Bagian 12

1100 Kata
Suara serangga hutan tak pernah luput dari pendengaran. Meski tengah hari matahari tepat di atas kepala, tak ada yang namanya gerah di desa tengah hutan ini selama musim hujan. Bahkan cahaya sang baskara itu masih malu-malu untuk menembus dahan pohon yang menjulang tinggi mengelilingi desa Ciwanoja. Di sebuah klinik yang terletak di antara kebun singkong dan juga hutan bambu tersebut, seorang gadis memakai jubah dokter sedang merenung sambil mendengar ucapan lawan bicaranya yang tidak enak didengar. "Dirga itu sejak tadi cari perhatian terus, kerjanya nggak benar, baru ngangkat kayu sedikit saja sudah mau istirahat. Dasar orang kota itu tulangnya lembek!” hasut Eko sesuai dengan rencana pria tersebut. Perkataannya penuh amarah dan kebencian yang tersirat. “Wah, masa? Padahal kalau di sini dia itu lumayan rajin ya, Teh. Mungkin, harus ada Teh Wulan di sana, kalau dipelototin sama Teh Wulan, pasti kerjanya balik lagi jadi bener.” Yuli ikut bicara di antara Wulan dan Eko. “Pokoknya, dia itu sampai minta dipijat sama para gadis yang ada di sana.” Eko membual dan melebih-lebihkan cerita. Sementara itu, Wulan sejak tadi belum memberikan reaksi apa-apa. Gadis dokter yang berhijab ungu muda tersebut hanya diam dan membiarkan saja Eko bercerita segala sesuatu yang buruk tentang Reygan. Bukannya Wulan tak percaya, tapi apa pun yang dilakukan oleh pria tersebut tak ada kaitannya dengan Wulan. Begitu pikir gadis dokter tersebut. Jika memang benar, apa yang dikatakan oleh Eko, mungkin Wulan perlu menegur Reygan agar memperbaiki sikapnya saat bekerja. Namun masalah menggoda para gadis? Itu bukan wewenang Wulan. “Kayaknya ... memang nggak pantas disebut manusia itu Si Dirga!” Eko mengakhiri ceritanya dengan bumbu kalimat akhir yang sangat menunjukkan jika dirinya begitu membenci sosok Reygan. “Sudah, sudah! Kang Eko sana balik lagi kerja! Jangan malah rumpi ngomongin orang di sini!” Wulan pun akhirnya terang-terangan mengusir Eko. “Eh, jangan salah, Neng. Kan, tadi akang sudah bilang kalau di sana sudah selesai semua. Cuma para pekerja ada yang masih istirahat, soalnya kan para gadis yang mengantar makanan juga baru datang. Seperti kata akang tadi, Dirga itu lagi seneng-seneng sama mereka, soalnya ....” “Udah, Kang, cepat pulang. Aku mau beresin ini, kliniknya mau ditutup saja. Udah sana! Kalau sudah selesai kerja, pulang ke rumah, Kek. Atau ngasih makan kambing juga boleh,” timpal Wulan sambil memotong ucapan Eko sebelumnya. “Iya, tapi ....” “Kang Eko, pulang!” Wulan memasang wajah tegas yang membuat Eko agak ketar-ketir sendiri jadinya. Wulan pun melanjutkan kegiatannya saat ia harus memilah-milah obat. Mendengar ucapan dari Eko tadi sedikit membuat Wulan kepikiran. Bukan karena ia cemburu, hanya saja dirinya mencoba mencerna kalimat itu dan membayangkan jika semua itu adalah fakta. Akan tetapi ... sejauh apa pun Wulan membayangkan, tetap saja sulit dipercaya. Apalagi sampai Reygan yang lebih dulu menggoda para gadis. Padahal selama dengan dirinya saja, Reygan tak pernah menunjukkan tanda-tanda sebagai pria yang suka menggoda perempuan. Berulang kali, Reygan berkata bahwa gadis seperti Wulan ini hanya orang kampung dan tak pernah memenuhi selera dari pria tersebut. Rasanya mustahil, jika sampai Reygan menggoda para gadis lain di kampung ini. “Sudah, Teh. Jangan terlalu dipikirkan,” ujar Siti sambil mendekat dan mengusap pundak Wulan. Gadis dokter itu pun terkekeh. “Memang apa yang aku pikirkan?” Dia sedikit tersipu dan berusaha menyembunyikan wajah karena takut dipergoki oleh gadis-gadis itu. “Hmmm, teteh kepikiran sama omongan Kang Eko, kan?” tebak Yuli sambil cengengesan. “Huush!” Yuni menyenggol Yuli dengan bahunya. “Nggak, ngapain dipikirin! Kan, sudah disuruh pulang ini si Kang Ekonya juga.” Wulan pun terdiam dan berusaha mangkir dari tuduhan mereka. “Kang Eko suka begitu memang, kalau dia nggak suka sama orang, selalu dijelek-jelekin sampai semua yang busuknya dikeluarkan," timpal Siti lagi. “Iya, jadi teteh nggak usah khawatir kalau Kang Dirga diambil sama gadis di desa kita ini. Toh, yang paling cantik, kan, teteh.” Yuni yang sedari tadi terdiam tiba-tiba ikut bicara. Sampai-sampai hal itu membuat Wulan tertawa. “Aduh ... lihat Yuni bicara begitu, teteh jadi ingin tertawa.” Wulan menutup mulutnya yang sedang tertawa lebar. Tak biasanya gadis seperti Yuni menimpali pembicaraan-pembicaraan tentang laki-laki ataupun hal-hal lain yang berbau gosip. Maka dari itu, ketika gadis itu ikut nimbrung dan menimpali ucapan yang lainnya tentang Eko dan Dirga, yang lain merasa aneh dan ingin menertawakannya. * Waktu tutup klinik pun tiba, para gadis telah pergi meninggalkan bangunan kecil dengan dinding semi permanen tersebut. “Assalamualaikum,” ucap Reygan ketika ia melepas sepatu botnya. “Wa’alaikumsalam. Kok baru datang?” tanya Wulan dengan nada penuh interogasi. “Iya, baru selesai. Ini sudah dipel, ya, lantainya?” tanya Reygan sambil berjinjit saat berjalan menuju ke belakang. “Iya .... Kamu baru selesai apa? Selesai godain anak gadis yang nganterin makanan?” tuduh Wulan. Ia bukan termakan ucapan Eko, hanya saja dirinya ingin mencoba mengonfirmasi kebenaran ucapan tersebut, walau sebenarnya pertanyaan yang diutarakan oleh Wulan lebih terdengar seperti menginterogasi, bukan mengonfirmasi. “Selesai, kerjalah! Nyekop tanah, mindahin batu, mindahin kayu,” timpal Reygan dengan segera sambil mengangkat sepatu botnya dan jalan berjinjit melewati lantai klinik yang bersih itu. “Oh!” jawab Wulan singkat. “Kamu mau pulang sekarang?” tanya Reygan lagi. “Iya,” jawab Wulan singkat. Dia menatap Reygan agak sinis dengan mata bulatnya. “Udah bisa jalan lancar?” Reygan memperhatikan kaki Wulan. “Lumayan, sudah nggak sesakit kemarin. Habis diurut kemarin semalaman sama bapak.” “Oh, syukur deh! Nanti aku menyusul kamu, aku mau mandi sama salat zuhur dulu.” Reygan pun berlalu ke belakang. Wulan mengerutkan dahi, untuk apa Reygan berkata ingin menyusul ke rumahnya? Gadis dokter itu berjalan ke belakang klinik. Dia melihat Reygan tengah mencuci sepatu botnya. “Mau apa kamu ke rumahku lagi?” tanya Wulan yang merasa aneh. Reygan yang sedang menyikat botnya itu pun menoleh dan menjawab ucapan Wulan. “Ikut makan,” jawabnya sambil tersenyum lebar memperlihatkan giginya. “Aku lapar! Boleh, kan?” ujar Reygan sedikit memelas lagi. Tampaknya pria itu sudah membunuh rasa malu untuk selalu numpang makan di rumah keluarga Wulan. Spontan gadis itu mengerutkan dahinya. “Bukannya kamu sudah makan tadi pas istirahat di sana?” Reygan menggeleng sambil terus menyirami sepatunya menggunakan air timba. “Mana sempat, terlalu banyak orang, jadi malas mau makan sama minum juga. Aku makan di rumah ibu kamu aja. Boleh, kan?” Wulan pun tersenyum kecil sambil mengangguk. Entah kenapa ada perasaan lega dalam hati gadis itu. Seketika kemarahannya itu lenyap dan ia cukup berbunga-bunga lagi di siang ini. Melihat Wulan senyum-senyum seperti itu, seketika Reygan pun berkata padanya. “Udah, sana pulang dulu! Mau nemenin aku mandi?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN