“Saat dua tokoh utama menyeretku ke dalam kisah mereka, peranku sebagai figuran mungkin akan naik tingkat menjadi ‘pemeran pembantu’...”
***
"...Aku les matematika...."
".... Beneran bisa...."
"... Ya kali, idungnya...."
".... Hahaha lucu...."
".... Guru tadi galak...."
".... Iya cakep anaknya...."
"... Aku tinggal di daerah...."
Itu adalah sedikit kebisingan khas pulang sekolah yang tertangkap telingaku. Beberapa siswa hilir-mudik. Aku hanya mendengar sepenggal kalimat mereka, tapi aku tahu apa yang dibicarakan. Pembahasan umum siswa di hari pertama sekolah. Guru, cowok atau cewek cakep, les, cowok atau cewek cakep, kejelekan siswa lain, tugas, cowok atau cewek cakep, kosmetik, kakak kelas, ekskul, dan cowok atau cewek cakep. Kenapa kebanyakan cewek dan cowok cakep? Karena itu perbincangan utama yang paling sering kudengar. Tadi di kelas juga, Naya bahas hal yang sama dengan beberapa anak perempuan. Sama sakali tidak penting menurutku.
Naya terlihat bosan di sebelahku. Sesekali dia melihat gerbang di belakang, lalu melirik jam tangannya.
"Ngaret deh tuh anak," keluhnya.
Seperti permintaan Adit, kami akan membantu mencari kado ulang tahun untuk adiknya. Padahal ulang tahunnya masih dua minggu lagi, tapi sibuknya sudah seperti besok saja.
Aku malas menanggapi keluhan Naya. Lebih memilih memandang langit yang didominasi warna biru putih hari ini. Setelah puas memandang pergerakan samar dari awan-awan itu, aku memandang ke sekitar lagi. Masih ada beberapa siswa yang menunggu jemputan, ada pula yang sengaja berlama-lama di depan gerbang. Mungkin sedang mencari perhatian si guru muda ganteng, yang menunggu ojek on line-nya. Sebagian lagi sedang mengantri pesanan molen.
Hidangan ringan berbahan baku pisang yang dilapisi berlembar-lembar adonan dan kemudian digoreng. Variasi dalam pengolahan pisang goreng itu selalu jadi favorit kalangan pelajar di daerah sini. Selain harganya terjangkau, si penjual yang ramah juga menjadi nilai tambah penghasilan si abang kece. Kece-mplung got, bagiku.
Naya termasuk salah satu penggila makanan yang dilansir sebagai panganan khas Bandung tersebut, terutama saat sedih. Jangan tanya berapa banyak molen yang bisa dia habiskan. Aneh, kalau kebanyakan orang akan memakan cokelat atau es krim saat sedih, tapi Naya malah mencari molen.
Adit datang tidak lama, terlihat ngos-ngosan. "Maaf aku telat," ujarnya dengan rasa bersalah.
Naya merengut dan berjalan duluan meninggalkan kami. Adit menyusul dan berjalan mundur sambil menatap Naya.
"Cieh... makin cakep deh kalau manyun gitu." Adit menyentuh bibir Naya dengan telunjuknya, saat Naya memalingkan wajah ke kiri.
Naya melotot marah kepada Adit dan mengejarnya yang telah berlari menembus kerumunan siswa.
"Adit!" teriaknya.
Naya tidak peduli terhadap siswa yang dia tabrak, malah terus berlari melewati mereka yang sebagian memaki tindakan kekanakannya. Aku terpaksa ikut berlari, karena khawatir Naya akan...
Bruk!
Benar saja. Naya terjatuh dengan posisi telungkup. Dia bangun sendiri, lalu terduduk sambil memegang lututnya yang berdarah.
Aku mulai cemas dan berlari cepat ke arahnya. Saat kerumunan siswa menghilang dari pandanganku, terlihat Adit telah jongkok di depan Naya dan berusaha mengangkatnya.
"Nggak mau. Kamu jahat. Gara-gara siapa coba aku jadi jatuh!?" Naya memukul-mukul bahu Adit, masih sambil meringis.
Naya tidak memedulikan tatapan warga sekolah yang ingin tahu, atau sekadar penasaran dengan gadis super cantik yang terjatuh. Dia bahkan tidak peduli kalau beberapa telah mengabadikan momen jatuhnya dalam kamera ponsel.
Adit tersenyum, dia mengacak rambut hitam sebahu Naya lalu mengangkatnya ala bridal style.
Aku mendekat dan membantu membawakan tas Naya. Gadis itu lantas tersenyum ke arahku dalam posisinya yang melingkarkan tangan di leher Adit. Dia sangat cantik saat lesung kirinya timbul. Jangankan lelaki, gadis saja akan betah memandang senyumannya.
Tapi sayangnya, senyum Naya langsung berganti cemberut ketika Adit bilang, "Kamu naik berapa kilo bulan ini, Nay?"
Adalah hal tabu menanyakan berat badan kepada cewek. Adit sudah tahu itu, tapi sengaja menggoda.
Jitakan Naya yang terkenal mengerikan pun, melayang ke kepala Adit, tapi anehnya protagins pria ini malah tertawa.
Adit, orang yang disukai Naya, dan yang kuyakin juga menyukai Naya. Aku akan menjadi penghubung agar mereka bersatu. Yah, semoga saja bisa begitu.
***
Besoknya.
Kemarin kami tidak jadi mencari kado, karena insiden Naya jatuh itu, dan hari ini adalah Selasa yang menyebalkan, karena hujan sudah mengguyur Binjai sejak awal subuh. Aku benci hujan!
Naya belum mengalihkan pandangan. Masih betah menatap hujan deras dari jendela kelas, sambil melamun memandang lapangan basket. Dia bahkan meletakkan tangan di jendela, untuk mencecap dinginnya. Sesekali menarik anak rambut yang mengenai pipi ke belakang telinga. Menurutku, itu adalah saat tercantik Naya. Menunjukkan sisi kanan wajahnya, dengan poni yang menggantung.
Aku tahu Naya suka hujan, sangat malah. Aku juga tahu dia sudah tidak tahan untuk berlari keluar dan menari dengan hujan, andai bisa. Pecinta hujan, penikmat fajar dan pengamat bintang. Itulah dirinya. Aku heran, mengapa bisa terjebak dengan semua hal yang kubenci itu, saat bersamanya. Bahkan aku tidak keberatan menemaninya menikmati semua kesukaannya.
"Dia kapan, sih, nembak aku?" gumam Naya dengan tatapan kosong.
Apa semua hal dalam pikirannya hanya dipenuhi oleh Adit? Tidak bisakah dia memikirkan hal lain yang lebih berguna? Masa depannya, misalnya?
Adit datang setelah Naya bertopang dagu di atas lipatan tangan. Dengan lirikan dan dagunya, pemuda ini memintaku pindah.
"Ajarin Matematika," kata Adit sambil menyodorkan buku kepada Naya.
Aku mengambil kursi di depan meja, lalu memutar menghadap mereka. Kebetulan dua orang yang duduk di sini tidak hadir hari ini, mungkin karena hujan. Begitu pun sebagian gurunya.
Beberapa siswa memanfaatkan kekosongan jam pelajaran dengan bergosip atau bermain ponsel, berselancar ke dunia maya. Walau ada beberapa pula yang membuka buku pelajaran. Adit salah satunya.
Naya menghela napas kemudian menatap Adit yang membetulkan letak kacamatanya. "Yang mana?" tanyanya dengan nada malas.
"Eksponen." Adit mulai menuliskan soal dari buku paket ke buku tulis.
Menopang dagu dengan tangan kiri, Naya bertanya, "Mananya yang nggak ngerti?"
"Yang perkalian. Aku nggak ngerti si x, x ini."
Naya menghela napas, mengambil pulpen dari tangan Adit, lalu menuliskan di buku sambil menjelaskan. "Kalau perkalian berpangkat gini, kamu tinggal tambahin aja pangkatnya. Tapi inget, variabelnya harus sama."
"Variabel itu yang mana?" Adit bertanya dengan wajah polos.
Naya fokus menatap buku, tangannya tidak lagi menopang dagu. "Pokoknya yang selalu bareng konstanta, biasanya dalam bentuk huruf. Konstanta itu angka."
“Kayak kita dong, ya, Nay? Kamu konstanta, aku variabel. Kita selalu bersama.”
Naya menyipitkan mata. “Kamu masih mau belajar eksponen atau udah mau belajar sastra?”
“Eksponen,” jawab Adit, nyaris tidak terdengar.
“Bagus, kita lanjutkan.”
Adit mengangguk, mulai mendekat untuk melihat yang Naya tulis.
"Contoh eksponen perkalian, x pangkat 2 dikali sama x pangkat 3. Maka hasilnya x pangkat 5. Kalau x pangkat 2 dikali y pangkat 3 maka selamanya akan begitu. Jangan jadi xy pangkat 5, itu salah. Udah ngerti dasarnya?" tanya Naya sambil menoleh ke kanan.
Mata Naya memelotot saat menyadari betapa dekat mukanya dengan wajah Adit. Bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan. Aku yakin pipi Naya mulai panas dan perutnya mencelos di bawah sana.
Adit berkedip dua kali sebelum mengambil alih buku dan pulpen di tangan Naya.
Adit berdeham, lalu sibuk dengan bukunya. Ada senyum samar sebelum dia bertanya, "Kalau kamu pangkat 2 dikali aku pangkat 3, bisa jadi kita pangkat 5 nggak?"
"Nggak bisa dong, kan variabelnya beda. Selamanya akan menjadi kamu pangkat dua, dan aku pangkat 3." Naya menghentikan kalimatnya dan menatap ragu Adit. Kuyakin dia menahan napas sekarang.
Adit manyun, tampaknya kode keras untuk ungkapin rasa dalam hati telah gagal total oleh keseriusan Naya dalam mengajari Eksponen. Modus Adit kali ini salah langkah. Harusnya dia diskusi dulu sama aku biar aku bisa bantuin PDKT sama Naya, kan?
Mengalihkan kesal, Adit bertanya, "Untuk yang pembagian gimana?"
"Pangkatnya dikurang," jawabku cepat. Aku mengerjap, terkejut sendiri dengan suaraku. Kenapa terdengar kesal?
***