“Dia tokoh utama pria, yang ... biasa saja.”
***
Aku tidak tahu berapa lama telah tertidur. Saat terbangun, yang pertama terlihat adalah wajah Naya yang menahan tawa. Aku mengucek mata dan menarik earphone dari telinga, lalu segera menegakkan badan.
"Cuci muka, lalu lari keliling lapangan tiga kali!"
Aku langsung memutar pandangan ke sumber suara lantang barusan. Berdiri di depan sana, si guru botak yang tak kutahu namanya. Aku bangkit, dengan santai melepas hoodie, lalu memerhatikan siswa di sekelilingku, yang ternyata sedang menahan tawa. Good job. Hari pertama sekolah sudah jadi pelawak.
Aku berjalan santai melewati siswa-siswi yang didominasi perempuan. Terlihatlah sosok 'si Dia' yang duduk di paling depan kelas, tepat di dekat meja guru. Lelaki ini masih seperti biasa, berlagak sok cool sambil bertopang dagu dengan tangan kirinya. Begitu mata kami bertemu, dia melambaikan tangan kanan, lalu tersenyum dengan sudut bibir kanan sedikit naik. Dia pasti menertawakanku. Awas saja dia. Akan kupecahkan nanti kacamatanya itu.
"Cepat keluar!" teriak guru Botak lagi.
Aku mengusap d**a, menormalkan detak jantung akibat suara yang memekakan telinga. Masih sambil mengucek mata, aku keluar kelas. Hampir saja menabrak seorang lelaki yang berlawanan jalan denganku. Lelaki yang hampir menabrakku terkikik. Apa dia melihatku menguap barusan?
Saat balik badan, aku hanya melihat punggung lelaki yang kini memasuki kelas X IPA 2.
Sebelum lari untuk menjalankan hukuman, aku ke kantin terlebih dahulu, dan masuk ke kamar mandi. Toiletnya ada dalam area kantin. Setelah itu, aku mulai mengelilingi halaman sekolah, sambil mengamati setiap kelas.
Yang bersisian dengan kelas X adalah XI. Terdapat 10 kelas dengan jumlah jurusan yang sama. Yang berseberangan jauh di sana adalah kelas XII. Juga dengan jumlah kelas yang sama. Jika setiap ruangan panjangnya 8 meter, maka luas sekolah ini kurang lebih 104 x 104 meter. Aku harus mengelilinginya sebanyak tiga kali. Bisa bayangkan betapa kejamnya guru botak tadi, kan?
***
Aku hanya menyelesaikan satu putaran hukuman lari keliling lapangan karena tidak sanggup melakukannya lagi. Langsung ke kantin di ujung kelas XI bahasa 1 sekaligus ujung kelas XII IPS 3, kupesan segelas minuman dingin.
"Es teh manis satu ya, Buk," ujarku, dengan napas terengah-engah.
Kuperhatikan sekeliling kantin yang memang tidak ada pengunjung karena masih proses pembelajaran. Kantin ini cukup luas, belakang kantin adalah area sawah. Aku tebak, banyak siswa yang akan makan di bawah gubuk-gubuk kecil pinggiran sawah saat jam istirahat, dan tidak sedikit pula yang pastinya memanfaatkan lokasi berbatasan dengan sawah ini untuk cabut dari sekolah.
Selesai mengamati, aku kembali menatap ibu kantin yang menyiapkan pesananku.
"Hai? Apa kabar?" Seorang lelaki berperawakan dewasa, dengan seragam putih-abu langsung duduk bertopang dagu di hadapanku, tersenyum dengan manisnya. “Kamu ternyata sekolah di sini, ya? Aku mencarimu selama ini.”
Wajah lelaki ini cukup tampan, alisnya melengkung indah, rambutnya pangkas rapi setengkuk dengan sedikit poni ala-ala orang Korea. Kulitnya kuning langsat, lengannya yang tidak tertutupi lengan seragam itu terlihat kuat meski tidak seperti otot para binaragawan atau atlet angkat besi. Yang paling kusuka darinya adalah netra gelap itu, yang jika dipandangi lama-lama akan menyesatkan orang. Aku memiliki jenis netra yang sama dengannya, dan Naya pernah mengatakan hal serupa terkait netraku yang menyesatkannya.
Aku mengabaikan orang ini setelah melihatnya sekilas, lebih sudi melihat ibu kantin yang membawa pesananku. Segera kutenggak habis minuman walau sebagian tumpah ke seragam.
"Haus banget, ya? Kok bisa dihukum lari?"
Mengabaikannta, aku justru bertanya kepada ibu kantin, "Berapa, Buk?"
"Biar aku aja yang bayar," kata orang aneh ini, yang malah sudah berdiri di sebelahku sambil mengeluarkan dompet.
Aku mengedikkan bahu, pergi dari hadapannya. Kalau dia mau bayarin malah bagus. Lumayan, hemat uang jajan. Sering-sering aja begini.
"Ohoo... Sombong banget, sih." Dia menarik tanganku, mencengkeram kuat, lalu menyudutkanku ke tembok kantin. Huft... Drama banget.
Aku menatapnya malas. Melirik sekilas pada name tag di saku atas seragamnya; Raindra Wahyu.
“Aku Rain,” kata dia, “jangan bilang, kamu lupa sama aku?”
Kemudian terdengar bel tanda istirahat berbunyi.
Rain menghela napas. “Lain kali kita akan bicara lagi. Kasih aku alamatmu.”
Aku tidak mengenal orang aneh ini, jadi kenapa aku harus memberikan alamatku kepadanya?
Rain tiba-tiba saja tertawa kecil, lalu menepuk pucuk kepalaku. “Kamu masih seimut dulu. Baiklah, kalau kamu nggak mau ngasih tahu. Nanti aku cari tahu sendiri. Sampai jumpa, my star,” bisiknya, lalu berlari kecil ke arah yang berlawanan denganku.
Kuharap tidak bertemu dengannya lagi. Aku tidak suka yang agresif, aneh dan sok dekat begitu.
***
"Kamu kenapa nggak mau diajak kenalan?" tanya Naya di tengah keasikannya mengunyah bakso.
Aku mengabaikannya, melanjutkan menyantap batagor.
Kantin di samping kelas kami ini cukup luas, hingga bisa menampung semua warga sekolah. Yah, walau ada yang harus duduk berdesakan, dan beberapa hanya mengambil pesanan, lalu memilih makan di kelas atau area taman.
"Pantes aja kamu masih jomblo sampai sekarang. Kamu terlalu cuek sih," ujarnya lagi. “Ah, wajar, wajar, kamu, kan Capricorn. Menurut ramalannya, Capricorn adalah zodiak paling cuek di antara zodiak lain.”
Lihat siapa yang bicara jomblo. Apa Naya lupa, ya, kalau dia sendiri masih jomblo? Pakai bawa-bawa zodiak segala, lagi.
Tidak lama, si Dia datang, menepuk bahu gadis yang duduk di depanku ini. Naya terkejut, lalu pipinya sedikit merona.
Si Dia, lelaki berkacamata yang tadi kusebut dalam kelas, namanya Aditya Syahdan, protgonis pria. Wajahnya: biasa saja. Penampilannya: biasa saja. Model rambutnya yang pangkas rapi: biasa saja, semua laki-laki di Indonesia dalam usia pelajar memiliki model rambut ini. Dia tidak spesial. Kulitnya yang sewarna gandum itu lembut, seperti perempuan, tidak manly. Sikapnya: biasa saja. Gaya berpakaiannya aneh, selalu suka pakai baju longgar. Akademiknya: biasa saja, kategori rata-rata. Aku saja bingung kenapa Naya menyukai orang ini.
"Hayo, lagi ngomongin aku, ya?" tanya Adit, dia melirikku dan Naya bergantian.
"Biasa aja nepuknya. Nggak lihat aku lagi makan? Kalau aku keselek bakso, terus masuk rumah sakit, gimana? Kamu mau tanggung jawab?"
Naya menyingkirkan tangan Adit dari pundaknya. Gadis itu hendak melayangkan jitakannya yang terkenal mengerikan, tapi Adit menahan, malah membawa tangan gadis itu ke pipinya.
"Dielus gini aja dong. Masa jitak sih," ujar Adit, dengan senyum khas yang menampilkan gingsul kanannya.
Naya tertawa melihat tingkah sok manis itu, lalu menarik tangannya. Saat Adit lengah, Naya menjitak belakang kepalanya. Akhirnya gadis itu tertawa puas melihat Adit meringis. Sebentar saja, sebelum tawanya berhenti karena Adit pindah duduk ke sebelahku.
"Lihat benjolan di kepalaku, nggak? Kok bisa sih ada preman di sekolah kita?" Adit menunjukkan belakang kepalanya kepadaku, ekspresinya bersungut kesal.
Naya memutar bola matanya, kemudian melanjutkan makan bakso, sambil melirikku dan Adit bergantian.
Aku mengabaikan tatapan Naya dan rengekan Adit, karena lebih sudi menikmati batagor spesial mbak Wati. Katanya, Batagor buatan Mbak Wati tiada duanya, dan kalau seseorang sudah pernah makan sekali di sini, mereka tidak akan mau makan batagor buatan orang lain lagi. Sepertinya rumor itu benar. Batagor ini benar-benar enak.
"Kamu nggak asik, ah." Adit menyenggol pelan lenganku usai terabaikan, lalu menatap Naya. "Entar temenin aku cari kado ya?"
"Kado apaan? Siapa ultah?" tanya Naya sembari memasukkan bakso besar ke mulut, membuat kuahnya terciprat ke pipinya sendiri.
Satu hal yang selalu Naya lakukan saat nyaman, lupa menjaga image femininnya.
Aku membuang napas, hendak mengambil tisu, tapi sudah didahului oleh Adit.
Adit pindah ke sebelah Naya, lalu membantu membersihkan mulut yang belepotan kuah itu.
Naya tidak punya waktu untuk terkejut. Dia hanya pasrah ditatap intens oleh sepasang iris cokelat gelap dari balik kacamata Adit.
"Buat adik tercintaku," jawab Adit singkat.
"Makasih," ujar Naya, lalu menatapku. "Kamu harus ikut!"
Aku terkadang bingung dengan gadis satu ini. Bukankah harusnya dia menikmati masa berduaannya dengan Adit? Tapi kenapa setiap Adit mengajaknya jalan, dia harus selalu mengajakku juga? Aku, kan, jadi tidak bisa tidur siang.
Adit, sialnya, juga menimpali, “Iya, ikut aja, daripada di rumah doang, kan.”
"Aku ada kerjaan," jawabku.
Mereka tertawa dengan jawabanku.
"Pemalas kayak kamu pasti cuma tidur sepulang sekolah." Adit mulai pemanasan, tampak sangat bersemangat untuk mengejekku.
"Benar. Nggak mungkin dia punya kerjaan. Dit, kamu ingat nggak julukannya dari dulu?" Naya menepuk bahu Adit, terlihat tidak mau kalah dalam memprovokasi.
"Si kucing," serempak jawab keduanya.
Kerjasama mereka dalam upaya mengejekku itu sebenarnya masih berlanjut, tapi aku malas mendengarkan. Baiklah, benar. Aku memang pemalas.
"Aku hanya menghemat energi dari melakukan hal-hal nggak berguna," ujarku tanpa menatap mereka.
"Uwaaah... coba lihat. Itu kalimat terpanjangnya hari ini. Hahaha..." Naya tertawa terbahak-bahak, seolah ucapanku lelucon paling lucu sedunia.
Cukup. Perkenalan dua tokoh utama kita selesai. Aku bangkit, membawa mangkok yang kosong lalu memberikannya kepada ibu kantin. Tidak lupa membayar. Sempat kulirik Adit dan Naya yang masih tertawa di sana. Entah apa yang lucu.
Sebelum benar-benar pergi, aku menangkap ekspresi tersenyum Adit ketika memerhatikan Naya. Oh, ayolah, sudahi drama kalian. Semua orang juga tahu kalian saling suka. Lalu, kenapa menyeretku dalam kisah cinta kalian?
***