Bagian 11

1123 Kata
Mungkin aku hanya belum terbiasa. Dengan kehadiran kamu yang menjadi pusat perhatian. Atau mungkin aku yang tidak akan pernah bisa. Membiasakan diri jadi pusat perhatian, ketika kamu ada di sampingku. ~ Ciwanoja, 2022 * Melakukan pekerjaan berat dan kasar seperti ini, bukanlah kebiasaan Reygan. Akan tetapi ia terlalu gengsi di depan Eko karena dibilang selalu menempel pada perempuan. Untuk itu, dengan gagahnya kini pria tersebut memegang sekop dan memakai sepatu bot. Berjalan menuju ke tempat terjadinya longsor berada dan membantu mengangkat batu juga membersihkan tanah liat yang menghalangi jalan. “Nah, gitu dong! Itu baru laki-laki! Tu, kamu bagian ngangkat kayu-kayu tumbang di sana!” tunjuk Eko pada kebun jati yang ada pinggir jalan tersebut. “Sini, aku yang pakai sekop kamu.” Padahal, Reygan telah membawa sekop tersebut untuk membersihkan tanah liat seperti yang dibilang oleh Eko. Tapi sesampainya di lokasi, orang itu malah dengan seenaknya mengganti pekerjaan Reygan dan dirinya memakai sekop yang dibawa pria itu. Tapi Reygan tak mau banyak bicara, dia akan menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Eko. Walau tak terbiasa bekerja berat, pria tersebut biasa berolahraga. Mengangkat beban seperti itu tidak membuat dirinya kelelahan. Hanya saja mungkin beban berat ini bukanlah terbuat dari besi seperti yang ada di alat olahraganya, melainkan kayu-kayu besar gelondongan yang harus ia angkut dan rapikan. Kayu-kayu itu akan dimanfaatkan oleh warga untuk memperbaiki rumah mereka, sementara kayu-kayu yang potongannya jelek, mungkin akan digunakan sebagai kayu bakar. “Ini, Kang minumnya,” ujar para gadis yang membawakan minuman dan camilan untuk bapak-bapak dan para pemuda yang bekerja. Eko pun seakan mencari perhatian pada mereka dengan menghampiri sambil terlihat lesu. “Aduh, capek juga ya, Neng. Lihat, tangan akang! Aduuh!” Pria tersebut mengaduh sambil mengibas-ngibaskan tangannya. “Aduh, kasihan Kang Eko. Minum dulu atuh, mau Neng pijat tangannya?” tawar salah seorang gadis yang sedang mengantarkan minuman di sana. Sementara itu, di sudut sana, masih banyak bapak-bapak dan pemuda yang lain masih bekerja dan belum melepaskan peralatan mereka. Termasuk Reygan, dia mengangkat kayu gelondongan yang ukurannya besar dan memindahkannya ke tempat lain agar lebih rapi dan mudah diambil. Ketika Eko sedang menikmati tangannya yang dipijat sambil meminum kopi pahit yang masih hangat, Reygan berjalan melewati mereka. “Itu teh Kang Dirga?” Para gadis pun mengalihkan pandangan mereka. Pria yang berjalan dengan bahu tegapnya itu begitu terlihat maskulin sambil membawa beban berat di atas pundaknya. Kaki-kakinya yang panjang tersebut melangkah tanpa ragu sambil mengangkut kayu-kayu besar. Gadis-gadis tersebut matanya masih mengekor bahkan hingga Reygan menumpuk kayu di sebelah sana. Pria itu mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan tubuhnya. Keringat bercucuran dari dahi dan leher, rambutnya juga cukup basah membuat pria tersebut seperti habis keramas dan hal itu meningkatkan kadar ketampanannya. Belum lagi, kaos tipis Pak Hendar yang juga ikut basah sehingga otot-otot tubuh dari perut dan punggung yang tercetak dan dapat dilihat dengan jelas oleh mereka. “Kang Dirga ganteng banget!” “Beruntung ya, kita kedatangan dia. Jadi bisa cuci mata!” “Lagi kecapekan aja Kang Dirga ganteng banget,” ujar gadis yang sedang memijat tangan Eko. “Ganteng apanya, Pria kota itu lembek. Beda sama laki-laki yang sudah biasa hidup di kampung. Kita kuat-kuat!” Eko menimpali sambil menggerakkan pergelangan untuk menunjukkan otot bisepnya yang tidak terlalu menonjol itu. Sayangnya, pertunjukkan dari Eko tidak menarik minat para gadis untuk melihatnya. Mereka sibuk menatap pada Reygan dan sudut matanya selalu mengikuti ke mana Reygan pergi. Apalagi saat pria tersebut lewat di depan mereka. “Kang Reygan pasti capek,” ucap salah seorang gadis yang sedang melihat bagian punggung dari pria tersebut. “Iya, tapi dia nggak banyak ngeluh.” Eko yang sedang bersama mereka pun merasa kesal karena tak diperhatikan. Kemudian, Reygan melewati mereka lagi sambil mengangkat kayu yang lain. Para gadis itu mengamati bagaimana bentuk dari otot lengan atas yang membesar dan terlihat begitu gagah tersebut. Tidak hanya para gadis, Eko yang ada di sana pun melihat itu. “Ini, lihat ini! Kalau penasaran sama otot laki-laki, akang juga punya!” Eko berusaha mengalihkan perhatian mereka. “Apaan sih, Kang.” Salah satu gadis itu menepis Eko yang menghalangi pemandangan indah dari matanya. Kemudian para gadis itu menuangkan kopi dari termos ke dalam gelas. “Kalian mau apa?” tanya Eko yang mulai curiga. Namun para gadis itu tidak menggubris, mereka membawa beberapa gelas kopi dan juga camilan yang ada di dekat Eko. Begitu Reygan telah meletakkan kayu yang ada di sana, para gadis langsung berkerumun dan menyodorkan bawaannya. “Kang Dirga, ini minuman punya akang.” “Kang Dirga, ini camilannya buat akang.” Reygan yang baru saja meletakkan kayu pun berbalik dan terkejut dengan semua hal yang disodorkan oleh para gadis untuknya. “I ... ini untuk apa?” tanyanya yang tak mengerti. “Makanan untuk para pemuda yang bekerja di longsoran, termasuk Kang Dirga.” Salah satu dari mereka menyodorkan. Reygan bingung karena banyaknya makanan yang disodorkan ke depannya. Bahkan gelas kopi pun sampai ada tiga. Bagaimana ia bisa memakan semuanya? “Itu ... maksudnya ....” Reygan menunjuk pada semua makanan dan ia kebingungan harus mengambil yang mana. “Ayo, Kang. Minum kopi dari sini!” “Ini yang aku bawa sudah diberi gula, Kang.” Karena bingung, Reygan pun memutuskan untuk tidak meminum sama sekali. “Saya, nanti dulu istirahatnya. Mau ... lanjut kerja dulu.” Pria tersebut pun berlari dan kembali menuju ke tempat sebelumnya. “Yaaaaa ....” Para gadis terlihat kecewa karena tawarannya ditolak oleh Dirga yang tampan itu. Sementara itu, di tempat lain. Eko yang kesal karena Reygan banyak mencuri perhatian pun pergi meninggalkan pekerjaannya di tempat longsoran. Ia kembali menuju ke pusat desa dan datang ke klinik. Kebetulan hari itu klinik sudah buka dan ada Wulan yang sudah berjaga lagi di sana. Hari ini Wulan berjaga dengan ditemani tiga orang gadis seperti biasa, hanya saja untuk sekarang Reygan tak bisa bergabung dengan mereka. “Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam.” Kedatangan Eko membuat para gadis itu menoleh dan melihat pada arah pintu. “Eh, Kang Eko. Memangnya sudah selesai kerja baktinya?” tanya Wulan. “Iya sudah! Akang mah langsung pulang,” jawab Eko berbohong. Padahal pekerjaan hari itu masih banyak. “Loh, kok Kang Dirga belum pulang?” tanya Wulan dengan raut wajah cemas. “Ciyeee, teh Wulan kangen sama Kang Dirga,” celetuk Yuli yang senang sekali menggoda dokter muda tersebut. “Ih, kan, cuma nanya.” Wulan pun langsung tersipu saat itu juga. Namun ada yang berbeda dalam hati Eko. Sejak tadi ia memang tak suka karena pria pendatang itu merebut perhatian para gadis darinya, sekarang ia datang ke klinik dan yang keluar dari mulut Wulan adalah pertanyaan tentang Reygan. “Sepertinya, aku perlu menghasut mereka. Agar si orang kota itu berhenti disukai oleh Neng Wulan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN