Bagian 3

1166 Kata
Jakarta dengan segala keramaian atau bahkan keributan yang menyertainya. Tak pernah ada satu hari pun di kota ini yang tenang tanpa kasus terjadi. Setiap kasus diberitakan oleh media untuk meningkatkan ketertarikan peminat pada saluran mereka. Bahkan secara sengaja menambahkan bumbu yang berlebih hanya untuk mendorong rasa ingin tahu mereka pada berita yang disampaikan. Reygan Dirgantara Dilaporkan Hilang Saat Longsor Desa Cirata. Bagian Forensik Mengatakan Ada Beberapa Jasad yang Belum Bisa Diidentifikasi. Mungkinkah Reygan Dirgantara? Sampai saat ini, keluarga Dirgantara masih berkabung atas hilangnya orang yang sekarang paling diandalkan untuk bisnis mereka. Beberapa keluarga dan kerabat datang silih berganti untuk memberikan bantuan moral pada keluarga yang sedang berduka. Tak lupa, mereka juga menggelar pengajian dan doa bersama setiap malam untuk meminta keselamatan bagi Reygan. Media sosial, mesin pencari, hingga unggahan warga net, semuanya tak lepas dari membicarakan soal Reygan. Apa yang terjadi dengan pimpinan dari perusahaan transportasi Dirgantara Corporation tersebut? “Tuhan, kenapa ini harus terjadi pada Reygan?” Wanita itu menangis sambil duduk di bawah sofa dan memeluk bantal berwarna hijau emerald. “Yang sabar, Bu.” Wanita itu terus menangis tergugu. Beberapa orang yang sedang menemaninya hanya bisa mengusap punggung dan terus memberi kalimat penyemangat dan menenangkan. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain memasrahkan semua masalah ini pada Tuhan. Pintu ruangan itu pun terbuka, langkah kaki dari seorang pria terdengar. Semua pun merapikan posisi duduk dan menunduk begitu tahu siapa yang datang. “Kendalikan dirimu, jangan sampai sakit hanya karena memikirkan hal ini. Kita semua harus sehat untuk bisa menemukan Reygan.” Suara penuh dengan wibawa dan sangat bijaksana. Hati seorang ibu yang sedang menangis itu pun menghangat, seketika ia mencoba untuk menghentikan air mata, meski rasa sesak masih mencekal di dadanya. Setelah semuanya terlihat tenang, mereka terdiam. Tak ada satu pun yang berani mendongak, namun pria tersebut juga masih tak beranjak dari tempatnya. Kali ini seorang pria lain pun datang. Wajahnya tampan, tak kalah dari Reygan. Usianya pun tak jauh dari pria yang dikabarkan hilang tersebut. “Semua orang yang terjebak di reruntuhan tak ada yang selamat, bisa jadi Reygan juga ....” “Tutup mulutmu!” Wanita itu berteriak kepada pria muda yang baru datang tersebut. Darahnya kembali bergolak dengan wajah yang semakin memerah. “Ibu ... kau harus bisa menerima fakta,” ungkap pria tersebut dengan mata yang cukup tegas. “Dari dulu ...! Dari dulu kau memang menginginkan kematian saudaramu!” umpat Nyonya Dirgantara pada pria tersebut. “Pergi kau! Kau yang merencanakan kepergian Reygan, kan? Kau sengaja, kan?” Sang nyonya semakin mengamuk tak terkendali bahkan perlu dipegangi oleh empat orang. Sementara itu, papa dari Reygan mengangguk pada salah seorang yang merawat sang nyonya. Perawat itu langsung sigap mengambil obat penenang dan menyuntikkan pada Nyonya Dirgantara. “Reygan tak akan kembali, Pa!” “Reyhan!” bentak pria berwajah matang yang telah berada di sana terlebih dahulu. “Bicara denganku!” titahnya dengan suara dan tatapan yang tajam. “Kita harus segera mengumpulkan dewan direksi dan komite untuk menentukan langkah yang diambil perusahaan selanjutnya. Jika dibiarkan, maka harga saham kita akan anjlok.” Pria bernama Reyhan tersebut memulai pembahasannya bahkan sebelum mereka sampai di ruangan. Tuan Dirgantara menghentikan langkah dan menatap pada putra sulungnya tersebut. “Jangan pernah ucapkan hal buruk tentang Reygan di depan ibumu!” tegasnya bertindak sebagai seorang ayah. Anak yang diberi peringatan itu tak mengangguk dan tak juga menggeleng. Ia tak memberi respons apa pun untuk ucapan papanya itu. Namun yang bisa dilihat hanyalah tangannya yang terkepal dengan penuh tenaga hingga urat-urat berwarna hijau keunguan itu muncul ke permukaan. “Dia bukan ibuku, pria tua b******k!” * Sementara itu, pria tersebut tahu jika pasti banyak yang sedang mengkhawatirkan dirinya. Dia juga sadar akan banyaknya tanggung jawab yang terpaksa ia tinggalkan. Hanya saja ia tak bisa bersedih, jika emosi itu ia tunjukkan maka hal tersebut akan mempengaruhi kegiatan sosial yang sedang ia kerjakan. “Lihat! Pesawatnya terbang .... Ayo, Dani! Tangkap!” teriaknya dengan penuh keceriaan. “Yeay! Aku berhasil!” Anak kecil dengan rambut lurus yang berdiri itu bersorak girang. “Sekarang, coba Dani bidik angka 12!” Dia memberikan perintah yang membuat anak kecil bernama Dani itu sangat bersemangat untuk mencari angka 12. “Ah, pesawatnya terbang dan salah arah! Itu bukan aku yang tak tahu angka 12.” Raut wajah kecewa muncul darinya. “Ah, Dani ....” Yang lain mencoba meledek karena kawannya itu salah sasaran. Mereka pun kemudian tertawa bersama. “Kita lihat kenapa pesawatnya bisa salah sasaran, ya?” ujar satu-satunya pria dewasa yang berada di tengah mereka. “Om Dirga, kira-kira itu kenapa?” tanya anak kecil tersebut. “Pesawat kertas memang sering oleng dan tak terbang sesuai dengan keinginan kita,” jawab pria yang disebut dengan Om Dirga itu. “Apa yang membuat pesawat kertas bisa terbang dan kenapa kita tak bisa mengatur arahnya?” tanya anak yang lain. Dirga pun tersenyum sambil mengusap kepala anak tersebut. “Duduk melingkar, Om akan ceritakan sesuatu pada kalian.” Anak-anak pun dengan antusias mendengar penjelasan Dirga yang menceritakan kenapa pesawat kertas bisa terbang. Dalam hitungan hari saja, Dirga bisa membaur dengan mereka dan kini klinik Dokter Wulan itu cukup ramai karena kedatangan pasien anak-anak. “Nah, jadi begitu. Dalam pesawat kertas, tak ada yang bisa mengendalikan keseimbangan dan gravitasinya. Sehingga bergerak sesukanya tergantung dari arah angin dan gravitasi bumi yang menariknya.” Dirga mengakhiri penjelasannya. “Om, apa benar om memiliki pabrik pembuatan pesawat di kota?” tanya anak tersebut. Dirga mengusap kepalanya sambil mengangguk. “Jika akses ke kota sudah dibuka, om janji untuk membawa kalian ke pabrik pembuatan pesawat.” “Benarkah?” Dirga mengangguk dan semua anak pun bersorak. “Sudah waktunya untuk pulang karena hari sudah sore,” ucap seorang wanita berhijab yang menghampiri mereka. “Ayo pulang! Nanti ibu bapak kalian mencari.” Meski berat hati, anak-anak itu pun berdiri dari posisinya. “Baik, Bu Dokter.” Wulan tersenyum. “Anak pintar! Besok kalian bisa ke sini lagi, ya,” ucapnya sambil menyalami anak-anak satu per satu. Begitu pula dengan pria dewasa yang tadi bermain dengan mereka. “Anda mau ke mana, Pak Reygan?” Sang dokter kembali memanggil nama asli dari pria tersebut.” “Saya?” Reygan menunjuk dirinya sendiri dan ia bingung. Dirinya baru ingat jika dia akan tinggal di klinik ini nanti. “Tidak ke mana-mana,” jawab Reygan lagi sambil menggaruk kepalanya. “Anda tahu, kan? Kalau klinik mau tutup, Anda harus membersihkan dan membereskan tempat ini. Itu adalah syarat untuk Anda bisa tinggal di tempat ini. Dan ... oh iya, ada satu lagi, jangan sampai ada satu benda pun hilang, karena bila sampai itu terjadi, aku akan menuduhmu yang mencurinya!” ancam sang dokter cantik dengan wajah tersenyum namun tak terlihat ramah. Reygan menggeleng kepalanya. “Aku tak mungkin melakukan itu. Kau tak tahu kalau aku ini orang kaya! Aku, kan, sudah bilang kalau aku ini pemilik perusa ....” Wanita itu memotong ucapan Reygan dan memberikan alat pel padanya. “Berhenti membual dan kerjakan pekerjaan Anda!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN