"Apa lagi yang bisa dilakukan pujangga ini, selain merangkai sebait sajak penuh cinta agar semesta bahagia?”
─Adit─
***
Aku sedang di balkon menikmati secangkir kopi latte ketika pria paruh baya mengetuk pintu kamar. Pria ini ayah Naya, namanya Ardana Bahari, seorang CEO sebuah advertising agency. Perusahaannya tidak terlalu besar, tapi sangat terkenal di kotaku.
“Minum kopi lagi?” tanya pria itu, mengambil duduk di kursi kayu, tepat di depan kursi gantungku.
Aku diam saja, hanya menikmati latte di cangkir sembari menatap jalanan damai di perumahan.
“Kata Naya, kamu tersiram air pel.”
Aku mengangguk.
Ayah Naya meremas kedua tangannya, terlihat canggung. Dia selalu begitu setiap di depanku. Mungkin bingung cara berkomunikasi denganku yang pemalas ini.
Aku menangkap sosok Adit di balkon seberang. Dia menatapku, lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Apanya yang lucu?
“Ada krim di ujung hidungmu,” kata ayah Naya.
Aku segera menghapus krim, memelototi Adit yang sudah tertawa ngakak. Dia kemudian menyiram bunga-bunganya, lalu masuk ke kamarnya. Dia seperti banci! Menanam bunga di balkon.
“Adit anak yang baik,” komentar ayah Naya, sembari menaikkan kacamata bingkai hitam yang melorot ke hidung.
“Naya menyukainya,” ujarku.
“Kamu, tidak?”
Aku menggeleng.
“Lelaki seperti apa yang kamu suka?” Ayah Naya tampak mulai rileks, ada senyum di bibirnya. “Papa akan carikan di kantor kalau ada yang sesuai kriteriamu. Hahaha...”
“Saya bisa mencarinya sendiri, Tuan.”
Ayah Naya menghela napas setelah mendengar panggilanku terhadapnya. “Kalau butuh sesuatu, atau ada yang mengganggumu, bilang sama Papa, ya.”
Aku mengangguk.
***
Aku keluar rumah lebih dulu pagi ini, dan mendapati Adit berdiri di dekat pagar dengan setangkai mawar putih dan surat. Dia agak terkejut ketika melihatku.
“Aku nggak sengaja ambil dari pagar. Belum kubuka, kok.” Dia tersenyum kikuk, lalu menyerahkan surat dan mawar itu kepadaku.
Aku membuka surat.
Teruntuk kamu
yang selalu sembunyi
dalam cahaya
Kemarin, aku
Melihat kerlip duka
dalam matamu
Kemarin, aku
Ingin genggam tanganmu
Seperti dia
Kemarin, aku
Ingin melindungimu
dari derita
Tapi, dirimu
Mampu berdiri lagi
Setelah jatuh
Tapi, dirimu
Tidak membutuhkanku
Menghalau angin
Kutanya malam
Cara ungkapkan rasa
Bintang tersenyum
Hanya pengagum
SA
Aku agak merasa GR seolah surat ini untukku, terlebih saat bagian yang mengatakan ‘mampu berdiri lagi setelah jatuh’, tapi saat membaca ulang kalimat ‘genggam tanganmu seperti dia’, aku pun sadar diri. Kemarin Adit menggenggam tangan Naya. Pengirim surat ini mungkin berharap bisa menjadi Adit yang menggenggam tangan Naya.
“Adit? Tumben cepat?” sapa Naya yang hari ini rambutnya dikucir satu. Dia terlihat segar dan energik.
Adit nyengir bodoh. Aku tahu mau dia.
“Aku boleh lihat PR matematika, ya, Nay?” tanya Adit, mengambil alih tas Naya.
Naya mendesah lelah, dia bersedekap. “Memangnya tadi malam kamu ngapain aja?”
"Apa lagi yang bisa dilakukan pujangga ini, selain merangkai sebait sajak penuh cinta agar semesta bahagia?”
Aku yakin Naya memuat pertanyaan yang sama di benaknya dengan benakku; Adit ngomong apa, sih?
Tampak menyadari kebingungan kami, Adit yang agak merasa malu langsung menarik pergelangan Naya. “Yuk, ah, ke mobil, biar aku bisa cepat-cepat salin PR-nya di sekolah.”
“Ih, nggak tahu malu. Udah numpang mobil orang, lihat PR orang, suruh cepat-cepat lagi.” Sebelum Adit menjawab cemoohan Naya, Naya sudah lebih dulu melihatku menggenggam surat dan mawar. “Si SA?” tanyanya antusias.
Aku mengangguk, menyerahkan semuanya ke Naya.
“Surat itu buat kamu, Nay?” tanya Adit agak bingung.
Naya mengedikkan bahu, pamer. “Iya, dong. Aku, kan selalu punya banyak penggemar. Memangnya kamu, yang cupu dan selalu pakai baju longgar kayak bapak-bapak?”
Adit, anehnya, tidak membalas ucapan Naya seperti biasa. Dia malah menatapku dengan kernyitan samar di antara dua alisnya. “Aku pikir buat dia.”
Naya menatapku, lalu tertawa. “Jangan bercanda, deh, Dit. Sejak kapan ada yang berani dekat dia. Mau menyapanya aja, orang keburu takut. Hahaha...”
Adit tertawa juga, tapi aku mendengar tawanya sumbang. “Yaudah, deh.” Dia kemudian membawa tas Naya ke mobil yang sudah parkir sejak tadi, lalu duduk di samping sopir.
Naya duduk di sampingku, tepat di belakang kursi Adit. Mereka berbincang tentang perkembangan n****+ Adit yang genre romance. Cowok, kok, nulis romance! Kayak banci! Menanam bunga, nulis romance, bisa masak. Astaga, udah, deh, Dit, mending kamu jadi cewek aja. Tukeran kelamin sana sama Naya.
Ya, aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Bagaimana bisa aku mencela orang yang disukai kakakku?
***
Belum sampai di gerbang sekolah, Naya sudah menghentikan sopir.
"Stop sini aja deh, Mang. Pengen lari nih," pinta Naya kepada mang Ujang, si sopir.
Naya melirikku yang sudah terbengong, tak percaya.
Gadis ini tertawa ngakak, lalu menyentil dahiku. “Sekali-kali olahraga, biar sehat.”
Aku hanya bisa menghela napas, ikutan turun dari mobil.
Naya dan Adit sudah berlarian di depan sana. Aku jalan santai saja. Malas cepat-cepat. Oke, aku memang pemalas, ada masalah dengan itu?
Aku sesekali memerhatikan sekitar yang sepi. Masih jam tujuh, dan warga sekolah memang tidak serajin kami.
Aku sengaja memperlambat jalan, tidak berniat mendengar percakapan Adit dan Naya. Tapi baru saja aku pikir dua orang itu bisa akur dan mungkin akan ada momen romatis, eh, keduanya malah sudah saling dorong dengan siku, dan detik berikutnya kejar-kejaran di koridor.
Menghela napas adalah satu-satunya yang bisa kulakukan. Setelah ini aku harus buat rencana untuk menyatukan mereka. Mungkin saat cari kado nanti akan ada momen itu.
Setibanya di kelas, kami disambut Surya yang menghadang pintu masuk. Aku melihat Naya berkacak pinggang, mengatakan, "Minggir!" dengan teriakannya.
"Mana anak semalem?" tanya Surya.
Aku muncul dan Surya berlutut di depanku. "Aku bener-bener minta maaf."
Ada yang berbeda dari Surya. Wajahnya babak belur, ada luka di sudut bibir. Berantem?
"Nggak usah peduliin dia," ujar Naya, menarikku ke belakang punggungnya.
Surya bangkit, bersedekap menatap Naya, menunjukkan amarah yang kentara.
"Jangan harap aku izinin kamu deketin dia lagi, setelah kejadian kemaren," ujar Naya dengan tatapan tajamnya.
"Aku nggak butuh izin kamu. Kalau nggak mau terluka, sebaiknya minggir!"
Saat genting seperti ini, Adit harusnya jadi pahlawan yang belain Naya, kan? Tapi, tahu apa yang dia lakukan? Adit malah masuk ke kelas dan menyalin PR. Ya, ampun cowok ini!
"Percaya diri banget bisa ngalahin aku?” tantang Naya.
Aku sebenarnya ingin masuk ke kelas, dan tidur karena ini masih terlalu pagi. Ada sekitar setengah jam lagi sebelum bel masuk. Itu lumayan loh buat dipakai tidur, daripada mendengar obrolan tidak penting ini.
"Kamu pikir aku bakal mundur hanya karena kamu cewek?” Surya maju selangkah, membuat ujung bajunya dan baju Naya nyaris bersentuhan. “Ayo buktikan, siapa yang terbaik di sini?”
Naya melepas tanganku, lalu menarik kerah baju Surya. Aksinya sedikit tidak diduga oleh Surya, jadi Surya agak terkejut dalam beberapa detik. Anehnya, dia tidak buru-buru menepis tangan Naya dari kerahnya, malah sedikit linglung ketika berhadapan dengan netra cokelat terang Naya dalam jarak yang lebih dekat.
“Kita main di lapangan,” ujar Naya dengan gigi terkatup, tatapan tajam. Dia berbalik, helaian rambutnya sedikit menampar wajah Surya. Anehnya, Surya malah tersenyum.
Tunggu! Apa ini? Surya jatuh cinta sama Naya?
Aku melihat ke dalam kelas, mendapati Adit benar-benar tidak peduli dengan Naya. Sibuk mencatat PR Matematika. Apa cowok ini layak aku dorong untuk kakakku?
Dalam sekejap, riuh terdengar di kelas. Ada yang meneriakkan Naya dan ada pula yang bersorak untuk Surya. Dalam hitungan detik, aku sudah terseret arus penonton yang ingin menyaksikan pertarungan mereka. Beberapa siswa dari kelas sebelah mulai berisik. Aku mendengar percakapan aneh dua perempuan di sampingku.
"Si putri mau berantem lagi sama pangeran, tuh?"
"Si putri?"
"Kamu nggak tahu? Kemaren kan mereka yang jadi putri dan pangeran MOS."
Aku juga tidak tahu karena tidak ikut MOS kemaren. Kalau begitu, Naya dan Surya sudah saling kenal sebelumnya?
Lapangan basket adalah arena yang mereka pilih untuk bertarung. Aku melirik arloji. 7:15 dan guru masih belum terlihat untuk menghentikan aksi brutal murid-muridnya. Untuk ukuran sekolah favorit, guru di sini masih belum disiplin waktu, menurutku.
Naya bersiap dengan kuda-kuda dan kepalan tangannya, begitu pula Surya. Mereka saling menendang dan pukul. Aku tidak pandai menceritakan perkelahian, yah intinya mereka berantem ala taekwondo.
Sebentar. Taekwondo?
Setelah kusadari, ternyata teknik mereka mirip. Sampai aku mendengar celetukan cewek di sebelahku.
"Naya pasti kalah bentar lagi. Dia salah pilih lawan. Surya udah sampek tingkat nasional maen taekwondonya."
"Iya bener. Sok cantik sih dia, caper banget ama pangeran kita."
Sebenarnya masih banyak suara-suara ghoib lain yang masuk ke telingaku, baik dari belakang maupun samping, tapi kuabaikan saja. Aku merasa geli mendengar mereka memanggil putri dan pangeran.
Naya mulai kelelahan dan tendangan terakhirnya tidak kokoh. Dengan mudah, Surya menendang kaki kiri Naya yang langsung membuatnya terjatuh. Sebelum kepala Naya menyentuh tempatnya berpijak, Surya mencoba menangkap Naya, tapi karena badannya tidak seimbang, dia ikutan jatuh dan tangan kanannya menjadi bantalan untuk kepala Naya.
Naya memejamkan mata. Mungkin dia pikir akan merasakan sakit, tapi begitu membuka mata, dia sangat terkejut dengan dekatnya wajah mereka.
Seketika semua terasa beku. Aku merasa, Naya dan Surya menjadikan dunia milik berdua. Napas yang masih terengah, keringat yang membasahi pakaian, dan posisi mereka yang seperti tidur berhadapan itu, benar-benar sempurna andai ada tambahan salju turun. Tapi ini Indonesia, tidak ada salju, yang ada hanya beberapa daun kersen yang gugur.
Ah, sempurna. Mirip adegan dalam sebuah film romantis. Dengan dua tokoh utamanya di sana.
Lalu di mana protagonis pria kita? Sedang menyalin PR Matematika!
***