Part 1
“Shitt ...!” Gadis itu mempercepat langkahnya menyusuri koridor kampus yang terbilang cukup panjang. Siapa suruh semalam ia begadang menonton drakor sampai end yang membuatnya kesiangan. Ia mempercepat langkah kakinya, hingga setengah berlari. Namun, rupanya usaha yang dilakukan gagal. Buktinya sekarang Mr. Peterson, mendelik tajam seakan ingin mengulitinya hidup-hidup.
“Kau terlambat lagi, Nona Clarisa Gehard.” Tak perlu dijelaskan lagi apa yang terjadi setelah itu. Suara sangar si dosen killer langsung membuat semua warga kelas menghujaninya dengan tatapan mengejek. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang mencibir. Clary pun melempar tatapan membunuh kepada mereka. Namun, hardikan Mr. Killer langsung membuatnya linglung dan garuk-garuk kepala.
“Silahkan Anda tunggu di luar. Anda dilarang mengikuti pelajaran saya.”
“Shitt! Dasar dosen killer sialan!” umpat Clary dalam hati. Gadis itu bersiap memutar badan untuk berdiri di luar sesuai perintah sang dosen, tapi suara dosen itu mencegah langkahnya. Clary pun menoleh.
“Saya belum selesai, Nona Muda. Saya minta kamu menyalin semua sejarah tentang musik dari awal kemunculannya dan perkembangannya sampai hari ini jangan kurang dari 100 lembar atau saya jamin kamu akan mengulang setahun lagi di kampus ini.”
“Iya, Pak ...,” jawab Clary. Diiringi sorak-sorai penghuni kelas. Kini Clary berdiri di luar ruangan sampai pelajaran Mr. Peterson berakhir. Rasa malu bercampur kesal mengaduk hatinya. Apalagi ketika beberapa mahasiswa yang lewat mencibir ke arahnya. Rasanya Clary jadi ingin membantai Mr. Peterson. Kalau saja itu tidak melanggar hukum mungkin ia akan melakukannya dengan senang hati.
Setelah hampir tiga jam berdiri dengan perasaan dongkol, akhirnya Mr. Peterson pun mengakhiri pelajarannya. Clary jadi sedikit heran tentang apa yang dibicarakan dosen itu. Kenapa ia begitu betah berkoar-koar padahal mahasiswa didiknya pada menguap bosan. Clary menggeleng dengan pemikirannya sendiri, sementara sang dosen pergi meninggalkannya seolah gadis itu tak pernah ada di sana.
***
“b******k!” Clary memukul meja perpustakaan kampus. Hukumannya yang tadi belum berakhir. Itulah kenapa sekarang ia ada di ruangan yang dipenuhi buku-buku tebal yang sungguh sangat membosankan untuk dilihat. Clary menoleh beberapa orang yang membenamkan dirinya di atas tumpukan buku-buku tebal itu. Matanya memicing membaca jenis-jenis buku yang dibaca pria berkacamata tebal di sebelah kanannya.
Oke, orang itu pasti dari fakultas hukum. Karena tumpukan buku di sampingnya adalah tentang hukum perdata dan pidana yang sama sekali tak ingin disentuh oleh gadis bernama Clarissa Gerhad. Meski dibayar berapa pun sungguh ia tak akan pernah membacanya. Sejenak pria itu menoleh, melempar senyum pada Clary. Namun, dengan cepat Clary berdiri menjauh dari sana. Sedikit bergidik, ia mengangkat bahu samar membayangkan jika pria culun berkacamata tebal itu mendekatinya.
Clary pun memilih berjalan di antara rak buku yang tingginya menjulang. ia menatap nanar buku-buku itu, sebelum kemudian matanya berkunang-kunang dan ia merasa mual. Sungguh berada di antara buku-buku itu bisa membuatnya gila. Bersyukurlah ia karean memiliki otak yang cukup encer sehingga ia tak perlu berkutat di sana setiap hari.
Clary menyentuh satu buku tentang musik di tahun enam puluhan ketika ia terdiam sesaat, kemudian tertawa. Matanya melihat sepasang mahasiswa yang tengah bermesraan di sudut ruangan. Pria itu memangku gadisnya sambil menciumnya intens sementara tangannya meraba paha dalam sang wanita. Untung saja wanita itu memakai celana panjang, jika tidak mungkin mereka sudah .... Ah entahlah, Clary tak mau memikirkannya lebih jauh.
“Dasar bodoh mau saja dikadalin,” ucapnya sedikit keras.
Sang pria melepas pagutannya pada wanitanya. Menurunkan sang wanita dari pangkuan kemudian menatap Clary tajam. Ada kemarahan di sudut matanya, tapi sayang Clary tak peduli. Sang wanita pun memperbaiki penampilannya yang acak-acakan dengan cepat, lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
“Awas kau!” ancam pria tadi sambil melangkah meninggalkan Clary yang acuh, gadis itu meneruskan kegiatannya mencari buku referensi dengan menahan tawa. Melirik sekilas ke arah pria blasteran itu yang sesekali masih menoleh ke arahnya melempah tatapan membunuh.
***
Brakk!
“Apa masalahmu, hah!?” Laki laki itu mendorong tubuh Clary ke tembok di belakang kampus. Rupanya ia sengaja menunggu kepulangan gadis itu. Clary diseret tanpa sepengetahuan siapa pun. Hingga di sinilah ia berada, dalam intimidasi laki-laki itu. Gadis itu meringis merasakan perih di punggungnya. Tak mau kalah, ia menatap berang pada pria di depannya.
“Memang apa salahku kenapa kau menyeretku?! Minggi kau!” Clary mendorong tubuh pemuda itu dengan sekuat tenaga. Namun, jelas semua sia-sia, tenaga mereka tak sebanding.
“b******k kau wanita jalang! Gara gara kau, aku kalah taruhan!” Pria itu melayangkan pukulannya pada Clary. Namun, dengan cepat Clary menghindarinya.
“Dengar ya, Zaky Arthan! Aku tak perduli kau menyebut jalang atau apa pun pada semua wanitamu tapi jangan pernah katakan itu di depanku.” Clary terdiam sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Oh, jadi wanita di perpus itu sasaran taruhanmu. Dan, kau kalah karena tak berhasil menggaulinya?” Gadis itu menyeringai iblis.
“Tapi sayang sekali, aku tak perduli. Kau menang atau kalah, aku tak peduli. Sekarang minggir!” Kali ini Clary berhasil mendorong tubuh Zaky dengan kasar. Pria itu memundurkan dirinya dengan wajah yang mengetat menahan kesal. Ia ingin menghajar Clary, tapi ditahannya. Ada cara lain yang lebih sadis yang ia pikirkan untuk mewujudkan balas dendamnya.
“Heh, dengar b******k! Kali ini aku membebaskanmu. Sekali lagi kau ikut campur dengan urusanku, kupastikan kau akan membayar semuanya!” teriak Zaky. Namun, gadis itu tak menggubrisnya ia berlalu begitu saja membuat Zaky benar-benar marah dan membencinya.
***
“Kenapa kau suka sekali cari masalah dengan Zaky, sih, Clary?” Liana memasukan jari ke dalam pringlesnya. Mengambil secuil camilan kentang gurih itu lalu memasukkannya ke dalam mulut.
“Siapa yang cari masalah? Aku kan nggak sengaja memergokinya. Tapi si b******k itu memang pantas mendapatkan hukuman. Biar kapok!” sungut Clary, sambil ikut mencomot camilan kentang goreng rasa barbeqiu milik sahabatnya. “Dasar kau ini memang nggak bisa dikasi tahu. Sekarang kau harus hati-hati sama dia and the genk.”
"Iya, Nona. Aku sudah tahu." Mereka pun terkekeh bersama-sama.
Liana dan Clary bertemu di kampus itu saat awal tahun penerimaan mahasiswa baru. Liana dan Clary meski berada dalam kelas yang sama, tapi saat OSPEK berlangsung mereka terbagi dalam team yang berbeda. Hingga suatu kejadian mengakrabkan mereka. Ketika itu, acara penutupan OSPEK sedang berlangsung, Clary yang merasa sedikit bosan pun memutuskan untuk sejenak jalan-jalan di lingkungan kampus. Tepat pada saat itulah ia mendengarkan suara teriakan seorang gadis dari dalam salah satu ruangan di gedung lima lantai itu.
Clary pun mengintip melalui celah kecil dan mendapati gadis itu terkapar tanpa daya dengan pakaian hampir terkoyak sempurna. Seorang pria menelanjanginya dan hendak memperkosanya. Clary bertindak cepat, berusaha menyelamatkan Liana. Kebetulan sekali ia menemukan sebuah pot bunga di atas meja di ruang sebelah, segera Clary mengambilnya dan menghantamkannya ke kepala si pelaku.
b******n itu tersungkur dengan kepala berdarah, ia mengerang menatap Clary nyalang. Sayang Clary tak melihatnya, karena ia sibuk membantu Liana, membungkus tubuh gadis itu dengan taplak meja, lalu bersama-sama meninggalkan b******n itu yang terus berteriak murka. Mereka berdua cukup merasa lega karena berhasil lolos dari sana dengan selamat.
Keesokan harinya, Clary memutuskan untuk melaporkan kejadian pelecehan itu. Pihak kampus pun melaporkannya ke pihak berwajib dan berhasil menangkap si pelaku. Setelah itu baru diketahui bahwa tak hanya Liana yang menjadi korbannya. Bahkan masih ada tiga wanita lain yang akhirnya berani melapor setelah Clary membuka kasus itu. Satu diantara mereka bahkan bunuh diri karena hamil.
Tragisnya meski sudah begitu, tetap saja tak ada yang berani membuka suara soal kasus mengerikan yang mengincar gadis-gadis muda itu. Setelah tuntutan dilayangkan, si pelaku pun dijatuhi hukuman penjara selama lima belas tahun. Sejak kejadian itulah Clary dan Liana jadi akrab, bahkan semakin akrab dari tahun ke tahun.
Mereka berdua tengah asik mengobrol tentang berbagai hal menarik mengenai gossip yang merebak akhir-akhir ini, ketika Adrian datang dan bergabung. Langsung mencomot kentang goreng tipis berbumbu barbeqiu itu ketika tangannya langsung dipukul oleh Liana.
“Pelit amat,” gerutunya.
“Biarin!” jawab Liana sambil mencibir.
“Clary, lo beneran berantem sama Zaky? Kemarin dia marah besar. Lo tau wanita itu, ‘kan?” Adrian tampak berbicara dengan menggebu-gebu menatap adik angkatnya.
“Iya,” jawab Clary malas. Sepertinya Zaky sudah menuturkan pertikaiannya pada rekan-rekan genknya. Di antara lima anggota genknya itu, Adrian adalah salah satunya. Oleh karena itulah Adrian sudah seperti informan rahasia bagi Clary.
“Ck.” Adrian mendecak sebal. “Lo tahu berapa banyak dia kehilangan gara-gara elo?” Clary dan Liana saling melempar pandangan, sebelum akhirnya menggeleng dan berkata tidak. Adrian pun menghela napas. “Sudah gue duga,” desisnya pelan. Adrian akhirnya berhasil mecomot camilan kentang itu, mengunyahnya dengan cepat sambil terkekeh melihat Liana yang melotot tajam.
“Clary, gue peringatkan mulai hari ini, lo harus hati-hati. Lo nggak tahu seberapa berbahanya Zaky. Dia … Zaky dia punya club gamer rahasia. Asal lo tahu aja jenis gamenya itu game yang nggak akan pernah lo bayangkan sebelumnya.”
“Emang gamenya seperti apa, sih? Gawat banget.” Clary terlihat acuh dan tidak begitu peduli membuat Adrian berdecak makin kesal. Tak bisa ia bayangkan jika seandainya karena kesal Zaky menyeret adik angkatnya itu kedalam game gila itu.
“Lo pernah dengar s*x game?”
“Hah?! Game apaan?!” seru Clary dan Liana hampir berbarengan.
Adrian pun menggeleng lalu membenarkan posisi duduknya. Mimiknya berubah serius, menatap Clary dan Liana bergantian. Kini Adrian bersiap menjelaskan semua dengan lebih detail, sementara Clary dan Liana mencoba menjadi pendengar yang baik.
“s*x Game itu, jenis permainan game antar pelaku s*x underground,” tutur Adrian memulai ceritanya.
“Jadi mereka nggak bermain s*x dengan sembarang wanita. Mereka menentukan target incaran, yang sekiranya cukup berkelas di mata mereka. Salah satunya adalah, Wendy. Gadis yang bersama Zaky kemarin. Wendy adalah target yang harus ditaklukkan oleh Zaky. Gue juga nggak tahu pasti kenapa bisa Zaky yang punya tugas menaklukkan Wendy, kenapa bukan yang lain? Gue juga penasaran, tapi … yah, Zaky mana mau cerita sampai sedetil itu.”
“Terus?” tanya Clary tak sabaran.
“Terus, ya, itu … lo menggagalkan usaha Zaky mendekati anak konglomerat itu. Sebenarnya kemarin adalah deadline dia harus bisa meniduri Wendy dan mengirim bukti persetubuhan mereka di jejaring sosial. Kemudian dengan itu mereka akan berimajinasi dengan liar saat menontonnya. Bahkan tak jarang aksi permerkosaan yang terjadi di masyarakat justru berasal dari para pemain game itu.”
“Hah?! Terus apa Zaky juga salah satu pelaku pemerkosaan itu?” Adrian menggeleng sebagai tanggapan.
“Zaky masih normal, masih sadar hukum. Tapi, ya, begitu. Rata-rata yang jadi mantannya adalah gadis taruhan dan ia selalu berhasil menidurinya bahkan sebelum deadline berakhir. Lo tahu sendiri wajah Zaky bak dewa Yunani, jadi tanpa diminta pun perempuan-perempuan itu akan rela mengangkang untuk Zaky.”
“b***t,” desis Liana, yang dibalas anggukan oleh Adrian.
“Dan, sialnya sekarang lo sudah membuat masalah yang sangat besar dengannya. Karena dia gagal taruhan kali ini, Zaky mengalami kekalahan yang luar biasa banyak.”
“Memangnya nilai taruhan itu berapa?”
“Motor sport Zaky melayang, juga sebesar 30% saham atas namanya di perusahaan keluarga, melayang begitu saja. Dia jatuh miskin. Nggak kebayang jika orang tuanya tahu.” Clary terdiam sesaat, memikirkan apa yang dituturkan Adrian. Ia ingin menjawab, tetapi langsung bungkam ketika Adrian kembali membuka suara.
“Lo tahu, bukan hanya kehilangan harta, kali ini Zaky juga kehilangan harga dirinya.”
“Maksud, lo?” Bukannya menjawab pertanyaan Clary, Adrian justu mengalihkan sudut pandangnya, ke arah lain. Melihat salah seorang dosen wanita yang umurnya hampir menyentuh kepala empat tengah berjalan menaiki tangga menuju lobi kampus.
“Gara-gara elo, Zaky harus rela menjadi pemuas nafsu seorang mucikari yang umurnya … ya, mungkin seumuran Bu Nara.”
“I—ibu siapa?” tanya Liana sambil memasang ekspresi terkejut luar biasa. Kemudian Adrian pun kembali menjelaskan secara detail.
“Iya, Ibu Nara, Liana. Umur wanita itu sudah hampir menyentuh kepala empat. Mungkin terobsesi pada Zaky setelah ia berhasil melihat video persetubuhan Zaky dengan wanita-wanita yang ditaklukkannya. Maka ia mengajukan syarat itu sebagai taruhan.”
“Gila,” desis Clary. “Berapa kali? Maksud gue, berapa kali dia harus tidur dengan mucikari itu.”
Adrian menggeleng. “Gue nggak tahu pasti, yang jelas Zaky bilang beberapa kali. Dan, malam nanti adalah malam pertamanya.”
Clary dan Liana pun kembali saling memandang. Ada sesuatu dari tatapan yang sama-sama tidak bisa dimengerti di antara keduanya. Liana sedikit ketakutan, tapi Clary malah terlihat biasa saja. Merasa tak ada yang perlu ia risaukan. Sejenak ia meneguk minuman orange berbotol kaca bertuliskan angka 1000 hingga tandas. Setelah itu Clary pun bangkit dari duduknya, diikuti tatapan Adrian dan Liana.
“Dah ah, balik ke kelas, yuk,” ajak Clary. Tak ada kecemasan sama sekali di wajah cantiknya.
“Clary, lo nggak khawatir? Yakin?” tanya Liana.
“Nggak, gue ‘B’ aja tuh. Yuk, ah, Liana. Ikut nggak? Kalau enggak, ya sudah gue balik sendiri.” Dengan berat hati Liana pun bangkit meninggalkan Adrian, sebenarnya sekarang ia sangat khawatir. Namun, mau bagaimana lagi, jika Clary tak peduli, maka ia pun tak bisa apa apa.
“Clary, gue Cuma mau lo hati-hati. Biar gimanapun lo adik angkat gue. Gue nggak mau lo celaka.” Clary tersenyum pada Adrian, kemudian menepuk pundak pemuda itu pelan.
“Jangan khawatir, gue bisa jaga diri.” Dua gadis itu pun berlalu pergi meninggalkan Adrian yang mematung menatap cemas pada mereka berdua.
“Lo belum tahu siapa Zaky, Clary. Gue harap, dia nggak akan ganggu lo,” gumam Adrian lirih. Pria itu menarik napas panjang, karena merasa tak berdaya.
***
Satu minggu berlalu, ternyata kecemasan Adrian tidak terbukti sama sekali. Buktinya sampai sekarang Zaky tidak pernah mencari masalah apa pun dengan Clary. Mereka kuliah seperti biasa dengan tanpa saling bertegur sapa, karena memang sejak dulu sudah sedemikian adanya.
Zaky pun tampak sudah kembali berkutat dengan wanita-wanita yang siap menyerahkan dirinya di ranjang pemuda itu. Kali ini meski Clary kesal melihatnya, tapi ia memilih tak pepduli. Semua itu bukan urusannya lagi. Apalagi mengingat nasehat Adrian, rasanya mungkin memang jauh lebih baik jika ia menghindar.
Seperti biasa, hari ini Clary dan Liana sedang bergosip di kantin kampus setelah satu mata kuliah dilewati dengan damai. Tepat pada saat itu, Zaky and the genk lewat di sebelah mereka. Clary sempat melirik pria itu, yang memasang tampang dingin. Berbeda dengan Zaky yang malah mengabaikannya, sama sekali tak melirik ke arah Clary.
“Cih,” desis Clary menyita perhatian Liana. Gadis itu ingin bertanya tetapi urung ketika ada salah satu asisten dosen datang mendekati mereka berdua. Berbincang sebentar, sang asisten mengatakan agar Clary ikut dengannya ke kantor. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Maka dengan terpaksa Clary meninggalkan sahabatnya. Liana pun menghabiskan makanannya seorang diri, sampai kemudian kepalanya mendongak ketika mendapati seseorang duduk di depannya dibatasi meja kantin.
“Boleh gabung?” Bariton pemuda itu terdengar rendah penuh aura persahabatan, ia melempar senyum termanisnya pada Liana. Bukannya menjawab, Liana malah terdiam mematung, begitu terpesona dengan wajah teramat tampan di depannya.
“Ekhm!”
Menyadari kesalahannya Liana pun tertunduk pura-pura menatap hidangannya yang hanya tinggal sepertiga. “Si—silahkan,” jawab Liana gugup. Jantung gadis itu bertalu tidak karuan. Tak pernah ia sangka aura pria itu dari jarak yang lebih dekat bisa semempesona itu. Sungguh, rasanya Liana sekarang rela menunggu giliran untuk menjadi pacar pemuda di depannya.
“Angkatan berapa?” tanya pemuda itu berbasa-basi setelah memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.
“Sepertinya setingkat di bawah Kakak.” Sang pemuda manggut-manggut kemudian menyantap makanannya kembali. Sesaat kemudian tangannya terulur.
“Zaky, nama gue Zaky. Boleh kenalan?”
“Su—sudah tahu,” jawab Liana tergagap.
“Benarkah, gue jadi ngerasa tersanjung. Kalau begitu mau berteman, mmm … Nona …?”
“Liana, nama gue Liana,” sahut gadis itu mejabat tangan Zaky yang ternyata begitu halus dan terawat. Benar-benar menunjukkan kalau pria itu adalah pria yang perlente dan perfectionis. Sejenak hening, mereka makan bersama dalam diam, hanya suar denting sendok dan hiruk-pikuk penghuni kantin yang terdengar mengudara memenuhi seisi ruangan. Zaky menyeruput teh hangat dari dalam gelasnya sebelum memulai perbincangan kembali.
“Lo, tinggal di mana? Boleh gue antar pulang, nggak?”
Liana terdiam, menahan detak jantungnya sesaat. Ternyata Zaky seramah ini, padahal dari apa yang didengarnya selama ini tentang Zaky, ia sudah menetapkan dalam pikirannya bahwa Zakry itu pria yang sangat buruk dan wajib dijauhi. Namun, ketika berhadapan langsung seperti ini, bukannya menjauhi, Liana malah berdebar dengan wajah merona merah.
Di sisi lain, Zaky terus mengawasi perubahan ekspresi Liana. Dalam hati ia tersenyum miring, merasa rencanya akan berhasil dengan mudah. Ia dengan setia menunggu jawaban apa yang akan dikatakan Liana. Gadis di depannya adalah langkah awalnya untuk memusnahkan musuh besarnya. Zaky sudah bersumpah akan menghancurkan wanita itu hingga bahkan dirinya akan memohon untuk kematiannya.
“Liana, lo keberatan, ya? Atau lo berpikir gue ini orang jahat, ya? Apa lo sudah pernah dengar gosip tentang gue?”
“Ah … eh, enggak. Gue cuma … cuma ….”
“Ya sudahlah kalau lo ragu, gue ngerti, kok. Gue juga tahu seberapa buruk nama gue di kampus ini.” Zaky menarik napas sejenak sebelum memulai ceritanya.
“Gue tahu dulu gue sangat salah, memperlakukan kaum perempuan dengan tidak adil. Bukan maksud gue sih berlaku seperti itu. Gue hanya sedang mencari wanita yang pas untuk jadi … seseorang yang bakal nemenin gue di masa depan. Tapi, ya … lo tahu sendiri, hampir semua perempuan yang ngejar-ngejar gue itu nggak punya harga diri, beda sama lo.”
Liana terdiam, hatinya membenarkan kata-kata Zaky. Jika dipikir-pikir, memang wanita-wanita yang mengejar Zaky hampir seperti w************n yang tak tahu malu. Seperti Bella misalnya, perempuan itu benar-benar seperti wanita jalang yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan Zaky.
“Gue sadar ketika sahabat lo memergoki gue saat berkencan dengan Wendy, yah, gue tau, dia pasti udah cerita sama lo, benar, ‘kan?” Liana tanpa sadar menganguk mengiyakan. Senyum Zaky makin mengembang dalam hatinya.
“Itulah kenapa sekarang gue pengen berubah, gue pengen serius. Mencari wanita yang bisa menerima keburukan dari masa lalu gue, wanita yang mampu membimbing gue untuk berubah.”
Liana makin gelisah di tempatnya, apa yang dikatakan Zaky seolah sebuah pernyataan cinta padanya. Hanya butuh beberapa patah kata lagi sebelum Zaky mengatakan kata keramat itu. Menunggu semua itu membuat Liana sesak napas. Ia tak tahu harus merespon seperti apa, sementara Zaky masih terus berbicara, Liana pun menghentikannya. Liana sudah tak tahan lagi menahan degup jantungnya yang terus bertalu.
“Emm … maaf, Kak Zaky. Sepertinya gue harus balik ke kelas, gue takut Clary nungguin.” Liana bangkit dari tempat duduknya bersiap untuk pergi dari sana ketika tangan Zaky menahannya.
“Temenin gue sebentar lagi, jika lo nggak mau gue antar pulang setidaknya temenin gue makan.”
“Ta—tapi ….”
“Tenang saja, Clary temen lo pasti belum balik ke kelas, gue lihat tadi dia pergi bareng Andre si asisten dosen. Itu pasti hal yang penting banget, jadi pasti akan memakan banyak waktu. Gue juga lagi nungguin dia buat meminta maaf atas kasus minggu lalu. Cuma gue nggak tahu caranya gimana. Lo mau ‘kan bantuin gue?”
Liana merasa iba ketika melihat wajah memelas Zaky, gadis itu pun duduk kembali. Memutuskan untuk menunggu Zaky menyelesaikan acara makannya. Mungkin, jika ia memberi kesempatan yang dia minta, maka Zaky akan benar-benar berubah menjadi orang yang lebih baik. Dan, Liana ingin mengambil peran itu. Ingin menjadi seseorang yang penting dalam hidup pria bernama Zaky Atrama.
Sunggu gadis desa itu terlalu naif, jika saja Clary saat ini ada di sana maka jebakan Zaky mungkin tak akan pernah berhasil. Liana terlalu lugu, karena itulah ia sangat mudah merasa iba pada orang lain dan kebaikannya itulah yang selalu dimanfaatkan oleh orang-orang jahat di sekitarnya. Benar kata orang, kelemahan orang baik adalah kebaikannya itu sendiri.