Malam itu tidak cukup dengan langit gelap saja yang membuat takut, suara hewan malam begitu nyaring dan bersahutan. Langkah tikus di atap klinik yang mengganggu tidur dan sering membuat Reygan salah paham. Belum lagi, hujan yang turun deras lalu berhenti tiba-tiba dan kemudian turun lagi secara tiba-tiba juga, semua hal itu menciptakan suasana yang semakin buruk dan sangat dingin dalam ruangan tempat pria Dirgantara itu beristirahat.
Ia berbaring di atas kasur lantai, mencoba untuk menutup mata dengan meletakkan pergelangan tangan di atas dahinya.
Gelisah.
Ia tak betah.
Mencoba berbalik ke kanan membelakangi dinding. Ia merasakan punggungnya yang dingin karena bersentuhan dengan benda lembap yang terbuat dari bata bersemen tanpa cat itu.
Akhirnya ia menjauhkan punggung dari dinding dan menghadap ke sana. Tak dapat dipungkiri, kini ia khawatir dengan sesuatu yang ada di pintu. Entah kenapa, jika ia tidur membelakangi pintu klinik ini, membuat Reygan berpikir terlalu jauh dan merasa ketakutan.
Perlahan ia merasakan ada langkah kaki yang menjadi bagian dari paranoidnya. Bulu kuduknya mulai merinding dan tengkuknya itu terasa semakin dingin.
Karena mendadak resah, dia pun berbalik lagi menghadap pintu.
Membuka mata, tak ada apa pun di sana.
Berusaha untuk duduk. Reygan terengah-engah karena lelah tak bisa tidur.
Otot perut dan dadanya ikut naik turun sesuai dengan irama napasnya yang berembus.
“Aku tidak sanggup lagi,” keluhnya sambil menendang selimut.
Reygan mencoba untuk kembali tidur kali ini. Ia mencoba memejamkan mata lagi dan melemaskan otot wajah. Kemudian berulang kali menarik napas untuk semakin rileks.
Dan pada akhirnya ....
“Duuuuut ....”
Suara itu keluar dengan sendirinya.
“Sial!”
Dia mengumpat sambil langsung berdiri dan memegangi perutnya.
“Kenapa harus sekarang?” keluh Reygan dengan wajah meringis menahan rasa mulas di perut.
Mencoba untuk menahan, ia pun mengeluarkan lagi bunyi-bunyian dari tubuh disertai dengan bau cukup sedap menurut orang yang mengeluarkannya saja.
“Astaga!”
Reygan menahan rasa sakit yang perlahan akhirnya reda.
Keringat dingin sudah membanjiri sekitar leher dan kepala. Ia mengusap air yang berasal dari permukaan kulitnya sendiri itu.
Mencoba untuk berbaring dan melupakan rasa tidak nyaman akan tempat ini.
“Baik, Reygan. Jangan pikirkan hal lain, asal bisa tidur tanpa rasa mulas saja sudah cukup bagiku.”
Ia mencoba menghibur diri dan menikmati bunyi-bunyi pengganggu. Dia mulai berteman dengan dingin dan terbiasa dengan rasa takut.
Namun rasa yang belum hilang sepenuhnya itu pun keluar lagi dengan sendirinya.
“Aduuh!” Reygan kembali mengaduh.
Sambil terbangun ia memegangi perutnya.
“Kenapa harus mulas lagi?”
Pria itu mencoba untuk tenang dan menarik napas, namun kali ini ... rasa itu tak hilang.
Menangis sesenggukan pun tak akan membantu. Ia lebih memilih berguling menahan rasa mulas daripada harus menuruti hajatnya untuk datang ke kamar mandi yang terletak di belakang klinik.
Karena rasa itu sama sekali tak mau reda, sementara gas dari belakang tubuh Reygan sudah keluar lagi berulang kali, pria itu memutuskan untuk bangun dan menuju ke pintu belakang.
Dia pun tertatih, berjalan sambil berpegangan pada kerangka dinding bagian atas yang terbuat dari kayu dalam klinik. Wajahnya meringis dan mencoba untuk terus berjalan meraih pintu belakang.
Di saat itu juga, sebuah suara terdengar dari bagian depan klinik.
Reygan menoleh ke arah pintu depan klinik, sementara tangannya sudah memegang tuas pintu belakang.
Saat gelombang mulas itu semakin meremas-remas otot perutnya, Reygan dapat melihat tuas pintu depan klinik juga terputar.
Kali ini, rasa takut lebih mendominasi dibanding rasa mulasnya. Reygan pun siaga tanpa melepas tatapannya pada pintu. Meski sebelah tangan masih memegangi perutnya, namun kali ini Reygan pun berdiri dengan tegak.
Kakinya membentuk kuda-kuda menunjukkan sikap waspada, gurat wajah kesakitan karena mulasnya masih tersisa, namun gurat hati-hati lebih mendominasi.
“Siapa?” Reygan mencoba mengeluarkan suara yang masih terbilang parau, berat dan agak bergetar.
Cahaya kilat masuk ke dalam klinik melalui jendela, membuat perpanjangan bayangan dari setiap benda yang ada dalam klinik, termasuk bayang-bayang orang yang hendak masuk itu.
Tetes-tetes air masuk dan jatuh ke lantai dekat pintu. Hitam, besar, tak berbentuk.
Degup jantung Reygan semakin kencang. Di samping itu, rasa diremas oleh otot perutnya itu semakin cepat dan terasa sakit. Sementara bayang hitam itu semakin terlihat jelas dan masuk ke ruangan.
Keringat dingin telah meluncur karena rasa sakit yang tertahan dalam perut. Bagian belakang Reygan semakin tak tahan untuk mengeluarkan sesuatu, namun ia sendiri tak bisa pergi dari sini karena belum bisa ia pastikan siapa yang datang.
“Siapa kau?” tanya Reygan lagi.
“Emm, Bapak, bau apa ini?” Bukannya jawaban yang Reygan dengar melainkan suara seorang gadis yang dengan lantang mengomentari bau kentutnya.
Suara itu tidak asing bagi Reygan.
Dengan lutut yang agak bergetar, Reygan meraba bagian tembok dan menyalakan lampu.
“Kang Dirga belum tidur?” Di belakang suara gadis itu ada suara seorang pria yang sepertinya lebih berumur darinya.
Jari telunjuk itu pun menemukan saklar dan seketika membuat klinik kecil ini pun terang.
“Dokter ... Wulan?” panggil Reygan dengan wajah merah padam.
“Ini bau apa?” tanya gadis itu lagi.
Selain tak sanggup menjawab, Reygan juga tak sanggup untuk menahan. Entah karena malu ataupun karena sudah tak kuat buru-buru, pria itu pun segera keluar dari klinik lewat pintu belakang untuk ke kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi, Reygan pun menghela napas lega. “Sialan! Kenapa pas banget mereka datang.”
*
Perutnya kini terasa ringan, rasa mulas itu telah berhenti menyiksa setelah ia melahirkan ampas metabolisme dari dalam tubuh.
Hanya saja Reygan baru ingat akan sesuatu, mungkin perutnya telah terasa ringan, namun tidak untuk beban mentalnya.
Reygan ingat ada Wulan dengan bapaknya yang masuk ke ruangan. Seketika, ia menghentikan langkah dan ingin mempertebal kulit wajahnya.
Jakunnya bergerak-gerak untuk menelan ludah.
Hendak ia berlama-lama di belakang klinik, namun ia merinding juga karena tempat ini cukup gelap. Kakinya pun dengan segera berlari menuju ke dalam lagi.
“Anu ... maaf, tadi aku tinggalkan kalian,” ucap Reygan saat ia masuk.
Wulan menunduk dengan kikuk, sementara bapak dari gadis itu sendiri juga berusaha memasang ekspresi senyum penuh arti. Reygan paham dengan situasi ini. Kalau ia mengelak pun, malah membuat dirinya semakin tampak memalukan.
“Maaf juga, jika aku membuat ruangan ini kurang nyaman,” ucap pria itu lagi.
Sementara itu, Wulan mencoba menggelengkan kepala.
“Ada apa kalian kemari malam-malam?” tanya Reygan yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bapak dari Wulan pun menyenggol pada anaknya agar mengutarakan maksud mereka.
“Reygan, Bapakku mendapatkan kabar kalau ada mobil pick-up pengangkut bahan pangan dan bantuan medis akan datang ke Desa Ciwanoja, kalau kamu mau, kami akan mengantarmu untuk menemui mobil itu.”
Bagaikan ada secercah cahaya yang menerangi gelapnya harapan Reygan. Tentu saja ia langsung mengangguk tanpa pikir panjang.
“Kalau begitu, sekarang istirahatlah, karena besok dini hari bapakku akan mengantarmu menemui mobil pick up tersebut.”