Nasi dalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu, lalap dedaunan, singkong goreng ditambah gerusan cabai dan garam yang disebut sambal.
“Di sini hanya ada makanan seperti ini. Jadi saya harap, Anda tidak mengeluh.” Dokter Wulan telah membuka tudung saji, ia mengambil sebuah piring seng bergambar bunga-bunga dan mencuci tangannya menggunakan air kobokan.
“Nah,” ujar Wulan sambil menunjuk pada piring seng yang lain.
Reygan hanya mengamati makanan yang ada di depannya. Juga seorang gadis yang terlihat begitu lahap sampai Reygan lupa akan rasa laparnya.
“Sudah berhari-hari Anda tidak sadarkan diri, lebih baik segera isi perut Anda,” ujar dokter Wulan lagi. Wanita itu tak sungkan-sungkan menyolek beberapa lembar daun yang ia gulung pada gerusan cabai dan garam.
Sementara itu, Reygan masih setia dengan pengamatannya. Tak ada satu pun makanan selain nasi yang ia kenal.
“Kamu tidak suka?” tanya Wulan lagi.
Reygan menggeleng. Ia mengangkat dan balik piring seng tersebut dan mengisinya dengan satu centong nasi. Setelah itu, ia bingung dengan yang lainnya. “Ini ... sambal?” tanya Reygan pada Wulan.
Seumur hidup, Reygan tak pernah melihat sambal seperti itu. Hanya berisi cabai hijau yang dihaluskan bersama garam di atas cobek batu.
“Kautahu ini daun apa saja?” tanya Wulan.
Reygan menggeleng.
“Daun singkong, daun ubi jalar, daun kacang tanah dan terakhir ini ... singkong.” Wulan mengambil makanan tersebut sambil mencampurkannya bersama nasi dan sambal.
Pria itu ingin bergidik, namun tak bisa. Seumur hidup ia tak pernah memakan yang namanya sayuran berbentuk daun.
“Apa kau masih punya tenaga untuk pilih-pilih makanan?” tanya Wulan skeptis.
Reygan menggeleng dan ia terpaksa memakan nasi saja yang ada di hadapannya.
Wanita yang berprofesi sebagai dokter di pedesaan itu mengerutkan dahi, ternyata ... ada orang yang lebih baik memakan nasi saja daripada bersama sayur lalap dan sambal. Namun ia tak ambil pusing, biarkan saja sesukanya.
“Nah,” tunjuk Wulan pada garam.
“Apa tidak ada kecap?” tanya Reygan menawar. Dalam pikirannya, mungkin kecap akan sedikit memperbaiki cita rasa di lidahnya.
Wulan menggeleng. “Seandainya aku bisa membeli kecap, aku pasti juga bisa mengantarmu kembali ke kota.”
Maksud dari Wulan adalah tidak ada toko atau warung kecil yang menjual kecap saat itu. Karena semua akses untuk para pedagang tersebut sedang terblokir oleh longsoran. Mereka benar-benar terisolasi dan makan seadanya.
Seandainya ada pedagang yang berhasil mengantarkan sembako dari kota ke desa mereka untuk dijual, maka bisa dipastikan jika jalan sudah menjadi lebih baik lagi.
Pukul 12:00
“Pakai ini!” Wulan menawari sepasang bot untuk Reygan dengan cara sedikit dilempar. “Ups, maaf! Saya tidak sengaja.”
Reygan menerima sepatu bot itu.
“Sepatu itu milik bapak saya, pakai saja,” ujar Wulan pada Reygan.
“Bisakah kau tidak terlalu kasar padaku? Aku ini baru saja sadar dari koma.” Reygan memasang wajah sedih. Ia merasa jika hidupnya tak ada harapan. Entah sampai kapan tempat ini akan terus terisolasi. Sementara ia tak bisa menghubungi dunia luar. Kebiasaan di sini benar-benar memberi culture shock untuknya.
Memang ada sedikit simpati di mata gadis berhijab itu, maka dari itu ia menawarkan sepatu bot karena melihat Reygan yang kesulitan berjalan.
“Em ... jarak dari rumahku ke klinik, kan, tidak jauh. Apalagi dengan berjalan menggunakan sepatu bot akan lebih cepat. Lebih baik kita bergegas sampai ke sana,” ujar Wulan tanpa memedulikan keluhan yang baru saja Reygan sampaikan.
Jalanan yang mereka lewati bukan jalan setapak apalagi beraspal. Melainkan medan berbatu yang bercampur dengan tanah merah.
“Kalau seperti ini, apa mungkin ada kendaraan yang bisa lewat?” tanya Reygan sambil mengamati sekitarnya. Bahkan banyak ranting pohon yang patah dan harus mereka injak.
“Tidak ada. Para penduduk perlu waktu untuk membersihkan jalan karena longsoran.”
Reygan menganggukkan kepalanya. “Beruntungnya, rumah kamu tak tertimpa longsor.”
“Ya, tak ada bangunan yang roboh dalam insiden ini. Namun seluruh jalan tertutup dan kita kesulitan untuk keluar masuk dari desa.”
Tak terasa, Reygan sudah beradaptasi dengan sepatu bot yang ia kenakan. Mereka pun sampai lagi di klinik dan sudah ada beberapa orang yang menunggu.
“Mereka pasien?” tanya Reygan.
Wulan mengangguk lalu melemparkan senyum pada semua orang yang ada di sana.
“Silakan,” ujar Dokter Wulan dengan keramahannya.
Para warga pun masuk ke dalam klinik sempit itu. Sementara Reygan malah mematung di depan dan membayangkan jika ia ikut masuk berdesakkan di sana. Pria itu pun bergidik, ia melepas bot, namun memilih untuk menunggu di luar.
“Asli mana, Kang?” tanya seorang pemuda paruh baya dengan kulit sawo matang, rambut keriting dan bibir tebal.
“Saya? Dari Jakarta.” Reygan mencoba menjawab sambil tersenyum ramah.
Pria itu mengangguk. “Kenalin, saya Eko!” Dengan percaya dirinya dia mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Reygan.
“Saya ....”
“Dirga!” Wulan memotong pembicaraan mereka dengan memanggil Reygan. Namun yang membuat Reygan aneh, wanita itu tidak memanggil Reygan dengan namanya.
“Oh, jadi ini Kang Dirga namanya?” tanya Eko.
Reygan hanya mengangguk karena melihat Wulan memintanya untuk mengangguk saja.
“Nama panjangnya siapa, Kang?”
“Dirga Prasetyo,” timpal Wulan sambil tersenyum pada Eko.
“Dirga, ayo bantu beres-beres klinik. Mumpung pasien sudah agak longgar.” Wulan memotong pembicaraan mereka.
Eko pun mengangguk. “Baiklah, kalau begitu. Saya pergi dulu, ya.”
“Kamu ini ... sembarangan aja nyebut namaku,” protes Reygan pada Wulan.
Dokter Wulan mengembuskan napasnya. “Pokoknya, siapa pun warga desa ini yang meminta nama aslimu, jangan pernah berikan. Apalagi jika mereka menanyakan siapa nama ayahmu dan tanggal lahirmu,” ujar Wulan.
“Memang kenapa? Kalau dalam pembuatan dokumen justru yang dibutuhkan adalah nama ibu. Di sini yang berbahaya malah nama ayah.”
Wulan tak menjawab dan tak peduli dengan celoteh Reygan.
“Aku nggak percaya, ah! Bohong itu dosa loh! Aku panggil lagi Eko, ah!” Reygan berpura-pura hendak berteriak memanggil nama Eko.
Namun ... dengan terburu-buru. “Ssssst!” Wulan membekap mulut Reygan dengan telapak tangannya. Keduanya berpandangan sejenak dengan posisi yang berdempetan.
Reygan menatap mata bening gadis berkerudung hijau tersebut. Hidung yang mungil, pipi bersih dan bibir berbentuk hati dengan warna alami.
"A ... anu ... maaf,” ujar Wulan langsung melepaskan tangannya. Keduanya pun langsung membelakangi dan salah tingkah.
“Sebenarnya, orang di desa ini masih kental dengan perdukunan. Jadi jangan pernah memberikan nama asli Anda pada mereka.” Wulan memperjelas penyebab larangannya. Telapak tangannya seakan terasa basah dan hangat bekas dari jejak bibir Reygan.
Reygan hanya mengangguk, jantungnya masih berdegup lebih kencang. Lalu ia memilih untuk duduk di pojok klinik tersebut.
“Aku punya seorang teman yang menjadi relawan di titik longsor. Mungkin dia akan memberitahu jika ada mobil bantuan datang. Dia akan membantumu menaiki tebing untuk tiba di tepi jalan,” ujar sang dokter yang masih belum berani menatap Reygan. Interaksi sedikit di antara keduanya benar-benar memberi dampak besar.
Reygan lagi-lagi hanya mengangguk. Ia belum pernah merasakan getaran seperti saat Wulan membekap mulutnya. Pria itu cukup awam dengan perasaan seperti ini.
“Apa ini gejala serangan jantung? Ini bahaya, aku harus segera pergi dari tempat ini.”