangkit dari jongkoknya dan berjalan mendekati Landra.
“Kenapa?”
Landra ragu untuk bercerita, namun peran Kakaknya sebagai seseorang yang membuat STONE sangat diperlukan. Terlebih masalah strategi yang memiliki dampak resiko begitu besar.
“Ini soal STONE.”
Alcan mengernyit sesaat sebelum akhirnya menyuruh Landra duduk di kursi panjang. “Kenapa sama STONE?”
“Mengenai strategi yang digunakan Kenand soal penyergapan untuk Aeros, ak—”
“Aeros? Kenapa sama geng itu? Mereka buat ulah?” potong Alcan yang membuat Landra mendengus.
“Landra belum selesai ngomong, Kak ...”
Senyum kikuk terbit dari bibir Alcan. “Lanjut.”
“Waktu itu Ardo sebagai Brainemos sekaligus Kakak dari Celine nemuin bukti soal pengeroyokan dimana Celine jadi korban. Nah apa yang ditemukan Ardo sebagai bukti itu Aeros nyerang soalnya dilihat dari jaket yang digunakan,” jelas Landra.
Merasa tidak ada lanjutan ucapan lagi dari Adiknya, Alcan langsung berkata, “kamu yakin mereka Aeros? Bukan kelompok yang dengan sengaja mau adu domba STONE sama Aeros?”
“Itu masalah utamanya, Kak, aku udah bilang ke Ardo buat gak gegabah, karena gak mungkin Aeros sengaja menunjukkan jati dirinya buat nyerang STONE.”
***
Satu-persatu motor mulai berdatangan di markas pusat STONE. Agnes yang dijemput oleh Grace juga baru saja menapakkan kakinya di bangunan megah berwarna hitam tersebut. Kedua matanya memandang bangunan tersebut risau karena penampakannya mirip seperti tempat pemujaan hal mistis.
“Nes, ngapain lo lihatin markas gitu banget?” Grace yang baru saja memarkirkan motornya segera menghampiri Agnes. Sejak tiba memang Agnes terlihat aneh, lebih tepatnya seperti mata-mata.
“Ini markas STONE?” Bukannya menjawab pertanyaan Grace, Agnes justru mempertanyakan hal lain.
“Iya, emang kenapa?” sahut Grace.
Agnes memandang Grace dengan pandangan kikuk. “Serem Ace, mirip tempat pemuja setan.”
Detik itu juga Grace tergelak karena jawaban yang terlontar dari bibir Agnes. Kepalanya menggeleng tidak percaya karena justru ada anggotanya sendiri yang menganggap jika suasana di markas ini begitu suram.
“Akhirnya ada yang ngasih komentar soal markas ini,” balas Grace masih dengan gelak tawanya.
Agnes menggaruk keningnya karena malu. “Maaf.”
“Ngapain nih segala maaf-maafan? Ini kan belum hari raya,” celetuk Melisa, tangan kanan Celine.
Grace yang tadinya akan membuka mulut seketika urung karena melihat Agnes yang menggeleng panik. Tentu saja tingkah Agnes membuat gadis bermata sipit itu curiga.
“Ada yang kalian sembunyikan?” Melisa bertanya datar, sudah mirip dengan Celine.
Karena tak ingin Melisa salah paham, Grace segera menyela, “kata Agnes, markasnya udah mirip tempat pemuja setan.”
Akhirnya Melisa ikut terkekeh mendengar penjelasan Grace. Kemudian gadis itu merangkul Agnes dan Grace untuk memasuki markas.
Di dalam markas sudah banyak anggota STONE yang duduk di tempatnya masing-masing.
“Yo, akhirnya kalian datang juga,” sambut Getha saat melihat tiga gadis yang sejak tadi sudah mereka tunggu keberadaannya.
Landra yang berada di salah satu kursi dengan Jesslyn turut menoleh ketika mendengar suara Getha. Ketika melihat keberadaan Agnes di antara Grace dan Melisa, kedua mata Landra memutar malas.
“Ngapain lo ikut kesini?” sarkas Landra.
“Si cupu kan emang anggota STONE, kalau lo lupa Lan,” sahut Riel mengingatkan.
Alun mendelik mendengar panggilan yang disematkan Riel.
“Lebih baik langsung aja dimulai, keburu makin malem,” potong Celine agar tak terjadi ribut berkepanjangan.
“Oke, Stranemos beserta tangan kanannya boleh ke depan, dengan membawa apapun yang bisa menjadi acuan penjelasan” titah Landra bossy.
Kenand segera maju bersama dengan Leo setelah mendengar perintah dari Landra. Kedua orang itu masing-masing membawa sebuah tab yang di dalamnya tentu saja sudah ada perencanaan strategi.
Landra menerima itu dan mulai membaca satu-persatu rancangan. Kemudian Landra meletakkan dua tab itu ke atas meja bulat yang ada di tengah.
“Jadi ini susunan penyergapan dari Stranemos, masing-masing pemimpin Skuadran segera memberikan bagian kepada anggotanya kemudian melaporkan semua kepada ketua Skuadran. Rio, atur Skuadran A sampai E besok, sisanya dibantu Samuel selaku tangan kanan,” jelas Landra.
Samuel mengangkat sebelah tangannya. “Ketua, gue boleh minta bantuan sama anggota lain?”
Landra mengangguk atas permintaan Samuel. Sementara yang lain hanya diam mendengarkan selagi itu bukan bagian mereka.
“Jadi, masih ada yang mau tanya gak?” ujar Landra menatap mereka semua bergantian.
“Tidak, ketua!” jawab mereka serempak.
“Oke, dengan ini gue sebagai ketua dari STONE menyatakan apa yang sudah dirancang oleh Stranemos, fix approval!”
Semua orang yang menghadiri pertemuan hari ini bersorak. Akhirnya mereka kembali melakukan strategi penyergapan setelah sempat berhenti untuk beberapa saat.
***