Setelah mengoles salep ke luka ke seluruh tubuhku yang terluka, aku mencoba merebahkan tubuh ini ke sofa, tetapi karena luka lebam di tubuhku belum kering, rasa perih sulit memejamkan mata, luka di tanganku ikut berdenyut. Tubuhku terasa seperti digebukin satu RT, luka lebam menghiasi seluruh kulit tangan menorehkan warna biru.
Aku terpaksa tidur dengan cara meletakkan kening di sandaran, saat subuh baru bisa terpejam, Virto membuat tubuh ini begitu sakit karena Farel dan Irene.
Kalau saja mereka berdua tidak menjebak ku untuk tidur dengan lelaki sombong itu, ia tidak akan semarah itu padaku.
Saat pagi telah tiba, aku terbangun, karena mencium yang sangat enak, bau bawang goreng, rasa lapar mulai terasa.
Aku melipat selimut kecil yang aku pakai lalu berjalan mengikuti bau harum.
"Selamat pagi," sapa Farel dengan ramah
'Ada apa dengan lelaki angkuh ini, kenapa dia ramah pagi ini?
"Iya, Bapak lagi masak apa?' tanyaku penasaran.
"Aku masak nasi goreng, sini serapan."
Wah lelaki berwajah angkuh itu tiba-tiba bersikap baik.
'Ada dengannya, apa yang dia inginkan sih?' saat dia menjebak ku, sulit bagiku percaya padanya.
Setelah satu bulan lebih Farel menyembunyikan ku di apartemennya, is meminta agar tidak keluar dari apartemen, semua ia yang mengurus kebutuhanku, mulai dari belanja untuk dapur, membeli pakaian dan semua perlengkapan yang aku butuhkan, ia juga membelikan sebuah ponsel baru, kini hidupku dikendalikan seorang dokter, bukan seorang polisi lagi.
"Apa ini lebih baik atau lebih buruk?Lepas dari Mas Virto lelaki yang berprofesi sebagai polisi, tetapi kini ... berakhir dengan lelaki angkuh dan sombong.”
Hadeh … nasib, nasib
*
Farel kembali ke Jerman untuk mengurus surat pindah untuk bertugas di rumah sakit cabang Jakarta, ia berjanji setelah mengurus semuanya, kami akan menikah dan aku akan bebas selamanya dari Virto, itu janjinya. Ia menjadikan aku jadi tawanan di apartemennya, bahkan menyewa seorang penjaga untuk mengawasi ku di luar apartemen.
Hari ini Farel menelepon memastikan apakah aku masih hidup atau sudah mati.
"Iya kenapa?" tanyaku dengan sikap malas.
"Lemas amat, gue mau pastiin lu masih hidup atau sudah mati?"
"Mati kalau lama di kurung di sini,” jawabku ketus.
"Sabar ini lagi banyak urusan, dengar ... aku sudah mentransfer uang ke rekening kamu seratus juta, jika kamu ingin membeli kebutuhanmu, pesan lewat online, kamu mengerti! jangan pernah sekalipun untuk
keluar dari apartemen," ucap Farel di ujung telepon saat di Jerman.
"Baiklah,” jawabku tidak bersemangat.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Ya."
"Kenapa suaramu terdengar lemas, ganti ke panggilan video call aku ingin memastikan kamu apa berada di rumah apa kabur."
Tidak ingin membantah aku menurut.
Ia meneleponku saat berpakaian seragam dokter, ia bilang itu hari terakhir ia di rumah sakit di Jerman, sebelum bertugas di Indonesia.
"Kenapa kamu masih tidur? jika di sini malam berarti di situ sudah siang' kan?" tanya Farel.
"Ya."
"Apa kamu sakit?"
"Tidak."
"Hanya lemas dan mual. Ah ... boleh aku bertanya, Pak?"
"Iya kenapa."
"Apa malam itu ... bapak memakai pengaman saat kita melakukanya?"
Ia kaget dengan pertanyaanku.
"Ja-jangan salah paham a-aku hanya bertanya, karena saat itu aku-aku lagi subur, maksudku, ah, lupakan saja," kataku tiba-tiba merasa gugup, aku tidak ingin ia berpikir yang aneh -aneh denganku.
"Apa kamu mau bilang kamu hamil?" matanya menatap dengan tatapan serius.
"Ah, tidak, tidak kok, aku hanya bertanya saja.
Lupakan saja," ucapku memaksa tubuhku untuk duduk, walau dengan wajah pucat, karena aku benar-benar mabuk.
"Apa di belakangmu salju?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Iya, coba jelaskan kondisimu, Aku ini seorang dokter."
"Coba Pak, perlihatkan salju, aku sangat penasaran," ujar ku ingin mengalihkan perhatian Farel dari pertanyaanku.
"Ini malam Ibu Ririn, salju dingin kalau aku keluar, coba jelaskan keadaanmu."
"Tapi, aku hanya ingin melihat saljunya sebentar, dari dulu aku punya mimpi suatu saat bisa berlibur di negara yang ada saljunya," ujar ku menghiraukan permintaan Farel
Ia terdiam, menatapku dengan sinis" Gue bilang ceritakan kondisi lu!!"
Aku diam, aku menyesal telah bertanya hal itu padanya, aku tidak ingin membahas hal itu dengannya.
"Ah, tidak usah, walau aku hamil, aku akan mengeluarkannya jangan khawatir, aku tidak meminta per pertanggungjawaban , jangan berpikir aku ingin menjeratmu, aku hanya bertanya saja."
"Besok aku akan pulang," ujarnya dengan cepat.
"Ah .. jangan khawatir tentang aku, selesaikan urusan kamu di sana, tapi pak, boleh tidak aku keluar sebentar untuk membeli obat pusing."
"Jangan keluar! Aku akan meminta temanku dokter untuk memeriksa kamu."
"Tapi Pak ak-"
Tut ... Tut ...!
"Dasar tidak sopan, menutup telepon saat orang masih bicara,”mulutku mendumal kesal.
Aku masuk ke kamar mandi setelah pesanan testpack yang pesan lewat online datang, saat keluar dari kamar mandi lutut ku langsung lemas, hal yang aku takutkan terjadi juga, aku hamil anak Farel, adik ipar selingkuhanku.
"Gila ... aku tidak mungkin meminta Farel bertanggung jawab, dia mungkin akan bilang kalau ini bukan anaknya, walau aku tahu kalau janin ini darinya, karena malam itu aku lagi masa subur, apa yang harus aku lakukan.”
Melihat keadaanku sekarang ini, ingin rasanya aku melompat dari apartemen dan mati, itu akan lebih baik dari pada meminta Farel bertanggung jawab.
"Hadeeeh ... hidupku memang menyebalkan."
Otakku tiba-tiba sakit memikirkan cara untuk membuangnya janin ini, sebelum menjadi masalah besar nantinya.
Aku keluar, menggunakan kaca mata hitam dan menutup kepala, keluar menuju apotik di lantai bawah, ingin membeli obat untuk aku racik mengugurkan janin yang aku kandungan, aku sudah punya banyak masalah tidak ingin menambah lagi.
Saat dalam apotik, ponsel di kantong berdering, Farel menelepon.
"Kamu mau ngapain keluar?"
"Kok kamu tahu?" tanyaku kaget mataku melirik kanan kiri berpikir ia ada di situ juga.
"Aku tanya kamu mau ngapain!?" suaranya meninggi.
"Aku hanya ingin beli obat ke apotik, aku menutup kepala kok, tidak apa-apa, tidak akan ada yang mengenal."
"Obat apa?
"Oh, itu obat sakit kepala."
"Coba fotokan dan kirim padaku."
"Ha? untuk apa?"
"Lakukan saja!"
Aku menutup teleponnya dan naik kembali ke dalam kamar, aku baru sadar, ternyata lelaki itu menyewa seseorang untuk mengawasiku.
Farel memintaku foto obat yang aku beli dan mengirim untuknya.
'Ah, untuk apa aku memfotonya, emang dia siapaku, suami tidak, kekasih juga tidak, untuk apa, kami ingin menikah hanya pura-putra' aku membatin.
Menghiraukan permintaan Farel, aku berpikir tubuhku dan kesehatanku milikku, bukan urusannya untuk apa melaporkan padanya, tubuh ini tidak ada hubungannya dengannya.
Kriiing ...!
Kriiing ...
Farel Taslan, menelepon lagi, aku tidak mengangkat.
[Angkat teleponnya kalau tidak .... Aku akan meminta orang untuk melempar mu dari apartemenku] isi pesan Farel.
Ia mengirim pesan karena aku tidak mau mengangkat telepon darinya.
"Eh, dasar lelaki pemarah, untuk apa sih? apa urusannya untuk obat yang aku minum?" kataku merasa jengkel.
Bersambung ....