Kembali makan bersama dengan nasi dari bakul.
Kedua orang tua Wulan sudah makan terlebih dahulu, mereka menyisakan beberapa bagian untuk Wulan dan juga Reygan. Pria itu sudah tak seperti dulu, dia tak lagi bertanya-tanya makanan apa yang ada di depannya ini? Bagaimana rasanya makanan ini? Dia sudah asal makan semua yang disediakan oleh keluarga Wulan.
Makanan yang sederhana, hanya nasi dan sambal lalu yang lain adalah berbagai macam dedaunan. Meskipun sulit untuk mendapatkan bahan pangan, tapi untungnya kebun mereka masih memberikan berbagai hal untuk dimakan.
“Ini kolak,” ucap Ibu Een, ibu dari Wulan. “Adanya kolak singkong, dimakan ya. Lumayan, untuk tambah tenaga.”
Reygan tersenyum mengangguk. Dirinya terkadang sering merasa sungkan dengan keluarga dari Wulan karena kebaikan mereka. Bagaimanapun juga, kedua orang tua dari Wulan ini sangat baik padanya, bahkan lebih dari orang tuanya sendiri. Seandainya tak ada Wulan dan keluarganya, mungkin di sini dirinya sudah terlantar dan entah akan hidup atau tidak.
“Wah, ini manis.” Reygan mencicipi kolak tersebut setelah ia menghabiskan makanannya.
“Ya, kan, pakai gula,” jawab singkat dari Wulan yang juga sedang memakan kolak buatan ibunya tersebut.
“Loh, kok bisa ada gula. Waktu itu aku minta kecap tidak ada?” tanya Reygan keheranan.
Wulan memutar bola matanya. Gaya ketus khas Wulan yang sudah tak asing di depan Reygan.
“Kecap dengan gula tentu berbeda,” jawab Wulan.
“Iya, aku tahu. Tapi ... bukannya sama-sama harus dibeli?” tanya Reygan yang masih awam dengan kehidupan dengan perkampungan.
Kali ini Wulan menggeleng. “Sepertinya kamu tidak tahu, ya? Kalau Gula merah itu di sini tak perlu beli. Sebelum ada longsor dan hujan besar yang melanda desa kami, para warga sering membuat gula yang terbuat dari air pohon aren. Akan tetapi dikarenakan hujan yang tak berhenti-berhenti, banyak pohon aren yang tumbang, sekalipun ada yang tidak tumbang, para warga tidak ada yang berani mengambil air di atas pohon. Karena hujan dan juga angin, akan membahayakan mereka yang sedang naik ke atas pohon,” jawab Wulan menjelaskan.
Reygan melongo, hal-hal yang seperti itu tidak pernah terbayang di kepalanya. Bahkan bentuk gula merah yang terbuat dari aren sendiri dia tidak tahu. Dia hanya pernah memakan kolak saja, tanpa tahu bagaimana proses membuatnya, apalagi cara mendapatkan bahan baku pembuatan makanan tersebut.
“Tapi kautahu dengan singkong, kan?” tanya Wulan lagi.
Reygan pun terperanjat begitu Wulan menanyakan hal itu. “Tahulah! Dia ... adalah umbi akar yang berkembang biak dengan cara vegetatif buatan yakni stek batang. Walau begini aku masih pintar dengan pelajaran sekolah!”
“Maksudku, pohon singkong! Kau pernah melihatnya?” tanya Wulan sambil tertawa terbahak-bahak.
Kali ini Reygan melongo. “Pernah,” jawabnya sambil mengangguk.
“Dalam gambar?” ledek Wulan.
Lalu Reygan mengingat-ingat, dia berusaha keras mencari momen hidupnya saat ia bertemu dengan pohon singkong. Kapan ya? Kapan ya? Kapan ya?
Pokoknya ia tak boleh sampai menjawab tidak pernah melihat singkong di depan Wulan.
“Belum pernah, kan? Bilang saja!” Wulan meledek sekali lagi.
Reygan pun tersenyum lebar. “Pernah!” Dia telah berhasil menemukan momen tersebut.
“Kapan? Kebun belakang klinik?” ledek Wulan terus-menerus. Di kebun belakang klinik memang terdapat kebun singkong.
Seketika senyum lebar Reygan pun menghilang.
“Kenapa wajahmu begitu? Benar, ya? Kau hanya pernah melihat pohon singkong di kebun belakang klinik?” tebak Wulan yang tertawa semakin keras.
Reygan menggaruk tengkuknya dan tidak memedulikan lagi Wulan yang menertawakannya. Dia menghabiskan satu mangkuk kolak singkong buatan ibu dari Wulan. Hal itu lebih mengenyangkan dibanding mendengar olok-olok dari gadis dokter di hadapannya.
Bagi Reygan, selain ketus wanita itu juga pandai membuat dia terlihat seperti orang bodoh.
“Jangan marah, ya ... aku hanya bercanda,” ujar Wulan sambil terkekeh.
Namun kekehannya itu sangat keras dan membuat Reygan merasa ditertawakan lagi.
“Terserah!” jawab Reygan lalu menyeruput sisa air kolak sampai tandas.
Wulan masih saja tertawa, lalu ia mencoba berdiri. “Aw! Aw! Aw!” Dirinya lupa jika kakinya tengah terkilir.
“Kan, kan? Makanya jangan suka meledek orang lain.” Reygan berlalu meninggalkan Wulan yang tersungkur di ruang tamu rumah orang tuanya. Pria tersebut pergi ke belakang sambil membawa beberapa piring kotor bekas mereka makan.
“Si Neng teh kenapa lagi?” tanya Pak Hendar, bapak dari Wulan.
“Nggak bisa berdiri, Pak.” Wulan memijat bagian sendi yang terasa sakit di kakinya.
Reygan telah kembali dari dapur, dia melihat Pak Hendar sedang mencoba mengurut kaki Wulan.
“Kamu anak gadis, kalau tertawa jangan kencang-kencang. Malu, jadi perempuan itu harus anggun, jangan ketus! Apalagi di depan bujang seperti Dirga, harus menjaga diri. Jangan terlalu berbaur,” nasihat bapak untuk Wulan sambil mengurut kaki anak semata wayangnya tersebut.
Pak Hendar belum tahu jika ada Reygan yang telah berdiri di belakangnya.
Sementara itu, Wulan merasa tambah malu karena bapaknya menasihati gadis itu di depan pria yang dibicarakan secara langsung.
Reygan hanya tersenyum sambil menutup mulut. Tapi karena melihat ekspresi pahit dari Wulan, Reygan pun menahan agar sudut bibirnya tidak ada yang naik.
“Eh, ada Jang Dirga! Dikira bapak masih di dapur belakang.”
Pemuda itu pun hanya tersenyum lebar. Ia tak mau bereaksi macam-macam yang nantinya akan membuat Wulan semakin marah padanya.
Reygan pun duduk kembali di tempat sebelumnya, ia bersila meletakkan tubuhnya di atas lantai kayu dari rumah panggung ini. “Apa tidak lebih baik kamu di sini saja? Menurutku lebih baik kamu beristirahat.”
“Benar, Neng. Biar bapak urut kaki kamu dan cepat sembuh.”
Wulan diam saja, entah kenapa ada rasa khawatir dalam hatinya. Padahal, jika menutup klinik satu atau dua hari adalah hal yang biasa baginya. Namun kali ini, berat bagi Wulan rasanya.
“Ikuti saran bapak, jangan memaksakan diri. Aku akan kembali ke klinik dan memberitahu jika ada pasien yang datang, bahwa kamu sedang sakit.” Reygan berkata di depan gadis dokter yang menyebalkan ini.
“Baiklah.” Paksaan bapak dan Reygan pun berhasil membuat Wulan mau untuk beristirahat.
Pada saat itu juga, Reygan pun pamit pulang pada mereka. “Saya, pamit dulu, Pak.”
“Iya, Nak Dirga. Hati-hati.”
“Terima kasih, makanannya. Saya pergi dulu, ya.”
“Sama-sama.”
Reygan pun meninggalkan rumah keluarga Pak Hendar seorang diri. Beberapa hari di sini sudah membuat Reygan terbiasa, bahkan ketika ada orang yang terang-terangan membicarakan dirinya menggunakan bahasa daerah, Reygan sudah mulai sedikit memahaminya.
“Heh, kamu!” Sapa pemuda yang Reygan kenal karena sudah beberapa kali mereka bertemu.
“Emm ... Eko, ya?” Reygan mencoba menimpalinya dengan ramah.
Eko pun berkata sambil pertantang-pertenteng mengangkat dagunya. “Kamu teh, laki-laki apa bukan? Ikut kerja bakti sana, membersihkan jalanan yang kena longsor! Ingin cepet pulang, bukan? Jangan nempel melulu sama perempuan!”