Dengan jas hujan bertudung dan sepatu bot di tengah hujan deras dan jalan bertanah yang becek, dua orang pria dewasa dan satu orang wanita berjalan menyusuri bekas reruntuhan longsor.
“Tempatnya masih jauh, berhati-hatilah, Nak!” ujar Pak Hendar selaku bapak dari Dokter Wulan yang mengantar Reygan untuk menuju ke tempat bertemunya mobil.
“Ternyata, mobil itu tidak menuju sampai perkampungan, ya?” tanya Reygan bergumam.
“Tentu tidak, jalan ke kampung sangat jelek dan sempit seperti ini. Biasanya memang mobil tidak bisa lewat meskipun tidak ada longsor. Apalagi saat ini ada bekas longsor, tentu saja tak akan ada kendaraan satu pun yang lewat.” Dokter Wulan menimpali di balik tudungnya.
Langit yang masih gelap, ditambah hujan pun sama sekali belum reda sejak semalam. Jika bukan karena Reygan yang sangat ingin kembali ke tempatnya, mungkin dia enggan untuk menempuh perjalanan ekstrem dengan medan bak jalur off road tersebut.
“Aww!” Wulan sedikit berteriak saat ia tergelincir dan mencoba berpegangan pada apa pun yang ada di dekatnya.
Sementara itu, Reygan yang merasa pundaknya tertarik oleh sesuatu langsung spontan mencoba menangkap sesuatu yang hendak jatuh tersebut.
“Hati-hati, Neng!” tukas Pak Hendar sambil menoleh ke belakang.
Sementara itu, Reygan masih menyangga punggung gadis cantik bermantel jas hujan tersebut sambil sebelah tangannya berpegangan pada dahan pohon terdekat.
Menatap wajah tampan dengan tetes-tetes air hujan yang membasahi. Wulan mengarahkan senter di tangannya pada wajah itu.
Sedikit silau, mata Reygan tertutup untuk menghindar dari cahaya senter Wulan.
Namun gadis itu terus tertegun sambil terus mengarahkan cahaya pada pahatan wajah tampan yang sebelumnya belum sempat ia amati tersebut. Mata dengan bulu mata lebat yang berusaha menghindar dari cahaya senter itu tampak indah, dahi lebar dengan pahatan pelipis sedikit menonjol, turun ke tulang pipi dan rahang yang tegas, kemudian hidung yang cukup besar dan mancung, filtrum bibir yang memukau, lalu terakhir dagunya ....
Ada satu tetes air mencoba untuk jatuh dari dagu itu.
Dagu yang sedikit menonjol itu telah ditumbuhi bulu tipis yang belum sempat dicukur oleh pemiliknya.
Lalu ... air dari dagu itu pun menetes karena si empunya berbicara. “Sampai kapan kau terus seperti ini?” Pria itu berusaha membuat sang dokter cantik itu agar segera berdiri, namun karena sedang melamun, Wulan tak kunjung menegakkan badan dan bertumpu pada lengan dan tubuh bidang Reygan.
“Ayo cepat, nanti ketinggalan!” teriak Pak Hendar yang ternyata sudah berada lebih dari sepuluh meter di depan mereka.
Wulan pun tersadar dan langsung berdiri, ia merapikan mantelnya dan menutup kembali tudung kepala yang sempat terbuka. “Ih, kenapa kau memegang-megang padaku!” ketusnya pada pria yang baru saja menolong dirinya.
Reygan tak merasa bersalah, namun sesaat ia bergidik. “Suruh siapa jatuh, aku juga tidak berniat menolong wanita yang terlalu percaya diri sepertimu.”
Kembali pada kondisi semula, tak ada saling mengagumi ataupun saling mengkhawatirkan. Mereka saling melempar tatapan ketus, sementara Reygan kembali berlagak tak peduli.
Wulan mempercepat langkah dan meninggalkan Reygan di belakang.
“Hei, yang mau kalian antar itu aku, tapi kenapa kalian meninggalkanku?” protes Reygan sambil terus berjalan.
“Cepatlah, aku harus segera kembali untuk membuka klinik. Apalagi anak-anak nanti akan kembali belajar di klinik,” jawab Wulan tanpa menoleh ke arah Reygan. Padahal sebenarnya saat itu, ia sedang menghindari tatapan pria tersebut karena wajahnya sedang tersipu.
Reygan mencoba terus berjalan. Mengambil salah satu ranting yang jatuh dan menggunakan ranting tersebut sebagai alat penopang untuk berjalan, Reygan menatap wanita di depannya yang kelelahan namun tetap terus berjalan.
“Hei,” sapa Reygan yang mencoba untuk menyejajarkan langkah dengan Wulan.
Wulan tak menjawab, ia hanya menoleh sedikit dan melihat Reygan.
“Kenapa kau ikut mengantarku? Padahal, cukup dengan bapak saja tidak apa-apa.” Sejujurnya, dia khawatir melihat Wulan harus bangun dini hari dan menempuh perjalanan seperti ini hanya untuk mengantarnya. Ya, meskipun wanita itu bukan Wulan juga, Reygan tetap akan khawatir, kok. Sama saja. Mungkin.
Wulan meliukkan ujung bibirnya sambil menatap Reygan sinis. “Kau terlalu percaya diri!” tukasnya singkat.
“Menyesal aku menolongmu tadi!” balas Reygan yang akhirnya berjalan mendahului Wulan.
Jalan ini licin dengan tanah lumpur tebal menempel di sekitar sepatu. Tiba-tiba ranting penyangga yang dibawa oleh Reygan menancap ke permukaan tanah dan hal itu mengakibatkan dia ikut tersungkur ke tanah.
“Adududuh!”
“Hahahaha!” Sontak suara tawa dari belakang langsung pecah melihat kejadian di depannya.
Reygan berusaha berdiri, namun karena licin, dia pun kesulitan.
Wulan pun mendekat dan mengulurkan salah satu tangannya. Sambil ia membuka tudung mantel karena hujan kali ini tidak terlalu deras seperti sebelumnya.
Pria itu memutar bola mata. Gengsi di dalam dirinya masih terlalu tebal untuk menerima pertolongan dari seorang gadis.
“Sudah, ayo!” Tangan Wulan memaksa untuk membawa pria tersebut, meski Reygan sedikit menolaknya.
Namun niat jahil pun terlintas pada pikiran Reygan, saat ia hampir berdiri, tangannya malah sengaja menarik Wulan hingga gadis itu ikut terjerembap.
“Eh, Ya Tuhan. Aduuh! Bapak, tolongin neng!” teriaknya meminta bantuan pada Pak Hendar yang sudah jauh berjalan di depan.
Pria tua itu tak mendengar permintaan tolong anaknya.
Namun Reygan terkekeh dan ia bisa berdiri karena berpegangan pada salah satu batu di sampingnya.
“Iiish! Kau sengaja, ya, menarikku?” protes Wulan sambil cemberut pada Reygan.
Namun pada akhirnya, dokter cantik itu pun berdiri karena bantuan Reygan lagi.
“Kali ini kau menolongku karena memang kau yang membuatku jatuh, ya!” ketus Wulan yang lebih sinis dari sebelumnya.
“Pffft.” Reygan pun terkekeh dan tak kuat menahan tawanya. Pria itu akhirnya berjalan mendahului Wulan.
“Aw ... aw!” Wulan menjerit saat hendak melangkah.
Reygan menoleh dan melihat apa yang dialami oleh dokter muda tersebut. Ia pun melihat Wulan kembali tersungkur.
“Kau kenapa?” tanya Reygan.
Wulan tak menjawab, wanita itu hanya mencoba berdiri dan mengacuhkan Reygan. Ia berdiri dengan berpegangan pada batu seperti yang dilakukan oleh Reygan tadi.
Namun saat wanita itu hendak melangkah, Reygan melihat langkah Wulan tak seperti biasanya.
“Kakimu sakit?” Reygan berjalan di belakang Wulan untuk melihat wanita itu.
Wulan tak menjawab dan diam saja. Bibirnya mengerucut karena sangat kesal pada pria yang ada di belakangnya itu. Kakinya terasa ngilu setiap ia melangkah, namun dirinya tak mungkin berhenti di sini dan terpaksa untuk terus berjalan. Meski sejujurnya, dalam hati ia merasa dongkol pada Reygan.
Pria itu mendadak muram, sedari tadi ia menertawakan Wulan karena wanita ketus itu terjatuh dua kali. Ya, meski yang terakhir itu gara-gara dirinya menarik Wulan.
“Ah, kamu sih, sok mau ikutan segala. Udah pulang aja sana! Lagian, kalau ikut juga ngapain?” Meski dalam hatinya merasa bersalah, namun mulut jahil itu tak bisa berhenti untuk menggoda gadis yang sedang kesal padanya itu.
Wulan tak menggubris, ia pun tersungkur lagi dan duduk di atas di atas jalanan licin nan berbatu di tengah hutan itu.
Reygan melipat kedua tangan sambil mengarahkan senter ke arah gadis tersebut.
Namun ekspresi wajahnya semakin buruk saat mendengar isak tangis dari gadis yang tersungkur itu. “Hei, kau kenapa?”
Wulan mengusap air mata yang turun di pipi. “Kamu kenapa menyebalkan sekali? Aku ini bukan mau mengantar kamu! Aku mau mengambil obat yang diantar oleh mobil itu. Bapakku akan membantu warga desa untuk mengambil makanan. Bukan kamu yang menjadi alasan kami melakukan ini!”
Tiba-tiba saja gadis itu marah dan membuat Reygan terkejut. Ia tak menyangka akan dimarahi seperti ini Wulan.
“Mungkin bagi kamu datang ke tempat kami ini hanya liburan untuk menghamburkan uang, tapi kami yang berada di sini setiap hari mencoba bertahan hidup. Meski tidak ada longsor, warga desa di sini tetap kesulitan mendapat fasilitas yang sama dengan yang di kota. Bahkan untuk sekedar obat flu saja, kami harus menunggu kiriman dari kota!” bentak Wulan sambil menangis.
Ia berulang kali mencoba berdiri, namun sulit. Kakinya terkilir membuat ia kesulitan.
Seketika Reygan merasa bersalah, hanya saja mulutnya terlalu gengsi untuk menyebut maaf. Namun akhirnya ia pun berlutut membelakangi Wulan.
Wulan terperangah dengan apa yang dilakukan oleh Reygan. Tiba-tiba saja, punggung lebar itu ada di depannya.
“Naiklah ke punggungku, anggap saja ini permintaan maaf karena sudah bercanda melewati batas,” ucap Reygan.
Dokter muda tersebut membuang muka sambil menyusut air mata. Ia juga pasti tidak akan langsung mau untuk naik ke punggung pria di depannya itu.
“Sudah, ayo cepat!” Reygan pun langsung meraih kedua tangan Wulan dengan mengangkat gadis itu ke atas punggungnya.
Berjalan di medan sulit dengan beban berat di punggungnya. Ini adalah hal yang baru pertama kali dilakukan oleh Reygan seumur hidupnya. Apalagi beban berat itu adalah seorang wanita. Bahkan, Kyara sendiri, yang berstatus sebagai tunangannya pun belum pernah ia gandeng tangannya, apalagi digendong seperti ini.
Di saat keduanya saling diam serta fokus pada jalan di depan, ada sebuah cahaya yang dibawa oleh seseorang. Orang tersebut berlari sambil menuju pada mereka berdua.
“Kalian berdua ini kok malah gendong-gendongan, sih! Pamali tahu! Ayo cepat, mobilnya sudah datang!”