Farel mengirim pesan karena aku tidak mau mengangkat telepon darinya, namun, aku memilih mengabaikannya ia tidak punya hak mengatur hidupku, tujuan kami, hanya ingin Virto meninggalkanku.
Tapi ia terus menelepon.
Menghirup udara dari hidung dan melepaskan dari mulut, melakukanya tiga kali, terapi sederhana itu membuat hati yang sedang gundah-gulana ini sedikit rileks, karena tidak ingin memperkeruh keadaan, aku akhirnya mengangkat telepon dari lelaki pemarah itu.
"Kenapa lama …?" Wajah Farel mengeras, menatap tajam ke layar ponsel yang ia pegang.
"Aku di kamar mandi ," ucapku berbohong.
"Obat apa yang kamu beli?"
‘Ini orang kepo bangat sih’ ucapku dalam hati.
"Aku sudah bilang, kan obat pusing."
"Coba tunjukan padaku!"
"Aku sudah meminumnya."
"Bungkusnya …?"
"Sudah kubuang ke bawah," jawabku dengan nada malas, perhatian seperti itu membuat merasa mual.
Ia terdiam, menatap tajam kepadaku, bola mata berwarna coklat terang itu seolah-olah mengeluarkan sinar laser peringatan dari sorot matanya, dengan sebelah tangan mengusap dagu yang ditumbuhi bulu halus yang menambah kesan tegas dari Farel Taslan, lalu ia berkata;
"Kenapa kamu suka berbohong, aku sudah bilang, aku akan mengirim dokter, apa tidak bisa menunggu sebentar lagi?” suaranya pelan, tetapi tatapan matanya yang terlihat menakutkan.
"Aku minta maaf . Aku hamil, jadi aku ... minum obat itu."
"Hamil …!?"
"Iya, ini lihat." Aku terpaksa mengaku dan menunjukkan sebuah testpack ke arah layar ponsel.
" Tapi tenang…. Aku bukan perempuan alay yang akan merengek untuk meminta pertanggung jawaban darimu. Aku tidak ingin mempersulit keadaan dan tidak ingin kamu salah paham berpikir kalau aku ingin menjerat kamu dengan kehamilan sialan ini …!”
"Kamu bilang bahwa janin itu, benihku?" ia menatapku dengan tatapan tajam.
"Oh … oh, tidak, tidak … aku tidak berani mengatakan itu, karena kamu sudah sering bilang aku seorang p*****r. Pasti kamu akan bilang ….Kamu sudah tidur dengan banyak lelaki, bahkan setengah lelaki penghuni planet ini sudah kamu tidurin.
Karena itulah aku tidak ingin ada keraguan dan kesalahpahaman, makanya aku menggugurkannya,” ucapku dengan tenang.
"Bagaimana kalau aku bilang, itu anakku … karena malam itu aku lupa memakai pengaman.”
"Iya justru itu, aku tidak ingin kamu bertanggung jawab ,” ujar ku pura-pura bersikap santai, padahal jantung di dalam d**a ini serasa ingin meledak.
"Maksudnya kamu tahu, kalau itu anakku?"
"Iya, tapi aku tidak ingin kamu bertanggung jawab, kamu tidak pantas mendapatkan itu. Kamu seorang dokter hebat' bukan?" ujar ku, tetapi kali ini suaraku bergetar, dewi pertahanan ku mulai goyah.
"Apa kamu sudah meminumnya?"
"Iya sudah, jangan khawatir, aku tidak akan memintamu bertanggung jawab, pak Dokter, kita tetap pada rencana awal.”
“Diam di sana, kalau kamu sampai kabur dan melarikan diri aku akan membunuhmu.”
‘Ini orang ngancam mulu, dasar penjahat’ ucapku dalam hati.
Tidak lama kemudian, suara bel pintu berbunyi.
Ting … Tong ….!
"Ada orang menekan bel, aku matikan dulu, iya”
"Buka saja pintunya ,itu dokter yang aku pesan untuk kamu, berikan ponselnya pada dia."
Saat mengintip seorang pria berdiri di depan pintu.
Aku membuka pintu. "Nona Ririn, saya Dokter Maxel teman Farel."
"Oh silahkan Dok, kebetulan Pak Farel ingin bicara dengan Dokter.”
Lalu aku memberikan ponsel pada temannya, Farel bicara dengan Dokter Maxel, dengan bahasa yang tidak aku mengerti, mungkin bahasa Jerman, karena bahasa itu terasa asing di kuping, bukan bahasa Inggris.
Setelah bicara sekitar beberapa menit, ia memberikannya padaku.
Farel mengalihkannya ke panggilan vidio call lagi, tetapi aku memilih mematikan teleponnya, tidak perduli kalau dia marah.
'Hadeh, ada apa lagi dengan lelaki ini … apa yang dia rencanakan padaku, apa ia meminta dokter temannya menyuntik ku sampai mati karena aku hamil? kan, aku sudah bilang aku tidak ingin
ia bertanggung jawab' aku bersikap penuh kewaspadaan.
Aku mematikan ponsel, karena aku mencemaskan keselamatan nyawaku, aku berpikir, kalau ia merencanakan sesuatu dengan teman dokternya, karena saat ia menelepon
Dokter Maxel mengangguk-angguk tanda setuju, aku harus bersikap waspada.
"Berbaringlah Non," ucap dokter berwajah tampan itu dengan wajah senyum.
"Sebenarnya begini Dok, aku tidak sakit, perutku hanya melilit, boleh aku meminta obat pelancar pencernaan?"
"Tapi, tadi dokter Farel ingin aku-"
"Tidak apa-apa Dok, dia hanya takut aku kenapa-napa, berikan saja resepnya dan aku akan meminumnya nanti.”
"Baiklah, izinkan aku memberimu suntikan, karena Pak Farel yang meminta,” ujar sang dokter membuka tas miliknya.
‘Oh, suntikan … jangan-jangan, dia mau suntik mati atau dia mau suntik aku suntik rabies. Oh, ini tidak boleh terjadi’ ucapku dalam hati.
"Oh, tidak usah Dok, berikan saja obatnya nanti aku akan meminum dengan rutin, aku sangat takut dengan jarum suntik," kataku menolak.
Aku berpikir kalau ia disuruh Farel memberiku obat yang bisa membuatku mati mendadak, karena aku tahu, tidak ada manusia satupun di dunia ini yang bisa aku percaya.
'Duh, harusnya aku tidak bilang kalau aku hamil tadi, ia pasti berusaha untuk menyingkirkan ku, seperti yang di lakukan kakaknya' kataku membatin.
"Mbak Ririn saya saja mengerjakan tugas saya sebagai Dokter."
"Saya tahu Dok, tetapi yang tau tubuh saya sehat atau sakit, saya sendiri, karena saya yang merasakannya."
"Tapi dr. Farel ingin aku memeriksa Mbak Ririn, ia ingin agar aku memberimu vitamin"
"Dok, begini saja, berikan padaku semua obat yang aku mau minum dan beritahukan jadwal meminumnya aku akan melakukanya."
Dokter tampan itu terlihat menghela napas, karena sikapku yang mengotot menolak di periksa, dan menolak di beri suntikan, aku takut suntikan yang di berikan padaku suntikan yang membuatku kehilangan nyawa, aku tidak mau mati konyol di tangan lelaki dari adik ipar Mas Virto.
Jika kakaknya saja beberapa kali ingin membunuhku karena aku menjadi orang ketiga di rumah tangganya. Mungkin sang adik juga akan melakukan hal yang sama, hati manusia siapa yang tahu.
Mungkin saja Farel takut, aku akan menutut ia untuk bertanggung jawab atas janin yang aku kandung ini. Terkadang orang kaya itu menakutkan dan sering nekat. Karena hal itulah aku harus waspada.
"Terus apa yang aku katakan pada Farel, dia bilang kamu hamil dan aku di suruh memeriksa.
"
"Oh, Pak Farel salah Dok, aku hanya pusing, aku tidak bilang hamil. Begini Dok, sebenarnya …. saya mantan pasien ODGJ”
“Haaa, maksudnya pasien rumah sakit jiwa …?”
“Hmmm …,” jawabku mengangguk kecil, wajahnya langsung panik.
Karena ulahku yang menakut-nakutinya, dokter terlihat ketakutan, dengan sikap buru-buru, ia pamit pulang.
Bersambung