Part 8

1604 Kata
    Seorang gadis remaja terlihat memasuki sebuah cafe di salah satu sudut kota Jakarta, ia mendorong pintu cafe dengan satu tangannya yang terlihat bebas, sementara tangan yang satunya memegang ponsel.     Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ia terus melangkah mencari tempat duduk yang nyaman di cafe itu, jarinya pun terlihat bergerak aktif menscroll gambar yang terpampang pada layar ponselnya.     Gadis manis itu duduk disalah satu sisi cafe menghadap ke luar yang tersekat oleh jendela kaca yang cukup besar sehingga memungkinkan bagi para pengunjung untuk tetap menikmati suasana alam luar dengan leluasa.     Sesekali sang gadis manis memerhatikan orang orang yang lalu lalang tak saling peduli dengan yang lain karena mereka terjebak dengan urusan mereka masing masing.     Si gadis pun menyeruput greenlatte di depannya, menyecap dengan lidahnya mencoba merasakan rasa minuman itu.     Sesaat ia melirik strowbery cake di depannya, mengambil sendok kecil dan mulai memakan sesuap kecil cake manis dengan rasa strowbery yang sedikit asam namun menyegarkan.     Gadis itu kembali mengecap dengan indra perasanya. Sesekali ia kembali mengalihkan pandangannya ke layar ponsel mencoba mencari video yang ia sukai, tanpa menydari ada seseorang datang mendekat ke arahnya.     "Selamat siang." Suara seorang wanita menganggu kegiatannya, si gadis pun mendongak menatap wanita paruh baya yang tengah berdiri di depannya. "Boleh saya duduk di sini," tanya wanita itu sambil tersenyum ramah.     Gadis manis itu berdiri. "Selamat siang, silahkan, Nyonya," jawabnya sambil tak lupa sedikit membungkuk tanda hormat dan mempersilahkan wanita itu duduk berhadapan dengannya.     "Maaf jika saya mengganggu," ucap wanita itu sesaat kemudian. "Kenalkan nama saya Melani Sabatini."     "Iya, Nyonya Melani. Tidak apa-apa Anda tidak mengganggu saya sama sekali," jawab gadis manis itu.     "Dan nama saya Clarissa, Anda bisa memanggil saya Clary."     "Oh ya, Clary ... nama yg indah sangat cocok untuk parasmu yang cantik," puji Melani.     Clary terlihat malu-malu mendengar pujian wanita itu. "Terima kasih. Anda juga sangat cantik, Nyonya."     Sejenak seorang pelayan datang menghantarkan pesanan wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Melani Sabatini itu.     Melani  mulai mencicipi hidangan di depannya, begitupun dengan Clary yang kembali asyik dengan kegiatannya di awal tadi. Suasana hening pun tercipta di antara mereka.     "Kau kuliah di Universitas seni, ya, Clary?" tanya Melani. Secara tidak langsung ucapan wanita itu memaksa Clary menghentikan acara makannya.     "Iya, Nyonya. Sepertinya Nyonya tertarik dengan kampus itu, ya. Nyonya terlihat beberapa kali pernah berdiri di depan kampus," jawab Clary.     Melani terenyum tipis. Sebab, bukan tertarik pada kampus itu yang membuatnya kerap klai kedapatan berdiri di situ. Namun, kehadirannya di sana adalah untuk bertemu dengan seorang pemuda yang sudah bertahun-tahun sangat ia rindukan.     "Aku ke sana bukan tertarik dengan kampus itu, tapi kau mencari seseorang."     Clary mengerutkan dahi, menatap Melani dengan seksama. Sejurus kemudian ingatannya tertuju pada Zaky.      "Sepertinya kau kenal baik dengan putraku. Bagaimana dia di kampus itu? Apa dia pria yg baik?"     "Apa ?!" Clary sedikit terkejut dengan pertanyaan Melani. Ia baru saja berpikir tentang Zaky ketika Melani bertanya demikian. "Putra anda? Siapa, Nyonya? Apakah ...?"     Mealni menganguk canggung. "Iya, seperti yang kau pikirkan, Clary. Zaky adalah putraku. Kami sudah lama sekali tidak bertemu."     "Zaky Etrama? Tapi bukankah dia dan orang tuanya ...." Clary masih merasa ragu dengan perkataan wanita di depannya. Sebab, sejauh yang ia tahu Zaky dan kedua orang tuanya terikat dengan dalam satu hubungan yang baik. Bukan seperti kata wanita paruh baya di hadapannya yang malah mengaku sudah lama tak bertemu dengan Zaky. Sejenak Clary menghentikan kegiatan minumnya, ia menatap lekat wanita paruh baya dengan parasnya yang ayu dan terlihat keibuan itu.     "Saya tahu kau mungkin tak percaya dengan apa yang saya katakan. Tapi itu bukanlah kebohongan, Clary. Saya ibu kandung Zaky. Saya sangat ingin bertemu dengannya. Tapi sebuah kesalahan di masa lalu telah membuatnya membenci saya sampai sekarang."     Tiba-tiba cairan bening mulai menumpuk di pelupuk mata Melani. Terlihat sekali wanita itu berusaha keras menahan agar bulir bening di matanya tak jatuh membasahi pipinya. Sementara Clary hanya bisa terdiam memandangnya tanpa bisa berkata apa-apa.     "Saya sangat ingin menemui Zaky, Nak Clary. Bisakah kau membantu mempertemukan kami berdua? Hanya sekali saja."     Clary menenelan salivanya mendengar permintaan wanita itu. Mengingat apa yang terjadi dua hari lalu dengan Zaky rasanya akan sulit bagi Clary untuk memenuhi permintaan wanita itu. Maka, Clary pun hanya bungkam tak bisa menjawab apa-apa.     "Ah, saya mengerti jika kau tak bisa mengabulkannya, saya tak akan memaksa." Melani terdengar pasrah dan membuat Clary sedikit iba. Ia jadi serba salah.     "Maafkan saya, Nyonya ... bukannya saya tak mau membantu, saya hanya takut Zaky ...." Clary menggantung ucapannya.     "Tidak apa-apa," jawab Melani. "Saya mengerti ... saya hanya berharap punya kesempatan untuk menjelaskan kepada Zaky kenapa saya harus meninggalkannya waktu itu."     "Maafkan saya, Nyonya ...," jawab Clary.      Dalam keragu-raguannya akhirnya ia memilih untuk tidak mengabulkan permohonan Melani. Ia takut akan ada masalah nantinya dengan Zaky jika dia terlalu ikut campur, lagi pula masih ada kecanggungan yang terjadi setelah Zaky tanpa permisi melumat bibirnya malam itu. Bahkan sampai sekarang Clary masih berusaha menghindari pria itu.     "Tidak apa, kau tak perlu meminta maaf saya mengerti," ucap Melani.     "Baiklah kalau begitu saya permisi dulu." Melani terdengar sangat kecewa. Ia masih berusaha menahan air matanya agar tak terjatuh membasahi wajahnya. Melani berharap banyak pada gadis itu, karena itulah saat tadi ia melihat Clary masuk ke dalam cafe, Melani mengikutinya dan meminta duduk dengan gadis itu agar bisa berbicara empat mata dengannya.     Clary pun berdiri sedikit membungkuk sambil meminta maaf dengan berat hati. Sesaat kemudian ia menatap sendu wanita itu, yang datang padanya dengan penuh pengharapan.     Clary benar-benar tidak tega pada wanita itu, tapi ia juga takut meminta Zaky menemuinya. Hal itu membuat Clary bingung harus bersikap bagaimana.     "Tunggu ...." Panggilan Clary menghentikan langkah Melani yang terlihat gontai. "Saya tak berjanji, Nyonya tapi saya akan mencobanya," ucap Calry pada akhirnya. Ia benar-benar tak tega memandang raut kekecewaan pada ibu itu.     Kata-kata Clary memberi sedikit pengharapan padanya. "Bolehkah saya minta nomer ponsel Anda?" tanya Clary. "Saya akan menghubungi Anda jika Zaky menyetujuinya," lanjut Clary.     "Baik, tentu saja, Clary. Ini kartu nama saya." Melani menyerahkan selembar kartu nama pada Clary. Ia sangat berharap Clary akan benatr-benar mampu meluluhkan hati Zaky dan bersedia bertemu dengannya.      "Terima kasih, Clary," ucapnya sambil memeluk gadis itu.     "I ... iya sama-sama, Nyonya," jawab Clary gugup.     Melani meninggalkan Clary dengan rasa terima kasih dan sebuah harapan baru. Senyum kelegaan terpatri di wajah cantik wanita paruh baya itu. Ia meninggalkan Clary yang kini mematung kebingungan setelah menyanggupi permintaan Melani.     "Sekarang apa yang harus aku lakukan?" batin Clary. ***     "Bagaimana? Enak?" tanya seorang pemuda kepada teman wanitanya yang duduk bersebelahan dengannya.     "Mmm ... enak. Terima kasih," jawab gadis itu.     Sesaat kemudian sang pemuda memandang lekat gadis di depannya ia mendekatkan wajahnya dan    mengulurkan jarinya mengusap lembut ujung bibir si gadis. "Ada saos di bibirmu," bisik pemuda itu.     Alhasil berhasil membuat wajah gadis itu memerah menahan malu.     "Ah ... ehh ... terima kasih, Za--Zaky," ucap sang gadis sambil tertunduk menyembunyikan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus. Pemuda itu hanya tersenyum manis melihat gadis di depannya yang tersipu karena perlakuan manisnya.     "Ekhm ... ekhm ... ada yg lagi pacaran! Ganggu tidak ya.?!"     Sebuah suara mengagetkan mereka.     "Kalian benar pacaran?" Salah satu dari mereka bertanya lagi dan tanpa diminta mereka duduk bergabung bersama sepasang sejoli tadi.     "Mmm itu ... tidak kami tak pacaran," jawab gadis itu. "Kami hanya kebetulan sedang makan bersama."     Sementara Zaky hanya diam saja, ia hanya tersenyum melihat sikap malu-malu sang gadis.     "Ah, yang benar ... Liana, kalian tampak serasi jadi kami setuju saja benar,' kan teman-teman." Kata-kata Theo langsung mendapat sambutan meriah tanda setuju dari teman Zaky yang lain. Mereka adalah Rifki, Adrian dan Samuel. Lima pria tampan yang paling famous di kampus seni itu.     "Tidak sungguh kalian salah paham." Liana mencoba menjelaskan situasinya agar tak ada yang berpikir yang macam-macam tentang mereka. Meskipun dalam hatinya Liana juga berharap agar Zaky mengakuinya sebagai pacar.     "Sudah kalian jangan menggodanya," ucap Zaky, sementara netranya tengah menangkap sesosok gadis yang tengah berjalan beberapa meter di depannya. Gadis itu melangkah santai sambil menunduk menghadap layar ponsel, sesekali ia tampak tersenyum sendiri.     "Clary!" teriak Zaky pada akhirnya. Setelah itu sontak semua orang menoleh ke arah pandangan mata Zaky.     "Hai ... di sini!" Adrian turut melambaikan tangan ke arah gadis itu dan entah kenapa Zaky tak menyukainya.     "Oh ... hai ...." Clary melambaikan tangannya, jemari tangan gadis itu bergerak cepat mematikan layar ponsel dan memasukkannya ke tas. Gadis itu pun kini mendekat ke arah Liana, Zaky dan teman-temannya.    "Kalian berkumpul di sini ... hai, Liana." Clary bersiap untuk duduk di samping Liana sebelum Zaky menarik tangannya. "Rifki, pindah dong biarkan Clary duduk di tempatmu." Zaky memberi perintah pada temannya yang membuat semua orang menatapnya sedikit bingung.     "Kok, ak ...."     "Sudah pindah saja." Samuel memotong ucapan Rifki yang hendak  protes, tak terima dengan permintaan Zaky.     Akhirnya Rifki pun mengalah dan membiarkan Clary duduk di sebelah Zaky.     "kau sudah makan?" tanya Zaky lembut pada gadis yang baru saja menjatuhkan bobotnya di atas kursi di sebelahnya.     "Sudah," jawab Clary singkat.     "Bagaimana audisimu, Liana?" tanya Clary pada sahabatnya. "Maaf aku tak bisa menemanimu ke sana."     "Iya tidak apa-apa, aku tahu kau sedang sibuk. Dan lagi semua berjalan lancar," jawab Liana. "Aku tinggal menunggu hasilnya saja."     "Aku yakin kau pasti berhasil," ucap Adrian.     "Benar kata Adrian, kau pasti berhasil. Kau gadis yang hebat, Liana." Clary pun menyambung ucapan Adrian. Namun, siapa sangka setelah itu Liana malah menjawab ucapan Clary dengan sedikit ketus.     "Tapi tetap saja tak sehebat dirimu!"      "Eh?!" Clary sedikit terkejut dengan ucapan sahabatnya, semua orang jadi memerhatikan kedua gadis itu.     Jelas sekali terlihat Liana menatap tak suka keberadaan Clary di sebelah Zaky. Sementara itu Zaky hanya diam sembari mengulas senyum puas dalam hatinya. Pria itu bahkan sengaja menyuapi Clary sosis panggang yang baru setengah dimakannya dan memaksa Clary meminum minuman dari gelas yang sama.     Clary yang awalnya menolak perlakuan Zaky, pun terpaksa menerimanya setelah Zaky terus-menerus memaksanya. Gadis itu juga merasa tak enak hati jika terus-menerus jadi perhatian semua orang akibat tindakan Zaky.     Sementara itu, Liana mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat di atas paha, hingga buku kukunya memutih. Ia sangat geram.     "Awas kau, Clary. Aku tahu kau hebat, tapi bukan berarti kau bisa tebar pesona di depan Zaky. Dasar wanita munafik," desis Liana dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN