15. Dunia Malam Kami

1126 Kata
Setelah perdebatan siang tadi antara Landra dan Mamanya, sekarang pemuda itu bertingkah seolah tak pernah terjadi sesuatu. Dengan jaket levis berwarna biru yang melekat di tubuhnya, Landra keluar menuju kamar Adiknya. Tok! Tok! “Lun, udah belum?” Dengan sabarnya Landra menunggu hingga pintu yang ada di hadapannya terbuka. “SEBENTAR, KAK!” sahut Alun dari dalam. Teriakkan itu tentu saja mengundang para Abangnya penasaran. Rich yang memang baru saja pulang dari kampus langsung menghampiri Adiknya yang tengah berdiri di depan sebuah pintu. “Ngapain?” Hampir saja Landra terserang jantung karena Abangnya yang kaku itu tiba-tiba menyerukan suara. Dengan gamblang Landra mengusap dadanya yang masih naik turun karena kaget. “Abang bikin kaget aja ...” lirih Landra. Rich tak menjawab ucapan Adiknya. Kedua mata tajamnya menelisik penampilan Landra yang sepertinya akan keluar. “Kamu mau kemana jam segini udah rapi?” tanya Rich. Landra cengar-cengir. “Mau ke—em anu ...” Dia jadi ragu, harus menjelaskan atau tidak. Jika menjelaskan, pasti Abangnya akan marah. Namun kalau tidak menjelaskan, Landra takut dibuntuti oleh Abangnya itu. “Kemana?” ulang Rich jengah karena tak kunjung mendapatkan jawaban. “Ke—” Cklek! “Kak Lan ak—” Alun tak jadi melanjutkan ucapannya saat melihat ada Abangnya Rich juga disana. Keningnya mengerut halus melihat perbandingan wajah keduanya. “Kalian kenapa? Kok kaku gitu?” Wajar saja Alun bertanya karena wajah Landra yang menegang sedangkan Rich memang sudah seperti itu dari sananya. Rich kembali memicingkan matanya melihat penampilan Alun tidak jauh berbeda dengan Landra. Jika sudah begini, sepertinya Rich tau kemana kedua Adiknya akan pergi. “Jangan aneh-aneh kalau lagi di luar,” pesan Rich sebelum berlalu dari sana. Dia bisa mempercayai Landra selama ada Alun di sampingnya. Sekalipun gadis itu memiliki predikat bad, namun Alun paham soal aturan yang dilarang oleh keluarganya. Selepas Rich menghilang dari balik pintu kamarnya, Landra langsung bernafas lega. Sejak Rich mencecarnya tadi, Landra benar-benar seperti akan diadili oleh pemilik kehidupan. “Kakak kenapa?” heran Alun melihat wajah Landra yang berkeringat dingin. Landra menarik tangan Alun menuju tangga melingkar rumahnya. “Untung kamu cepet keluar, daritadi Kakak deg-degan banget pas diwawancara sama Bang Rich.” Detik itu juga tawa Alun meledak hingga membuat para maid yang sedang membersihkan rumah turut dibuat heran. *** Dentuman musik di salah satu club malam menjadi teman dari para remaja yang kini berada disana. Atas kekuasaan yang dimiliki oleh Riel sebagai pemilik, maka dari itu mereka semua diizinkan masuk. Di sebuah ruangan VIP yang bisa dibilang sangat luas itu, para anggota STONE duduk di sofa melingkar. Mereka tengah asik meminum cocktail yang sudah dipesankan oleh Stoneji sebelumnya. “Padahal whiskey juga enak,” celetuk Riel yang langsung diberi tatapan tajam oleh Celine. Riel yang merasakan ada tatapan begitu menusuk langsung mengedarkan pandangannya. Saat matanya bersitatap dengan Celine yang tengah memelototi dirinya, Riel segera menelan ludahnya bulat-bulat. “Canda elah, baper banget lo!” Celine tak menggubris gerutuan Riel karena fokusnya hanya ada pada minuman di tangannya. Perlu digaris bawahi, sekalipun STONE kehidupannya terbilang bebas, mereka tak serta merta merusak diri sendiri. Ada waktu yang memang diizinkan untuk minum, namun tidak setiap waktu. Untuk urusan ranjang, mereka tidak ada yang seperti itu. Prinsip dari STONE ‘Biarlah orang menganggap kita apa’ yang terpenting kenyataannya tidak seperti itu. “Gak ada yang mau ke dance floor kah?” tanya Grace. Dia ingin sekali joget-joget melepas penat yang menumpuk di otaknya karena setiap hari harus berurusan dengan berbagai macam kode. Mereka semua serempak menggeleng. Membayangkan berjoget di dance floor saja membuat tubuh mereka merinding tak karuan. Disana pasti berdesakan dan akhirnya badan mereka digerayangi orang lain. “Ogah, entar gue di grepe-grepe disana,” tolak Alun. Bibir Grace cemberut karena penolakan tersebut. Namun dia juga menyetujui ucapan Alun jika saat disana pasti badannya yang mungil ini akan dilirik oleh para manusia mata keranjang. “Bener juga lo, ogah deh kalau digerayangi.” Grace bergidik sendiri. Agnes mendengarkan obrolan mereka sembari terkekeh. Ternyata persepsi yang muncul dari otaknya mengenai anak geng motor tak semuanya benar. Nyatanya STONE sangat jauh berbeda dengan tingkah geng motor di luar sana. Sepertinya STONE lebih ke persahabatan yang kebetulan anggotanya suka dengan kegiatan motor saja. “Heh, ngapain lo diem aja? Lagi mata-matain kita, ya?” Landra yang tanpa sengaja melihat Agnes melamun segera menegur. Menurut Landra, tingkah Agnes sangat mencurigakan untuk dijadikan sebagai anggota. “Landra, gak boleh gitu,” tegur Jesslyn tak suka. Omongan kekasihnya ini bisa menimbulkan sakit hati untuk orang lain. Landra mencebikkan bibirnya. “Dia tuh mencurigakan banget sayang. Lihat deh, disaat yang lain ngobrol dia diem doang.” Kenand yang mendengarkan alasan tak masuk akal sahabatnya itu langsung terbahak. Tentu saja gelak tawanya membuat mereka semua ikut tertawa. Agaknya para anggota STONE sepemikiran dengan Kenand. “Bos, gak masuk akal banget, sumpah. Si cupu diem karena dia gak ada bahan omongan. Kalau emang lo pengen dia bersuara, ajak aja ngobrol,” saran Kenand. “Ogah!” Landra menukas. “Buang-buang waktu aja ngomong sama si cupu. Mending gue ngomong sama Jesslyn, iya gak sayang?” Jesslyn tersenyum melihat tingkah Landra yang terkadang begitu manja dengannya. Setelah ini Jesslyn pasti akan berusaha lebih keras memperbaiki diri supaya Zeline tidak selalu menilai dirinya negatif. “Lo masih haus, Nes? Biar gue pesenin lagi,” tawar Grace ketika melihat minum di gelas panjang milik Agnes sudah tidak berisi. “Gak usah Grace, aku takut ke kamar mandi terus kalau kebanyakan minum,” tolak Agnes. Grace yang mendapat penolakan seperti itu hanya bisa mengangguk saja, yang penting dia sudah menawarkan. Brak! Mereka semua yang berada di ruang VIP terlonjak kaget ketika mendengar pintu yang didobrak secara paksa. Sedangkan pelaku pendobrakan hanya menyengir di ambang pintu. “Rusak pintunya, Bang ...” geram Riel kala tangan kanannya itu senyam-senyum tak berdosa. “Si Leo tuh, dorong-dorong gue,” adu Afandy. Kenand yang mengetahui jika ada Leo di luar segera beranjak. Dia perlu membahas sesuatu yang penting bersama tangan kanannya tersebut. “Bang,” panggil Kenand. Leo mengangkat sebelah alisnya menunggu Kenand melanjutkan ucapannya. “Gue perlu ngomong sama lo, ayo di luar,” ajak Kenand. Sekarang Kenand dan Leo sudah melangkah keluar karena suasana di sekitar mereka terlalu berisik untuk dipakai mengobrol. Leo paham jika Kenand ingin membahas sebuah strategi mengenai penyergapan terhadap Aeros, tertuduh utama mengenai pengeroyokan Celine waktu itu. “Jadi, apa yang mau lo rencanakan saat ini?” tanya Leo setelah keduanya memasuki mobil. Kenand mengambil tab dari dalam tas kemudian menunjukkannya kepada Leo. “Gue pakai strategi ini Bang, menurut lo gimana?” Leo membaca susunan penyergapan itu dengan sesekali mengerutkan keningnya. Dia perlu memahami alur sebelum mengatakan ‘setuju’ kepada Kenand. Tugasnya sebagai tangan kanan tak hanya mengawal, tetapi juga memegang kendali atas Kenand. Tok! Tok! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN