HidupMerasa Dipermainkan

1064 Kata
Keesokan harinya saat malam tiba. Ting … Tong .…! Saat mengintip dari lubang kecil di daun pintu, aku ingin pingsan, ada Farel di depan pintu, membawa koper besar dua, ia terpaksa menekan bel beberapa kali, karena sejak panggilan vidio call dengannya, aku mematikan ponselku. Aku membuka pintu, ia masuk dengan wajah mengeras. "Ada apa denganmu, kenapa mematikan ponselmu?" "Aku hanya ingin istirahat," ucapku dengan jari meremas ujung pakaianku. Sejak Mas Virto berlaku kasar padaku, aku mudah takut, melihat wajah lelaki itu mengeras, aku sudah ketakutan setengah mati, aku takut ia menganiaya ku. "Sekarang katakan apa yang terjadi?" Ia menatapku dengan tatapan menyelediki, mata bermanik coklat itu menyisik dengan tatapan menajam, setajam samurai. "Tidak ada Pak, semua baik-baik saja," ucapku mengigit bibir bawah menahan rasa takut. "Kamu bilang kamu hamil?" Matanya menatap dengan tatapan serius. "Jangan khawatir, aku sudah mengurusnya, jadi tidak masalah." "Apa!? maksudnya?" "Jadi Bapak tidak perlu takut untuk bertanggung jawab, aku sudah menyingkirkannya." Wajah Farel tiba-tiba jadi lesu tidak bersemangat. "Baiklah, aku mau istirahat." Ia masuk kamar, sampai besok paginya ia tidak keluar-keluar dari kamar. 'Kenapa dia jadi lemas seperti itu? harusnya dia senang karena aku tidak meminta pertanggungjawaban darinya?’ ucapku dalam hati. Saat malam tiba, aku sengaja memasak lebih banyak dari biasanya, aku berpikir Farel akan makan malam, setelah aku selesai masak dan beres-beres, akhirnya ia keluar kandang. "Bapak mau makan malam ?" Mencoba mencairkan suasana. "Tidak" Lalu menuangkan air dalam gelas, ia duduk di depan televisi, aku duduk di sofa tidak jauh darinya. "Ada apa?" Ia bertanya, tetapi mata menatap televisi, sikap dinginnya yang ditunjukkan kali ini, membuatku merasa jengkel. Hatiku selalu bertanya, ‘Kenapa ia bersikap dingin sejak aku mengaku kalau aku mengugurkan kandunganku? Apa ia menginginkannya? Ha, itu tidak mungkin, mana mungkin lelaki kaya, tampan, seorang dokter pula, mau memilki anak dari seorang pelakor seperti aku? Tujuan dia bersamaku saat ini hanya ingin menjauhkan ku, dari rumah tangga kakak perempuannya’ ucapku dalam hati. "Kapan kita menikah, Pak? maksudku, apa kita jadi melakukan rencana yang sudah kita sepakati?" Aku memberanikan diri bertanya, memastikan, tujuanku di apartemen Farel. "Nanti kita pikirkan lagi." Ia meninggalkanku di depan televisi, lalu memasak makan malam untuknya sendiri, masakan yang aku masak tidak disentuh sama sekali. ‘Tidak apa-apa, mungkin dia merasa jijik dengan masakan ku’ aku membatin. “ Lelaki labil, apa dia berubah pikiran? Kalau dia berubah pikiran atau menyesal, harusnya ngomong saja Perguso … jangan php-in aku.” Aku bergumam pelan. 'Hadeh... aku sudah lama dikurung di sini, aku ingin bebas, aku ingin melihat dunia luar, tetapi aku berpikir, aku akan kuat dan harus tetap bersabar menahan diri, karena aku sudah melangkah sejauh ini. ** Satu minggu sudah sejak dia tiba di Jakarta, sikapnya sangat dingin, bahkan jarang di apartemen. Sering pulang pagi, tetapi dalam keadaan mabuk, jika melihatnya sedang mabuk, aku akan memilih bersembunyi di kamar, walau ia mengetuk sampai puluhan kali, aku tidak akan membuka. Aku tidak ingin mencari masalah baru dalam hidup ini. Tetapi, melihatku tidak mau mengurusnya saat ia mabuk , ia marah, lalu beberapa hari tidak pulang ke apartemen. Tetapi anehnya, ia tidak memperbolehkan ku untuk pergi. Aku merasa tidak ada kepastian, berpikir kalau ia berubah pikiran tidak mau menikah denganku. 'Baiklah, kalau ia berubah pikiran, itu artinya aku harus keluar dari apartemen ini, aku tidak berhak tinggal di sini’ berniat untuk pergi. Tetapi tiba-tiba Farel datang, ia datang mengantar belanja bulanan ke apartemen. Melihat Farel membawa belanjaan dan mencukupi kebutuhanku. Aku merasa kembali seperti wanita simpanan untuk kedua kalinya. Maka saat ia datang hari ini, aku memberanikan diri untuk bertanya lagi. "Apa Bapak berubah pikiran?" "Maksudnya?” Ia balik bertanya dengan sikap acuh, matanya menatap serius ke layar ponsel miliknya dan satu kaki di goyangkan-goyangkan pertanda tidak peduli pada orang seperti diriku. "Mak-maksudku, apa kita tidak jadi menikah? aku sudah hampir mau dua bulan di sini," ujar ku dengan suara terbata-bata, aku gugup aku selalu takut jika berhadapan dengannya. "Kenapa kamu tidak menikmatinya? harusnya kamu senang, karena aku memberimu tempat tinggal yang nyaman dan semua tersedia, bahkan aku memberimu uang, bukankah hidupmu enak di sni?” ujarnya menatapku dari bawah sampai atas, melihat tatapan intimidasi dan merendahkan darinya, lagi-lagi hati ini terasa perih. "Bukan seperti ini yang aku inginkan, Pak, aku ingin keluar." Lalu ia mengalihkan pandangan dari layar ponselnya lagi, lalu menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut lagi, membuatku semakin grogi dengan tatapan intimidasi darinya. "Kenapa? apa kamu ingin ke bar atau diskotik?” "Tidak, aku hanya ingin melihat anak-anakku, aku sudah dua bulan tidak memberi mereka kabar, boleh aku menelepon mantan suamiku?" "Kenapa kamu tidak menelepon Virto saja sekalian, katakan kamu di sini agar dia datang." "Lalu aku sampai kapan menunggu di sini, Pak?" "Biarkan aku berpikir." "Begini saja, lupakan tentang pernikahan, izinkan aku pergi dari sini, aku akan pergi jauh, tidak akan mengganggu rumah tangga kakakmu lagi, aku akan menjauh dari Jakarta.” "Siapa yang bisa menjamin?" "Aku berjanji Pak. Aku tidak akan menganggu rumah tangga kakak anda lagi, bapak boleh pegang kata-kataku,” ucapku membujuk. "Kenapa...? agar kamu bisa bebas menggoda suami kakakku lagi?" "Bapak yang berjanji untuk menikah denganku agar aku bisa lepas dari suami kakak anda , sekarang kenapa jadi berubah lagi?” "Tiba-tiba aku merasa malas menikah dengan kamu,” ujarnya dengan ketus. Mendengar itu emosiku memuncak, aku marah dan kesal padanya. "Baiklah, kalau begitu biarkan aku pergi, aku tidak akan membawa apapun, aku datang dengan tangan kosong, aku pun akan pergi dengan tangan kosong!” "Kamu akan tetap di sini …! Menjadi peliharaanku selamanya, aku akan mengurung di sini” "Apa, maksudnya …!? aku tidak mau, kamu pembohong ….!" Aku berteriak marah padanya. Melempar segala benda yang bisa aku jangkau. Lagi,lagi hidup ini di permainkan dan mendapatkan perlakuan tidak adil. Namun, tiba-tiba perutku terasa kram. "Aaah sakit" tanganku memegang perut. "Kamu tidak apa-apa … ?" Ia menatap panik, saat aku memegang bagian perutku, dengan cepat ia menggendong tubuh ini ke atas ranjang, masih dengan sikap buru-buru, ia membuka tas perlengkapan dokter miliknya. Lalu ingin memeriksaku. “Jangan sentuh aku! Menjauh lah dariku! Aaaa … sakit!” “Biar aku periksa.” Wajah Farel melembut. “Kamu b******n yang hanya ingin memanfaatkan!” Menjauh lah … ! AAA …Sakit!” Semakin aku bergerak dan berteriak, perut rasanya seperti di pelintir. “AKU SANGAT PEMBENCI MU!” Teriakku dengan gigi menggertak meluap kan segala kemarahan ku, dan tubuh meringkuk dan kedua tangan memeluk perut yang terasa amat sakit. Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN