5. Insiden

1172 Kata
“Kalau sakit, bilang sakit. Kalau marah, bilang marah. Aku nggak bisa baca pikiran dan raut datarmu itu. Bagaimana aku bisa membelamu kalau aku nggak tahu apa-apa tentangmu?” ─Adit─ *** Adit langsung mendatangi meja kami, saat bel pulang bernyanyi. "Ayo, temenin aku cari kado." "Oh, masih perlu aku buat bantuin cari kado? Bukannya tadi udah jumpa cewek itu? Ajak dia aja lah." Naya sibuk merapikan buku ke tas tanpa menatap Adit. Setelah selesai, dia berjalan mendahului kami. "Aku nggak ada hubungan sama dia!" teriak Adit. Semua siswa yang masih merapikan buku, seketika menoleh. Termasuk Naya yang sudah menghentikan langkah dan membalikkan badan. Aku melirik Adit di sebelahku yang berjalan ke kursinya, melewati Naya yang wajahnya agak pucat. Mengambil tas, Adit masih mengabaikan Naya yang terbengong, tapi di ambang pintu dia berhenti, mengulurkan tangan ke arah Naya. "Nunggu apa? Nggak mau?” Naya yang bersedekap tidak bisa menahan senyum, lalu meraih tangan Adit. “Gimana kalau aku bilang nggak mau? Kamu bakal cari cewek itu buat cari kado?” “Aku beli on line aja kalau kamu nggak mau nemenin aku.” Kulihat Naya kembali tersenyum kecil lalu mereka berjalan keluar kelas, masih bergandengan tangan. Aku pun terpaksa mengikuti mereka. Tapi ketika kaki ini melangkah keluar kelas, terdengar suara.... "Eh Surya, hati-hati, kamu bisa─" Bruk Byur Dalam beberapa detik yang super cepat itu, aku belum sempat bernapas untuk mengerti situasi. Hanya mendengar suara Adit yang berteriak entah kepada siapa, lalu tubuhku telah tersiram air kotor. "Sorry. Aku nggak lihat kamu─" Aku menatap lantai tempatku terduduk, merasakan dahi sedikit sakit karena menabrak siku seseorang, lalu merasa dingin karena basah di seluruh tubuh. Mendongak, terlihat sesosok makhluk yang tadi dipanggil "Surya" oleh Adit. Sosok yang kalau dalam keadaan normal, aku akan bilang dia tampan dengan wajah simetris oval tanpa jerawat, hidung mancung, netra cokelat terang yang seperti berkilau ketika dia terbuka, tapi dengan tindakan cerobohnya barusan, dia tidak lebih dari cowok super jelek yang akan segera asuk daftar hitamku! Surya mengulurkan tangan besarnya dengan ekspresi bersalah. Poni di rambutnya sedikit berayun ketika si empunya membungkuk di depanku. Headphone di lehernya mengingatkan kepada diriku, yang lebih menikmati dunia musik daripada dunia berisik di sekitar. Dalam beberapa detik berikutnya, terdengar langkah mendekat dan... Bugh Naya menendang Surya dengan kekuatan penuh, sementara Adit mengusir warga sekolah yang telah menjadikan koridor sebagai arena tontonan gratis. "Kenapa kamu nendang aku?" tanya Surya sambil mengusap-usap kaki kanannya, lalu berkacak pinggang, menatap Naya dengan tajam. "Kamu numpahin air bekas pel ke dia. Kamu nggak punya mata atau gimana?" Adit membantu berdiri dan merapikan bajuku. Sementara di sana masih terdengar Surya dan Naya bertengkar. "Aku nggak sengaja. Mana aku tahu bakal ada yang keluar dari kelas─" "Eh gila! Ini jam pulang. Ya pasti banyak yang keluar kelas lah." Mereka masih melanjutkan adu mulutnya. Aku hanya mendengar tanpa melihat mereka. Adit melepas tas, lalu membuka jaket abu-abunya. Dia juga memintaku melepas tas, dan hoodie-ku. Aku refleks menuruti perintahnya. Adit membantu pula memakaikan jaketnya, yang sangat jelas kebesaran di tubuhku. Tatapan Adit aneh saat ini. Entah mengapa ada rasa kesal, marah, dan sesal dalam ekspresinya ketika melihatku. Apa hanya perasaanku? "Sumpah aku nggak sengaja numpahin airnya. Aku tadi lagi─" "Lagi liat hp dan nggak liat jalan, kan? Mata itu dikasih Pencipta emang buat melihat, tapi bukan melihat hp doang, dan nggak merhatiin sekitar." "Nggak usah bawak-bawak Pencipta segala, deh. Lagian kenapa kamu yang sewot? Yang kena air aja, biasa aja tuh." “Dia nggak ‘biasa aja’, dia lagi syok.” Adit menatapku intens. Dia mengeluarkan saputangan dari kantong celananya lalu me-lap wajahku yang basah dengan sangat hati-hati, seolah aku persolen yang akan retak jika dia kasar sedikit saja. Dia juga merapikan rambut pendekku, tanpa banyak kata. Sesekali aku akan merasakan tangan hangatnya yang lembut menyentuh pipiku. Sungguh, ini pertama kalinya Adit bersikap tidak menyebalkan, selama delapan tahun ini aku mengenalnya. "Ada yang luka?" tanya Adit, terlihat jelas gurat khawatir di wajahnya. Aku menggeleng, mengambil alih sapu tangan dari tangannya untuk membersihkan sendiri diriku. “Kalau sakit, bilang sakit. Kalau marah, bilang marah. Aku nggak bisa baca pikiran dan raut datarmu itu. Bagaimana aku bisa membelamu kalau aku nggak tahu apa-apa tentangmu?” Hah? Kenapa Adit jadi aneh begini? Aku tidak butuh pembelaannya. Aku mengabaikan bisikan aneh Adit barusan, lanjut membersihkan wajah. Sebelum aku membersihkan dagu, Surya menarik tanganku, membuat kami berhadapan. Aku berkedip dua kali untuk memahami situasi. "Aku anter kamu pulang, ya?” pinta Surya, rautnya sarat akan permohonan. “Aku beneran nggak sengaja─" Naya menepis tangan Surya dari pergelanganku. Dia menendang ember di dekat Surya dengan kuat ke lapangan, lalu memungut pel dekat kakinya, dan mematahkan dengan mudah, seolah itu hanya lidi. Kemudian berdiri membelakangiku, menodongkan patahan pel ke Surya. "Jangan pernah menyentuhnya dengan tangan kotormu." Naya menarikku setelah memastikan Surya tidak lagi bersuara.   ***   Dalam perjalanan pulang, Adit menumpang mobil Naya. Rumah kami berhadapan. Tidak ada percakapan di dalam mobil, hanya ada gerutuan kesal Naya yang sesekali mengutuk Surya. Adit yang duduk di sebelah sopir tertawa setiap kali mendengar Naya mengutuk. Aku tidak terlalu peduli, hanya ingin cepat pulang dan berendam air hangat. Sekitar lima belas menit berkendara, kami tiba di rumah. “Naya pulang!” teriak Naya, itu kebiasaannya. Sosok wanita cantik di usia pertengahan 30-an berlari dari dapur ke ruang tamu, terdengar, “Anak Mommy udah pulang?” Wanita ini ibu kandungku, namanya Nadya Citrawati. Sejak menikah dengan ayah Naya, dia sangat menyayangi Naya, melebihi rasa sayangnya terhadapku yang putri kandungnya sendiri. Jangan tertipu! Dia hanya akting! Baginya, uang adalah segalanya. Cinta, kasih sayang, dan anak hanya batu loncatan untuk meraih keinginannya. Aku melirik Naya yang mencium tangan wanita itu, lalu wanita itu akan membelai kepala Naya dengan penuh senyuman. Kemudian akan bertanya tentang sekolah, dan perbincangan hangat pun terjalin. Aku muak melihat akting wanita itu selama delapan tahun ini, jadi memilih langsung menuju kamar di lantai atas. Sayangnya, saat baru menapaki anak tangga pertama, wanita itu menginterupsiku. “Anak kurang ajar ini! Kapan kamu berubah? Coba tiru kakakmu yang sopan sama orangtua.” Aku lanjut melangkah. “Lihat itu adikmu yang nggak terdidik. Mommy kadang heran kenapa bisa melahirkan anak seperti itu! Darahnya pasti menurun lebih banyak dari ayahnya yang berengsek itu!” Pada tahap ini, aku berhenti melangkah, mengepalkan tangan untuk menahan emosi, lalu balik badan. Aku hanya menatap wanita itu dengan kasihan, menggeleng pelan seolah prihatin, lalu balik badan. Wanita itu mulai mengutukku lagi. Aku tahu dia paling benci diremehkan. Dengan aku yang lebih tinggi karena di anak tangga, sementara dia harus mendongak ketika melihatku, bisa bayangkan, kan, betapa kesalnya dia? Ini menyenangkan. “Mommy, adik tersiram air tadi, jadi dia buru-buru mau mandi. Jangan kesal,” kata Naya. Aku masih sempat mendengar kalimat pembelaan Naya lainnya sebelum masuk ke kamar dan menutup pintu. Pengharum ruangan aroma lavender menenangkan sarafku. Segera aku meletakkan tas ke kasur yang seprainya motif bunga lavender, lalu ke lemari untuk mengambil pakaian ganti. Tidak banyak yang bisa dilihat di kamarku. Aku tidak hobi baca seperti Adit yang di kamarnya akan ada rak buku besar dengan kumpulan n****+, dan komik. Juga tidak hobi olahraga seperti Naya, sehingga di kamarnya ada koleksi alat olahraga seperti treadmill, ketel, dumbell, tali skipping, dan matras yoga. Aku juga tidak maniak kolektor perhiasan seperti wanita itu ssampai kamarnya sudah seperti toko emas. Di kamarku hanya ada lemari, sofa, tv, kulkas mini, dan kasur. Yang paling istimewa adalah kursi gantung mirip ayunan yang ada di balkon. Balkon ini terhubung ke kamarku, merupakan tempat favorit saat menikmati angin sore.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN