Kori berlarian memasuki rumah Kara. Dia merasa merasa lega saat menemukan si bos ada di ruang kerjanya tengah memeriksa dokumen seperti biasa. Anjing kecil itu sudah ketakutan saat tak menemukan Kara di tempat dia meninggalkan bosnya itu.
“Bos, kau kembali!” Syukurlah Kara bisa kembali sendiri. Entah bagaimana caranya Kori tak akan bertanya. Soalnya tampang Kara terlihat kesal, mungkin karena harus melarikan diri saat dia sendiri yang memulai penyerangan.
“Jangan teriak-teriak,” kata Kara.
Kori berhenti teriak. Dia jalan pelan-pelan ke dekat Kara, duduk di hadapan si bos sambil bertopang dagu. Tampang dingin Kara memang selalu enak dilihat. Bulu matanya yang panjang, hidung mancung dan bibir seksi merahnya merekah.
“Kau cantik sekali Bos. Pernah ada yang bilang begitu? Hehe.” Kori bertanya karena iseng.
Sebenarnya sudah tahu kalau mustahil ada yang berani memanggil bosnya begitu. Alasannya karena image Kara di mata orang-orang sudah begitu kental dengan kata kuat dan kejam.
Krak!
Bolpoin Kara patah menjadi dua. Pujian cantik itu mengingatkannya pada perkataan Theo. Hanya laki-laki itu yang begitu lancang berani menyebutnya demikian.
“Jadi ada? Orang itu ... Theo?”
Kara melotot karena tebakan Kori tepat. Kemudian dia pura-pura kembali sibuk mengerjakan dokumen di depan matanya. Bukannya Kara tak percaya pada Kori, dia hanya merasa canggung membicarakan perihal seperti ini.
“Kau sungguh-sungguh mencintainya, Bos?” Kori tanya lagi, dia selalu begitu berani mempertanyakan apa yang bahkan tidak berani Laine tanyakan pada Kara.
“Ini bukan hal bagus Bos, kendalikan perasaanmu.”
Kara terdiam sebentar. Kalau bisa dia malah ingin menghapus perasaannya hingga tak bersisa. Masalahnya dia tak bisa. Apa yang Kara rasakan pada Theo tidak bisa dia jelaskan dengan logika. Itu adalah cinta pada pandangan pertama. Seakan mereka memang ditakdirkan untuk saling memiliki.
“Aku ingin, tapi sulit.”
“Tak ada yang sulit, kau hanya perlu menguatkan tekatmu. Ingatlah, itu yang selalu Bos katakan padaku.”
Perkataan Kori membuat Kara kembali mengingat pertemuan mereka empat tahun yang lalu. Kara memungut Kori di Sektor Tiga, saat laki-laki itu masih seorang remaja lemah yang hanya bisa menangisi takdirnya terlahir sebagai Omega. Dia mengalami begitu banyak pengalaman buruk tanpa ada seorang pun yang menolongnya.
Kara yang pertama mengulurkan tangan pada Kori. Dia yang membuat pemuda polos itu menyadari kalau menjadi kuat adalah pilihan. Tidak ada hubungannya apakah orang itu terlahir sebagai Alpha atau Omega. Bahkan ketika masa heat yang menyakitkan itu datang, Kara menunjukkan pada Kori cara untuk mengubah kelemahannya menjadi sebuah senjata.
Sejak itulah Kori mulai mengikuti Kara dengan setia. Dia berlatih dengan keras untuk menjadi kuat agar layak berdiri di sisi Kara. Kara menyadari perjuangan dan usaha Kori, maka dari itu dia tidak ingin kehilangan sosoknya yang selama ini dikagumi oleh Kori.
“Kalau begitu apa yang harus kulakukan dengan ini?” Kara menunduk, menyingkirkan rambutnya agar Kori bisa melihat bekas gigitan Theo.
Kara memutuskan untuk terbuka pada Kori. Dia ingin pemuda itu memberikan jawaban yang tak bisa dia temukan sendiri. Ingin Kori menyadarkannya dengan paksa. Dengan begitu ... beban pikirannya tidak akan terasa terlalu berat.
Kori ingin sekali mengumpat. Si bos biasanya sulit sekali didekati, tapi sekali hatinya berhasil dicuri malah jadi gampangan. Mau simpan di mana mukanya kalau sampai orang-orang melihat tanda itu?
“Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Aku benar-benar tak habis pikir dengan isi pikiranmu, Bos.” Bekas gigitan Theo terlihat jelas saling bertimpa. Satunya sudah pudar dan satunya masih sangat baru. Tak ada yang bisa menjelaskannya, selain fakta kalau si bos telah membiarkan Theo mencumbuinya sampai dua kali.
“Aku juga tak tahu. Feromonnya membuatku hampir gila.”
“Kenapa?” Biasanya Kara tahan sekali. Bahkan saat menghadapi feromon Omega yang sedang heat saja masih bisa. Kenapa malah lepas kontrol karena feromon seorang Alpha?
“Mana aku tahu!” Kalau Kara tahu, dia tak akan sampai begini frustrasinya.
“Bos yakin bukan Omega?” Kori mulai lancang tanya sesuatu yang tabu. Habis dia heran. Kok si bos bisa kebal feromon Omega dan malah kepicut feromon Alpha.
“Aku sedang bertanya serius denganmu, Koriii ....” Kara sampai geram. Lagi serius-seriusnya Kori malah bercanda, mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas. Hanya karena badanya ramping mirip Omega, bukan berarti Kara Omega.
“Hehehe ... habis feromon Bos wangi sekali kayak bau bunga.”
“Bicara apa mulut ini.” Tak tahan lagi dengan candaan Kori, Kara mencengkeram rahangnya. Ditekan-tekan sampai mulut Kori monyong tak jelas.
“Sudahlah, aku tak mau membahasnya denganmu lagi. Sana pergi ke Sektor Tiga, periksa dan laporkan kondisi Rolf padaku!” Habis itu Kara memberi Kori pekerjaan. Cari alasan untuk mengakhiri sesi curhat yang tidak mendapatkan titik terang.
“Lagi? Ayolah Bos, aku tak suka main-main ke sana. Bau serigala itu nggak enak.”
“Kalau bukan kau siapa lagi! Anjing-anjing itu sensitif sekali dengan bau kucing!”
“Bos selalu begitu. Anjing dan serigala beda tahu.”
Biarpun menggerutu, Kori tetap pergi. Nasib jadi satu-satunya anjing dalam pasukan Kara. Habis penghuni Sektor Empat rata-rata berasal dari ras kucing, burung dan beruang. Khusus pasukan utama Kara semuanya kucing, habis si bos sulit dekat dengan ras lain.
“Oh ya, Bos. Soal tanda mating itu ... kau bisa mating ulang dengan seorang Omega. Maka tanda dari Theo bisa segera hilang. Ikatan Alpha dan Omega lebih kuat daripada ikatan sesama Alpha.” Pas sudah mau keluar, Kori baru ingat untuk kasih tahu Kara ada solusi untuk memutuskan ikatan dengan Theo yang masih rapuh.
Kara mendengarkannya dengan serius. Tampang Laine muncul dalam benaknya. Cewek itu sudah jadi pacarnya bertahun-tahun, tapi mereka memang belum mating. Karena Kara sama sekali tak pernah terpikir untuk memiliki seorang pasangan resmi.
Kali ini Kara mempertimbangkan dengan serius. Kalau memang terpaksa harus menyingkirkan bekas gigitan Theo ... maka pilihan terbaik adalah Laine. Omega satu itu kualitas bibitnya bagus. Seekor kucing persia berbulu putih dengan sifat yang begitu patuh.
“Kara, makanan sudah siap. Kau mau makan di meja makan atau kubawakan kemari?” Pas sekali, Laine datang padanya. Seakan takdir menyuruhnya segera memilih.
“Di meja makan saja, kau temani aku.” Kara segera menghampiri Laine. Dia pikir lebih cepat dilakukan lebih baik. Meskipun dalam hatinya ada rasa ragu yang mengganjal. Sebuah harapan kecil yang masih mendambakan Theo.
Karena mereka jarang makan bersama, Laine merasa tak nyaman. Dia lebih suka diabaikan Kara daripada disuruh menemani kekasihnya makan bersama. “Ada apa? Tumben sekali kamu mau makan denganku.” Biasanya mereka duduk bersama kalau Kara menginginkan sesuatunya darinya. Jadi secara alami Laine merasa gelisah dan curiga pada kebaikan Kara.
“Kau mau kutemani menghadiri sebuah acara?” Karena Kara diam. Laine kembali bertanya.
Kara berhenti makan. Ini saat yang tepat. Dia hanya perlu bilang ‘ayo mating’ dengan nada perintah seperti biasanya. Laine tak akan menolaknya. Perempuan itu tak punya kehidupan lain selain berpusat pada dirinya.
Namun, mulut Kara keluh. Dia tak mau. Karena sekali dia menuliskan ulang ikatan takdirnya, maka apa yang mengikat dirinya dengan Theo akan terputus. Kara bilangnya mau menghapus semua tentang Theo, tapi nyatanya dialah yang paling tidak rela melepaskan.
“Kara? Kau mendengarkan?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang ingin makan denganmu.”
Akhirnya Kara memutuskan untuk menunda. Dia melarikan diri dari solusi yang sudah ada di depan mata. Bicara memang mudah, melakukan yang sulit. Sebesar itulah cinta Kara pada Theo.
“Pembohong,” ucap Laine dengan suara pelan.
Lebih dari siapa pun, dia mengenal Kara. Mustahil pacar berhati dingin itu ingin makan bersama dengannya. Melihat wajahnya saja tidak, tapi berbicara sok manis.
“Kau bilang apa?” Kara sebenarnya dengar apa kata Laine, dia sengaja mempertanyakannya untuk menilai apakah Laine masih patuh padanya atau mulai memberontak.
Orang bilang Omega yang sudah memasuki usia dewasa dan belum mendapatkan pasangan akan menjadi sensitif. Berhubung Laine adalah miliknya, cewek itu tak bisa mencari pasangan lain. Dan dalam pikiran Laine, Kara tidak akan pernah menjadi pasangannya. Jadi Kara tak akan heran jika Laine mulai merasa tertekan dan telah mencapai batas kesabaran mematuhi keegoisannya.
“Tidak apa-apa.” Laine melemparkan kembali perkataan Kara. Nada bicaranya selalu kurang bersemangat, tak menunjukkan minat pada Kara.
Kara menghela napas. Hidup bersama seseorang memang sulit, terutama seorang wanita yang memiliki keinginan kuat untuk hidup bebas. Mungkin lebih baik Kara melepaskannya saja, membiarkan Laine mencari pasangan.
Akan tetapi, perkataan Kori membuatnya tak rela. Dia harus menjaga Laine di sisinya sebagai jaminan. Kalau nanti tiba-tiba saja dia berubah pikiran dan membutuhkan seorang Omega untuk memutus ikatan terkutuk antara dirinya dan Theo ... maka Omega itu sudah tersedia di dekatnya.