Reygan dan Wulan mencoba menjelaskan apa yang terjadi menimpa mereka. Pak Hendar hanya bisa menggelengkan kepala mendengarnya.
“Ya sudah! Ayo sini, Wulan. Biar bapak yang gendong!” tegas Pak Hendar yang seperti tak rela melihat anak gadisnya digendong oleh pria lain.
“Ah, tidak perlu, Pak. Nanti bapak keberatan,” jawab Reygan sambil terus berjalan mencoba untuk menyeimbangkan tubuhnya.
“Mana mungkin, sudah sini!” jawab Pak Hendar yang tetap tegas seperti sebelumnya. Bagaimanapun juga yang ada di pikiran pria tua itu bukanlah apa-apa, namun Wulan dan Reygan yang belum muhrim dan tidak boleh melakukan hal tersebut.
“Sepertinya bapakku benar. Biar aku sama bapak saja,” jawab Wulan yang mengerti akan kondisinya.
“Tapi ... kasihan bapak,” timpal Reygan. Entah memang ia kasihan pada Pak Hendar yang sudah tua dan dimintai untuk menggendong atau ia yang masih ingin menggendong Wulan. Entah apa yang menjadi alasannya tak mau menyerahkan Wulan.
“Sudah! Ayo, Wulan, turun! Pamali kalau kalian seperti ini apalagi dilihat oleh para warga!” Pak Hendar terus memaksa dan akhirnya Reygan terpaksa membungkuk untuk menurunkan Wulan.
Dengan kaki yang kesakitan, Wulan berjalan dipapah oleh bapaknya.
Reygan menatap gadis dokter yang sedang menunduk dengan pipi yang memerah itu. Ia pun berpura-pura tak peduli lagi dan kemudian berjalan mendahului mereka. Entah kenapa ada perasaan bersalah karena telah menggendong Wulan, apalagi saat melihat bapaknya marah. Ia melihat Wulan benar-benar seperti seorang gadis desa yang sangat dijaga oleh kedua orang tuanya bak gelas kaca yang mudah pecah.
“Itu, mobilnya!” Pak Hendar menunjuk pada sebuah mobil yang baru datang di desa mereka.
Mobil itu merupakan mobil off road yang membawa banyak barang dalam beberapa kardus tertumpuk.
Reygan yang antusias langsung mempercepat jalannya dan menuju ke arah mobil tersebut. Meski hujan kembali turun dengan deras, namun ia sangat bersemangat karena akhirnya ada kendaraan yang bisa mengangkutnya untuk pergi dari tempat terpencil ini.
“Aduh, gawat!” ucap sang sopir yang mengeluh sambil menurunkan barang-barangnya.
“Ada apa, Pak?” tanya Reygan.
Wulan dan Pak Hendar pun juga ada di sana. Gadis itu berpegangan pada siku sang bapak karena kakinya yang masih sakit.
“Ada longsor batu susulan saat saya ke sini tadi. Beruntung saya bisa menghindar dan mengantar ini dengan selamat,” ujarnya sambil memeriksa beberapa bagian di mobilnya barangkali ada kerusakan.
“Oh, mungkin karena hujan besar yang tak kunjung reda,” terka Pak Hendar.
“Benar, mungkin karena itu juga. Jadi ... sekarang bagaimana, bapak bisa kembali lagi?” tanya Wulan sambil melirik pada Reygan. Dia kini bisa membaca kekhawatiran pria itu raut wajahnya saja.
Sopir mobil itu menggeleng. “Saya bisa mengantar sampai ke desa ini dengan selamat saja sudah untung! Mana mungkin saya kembali lagi ke Cirata.”
“Desa Cirata itu ....” Reygan berpikir.
“Desa sebelum ini, desa tersebut adalah sumber dari longsornya. Jalan kemari juga sebenarnya sangat rusak untuk dilalui mobil biasa, tapi kalau mobil off road seperti ini masih bisa,” jelas sang sopir yang menjelaskan kondisinya.
“Kalau begitu, asal kita sudah sampai Desa Cirata, kita bisa pergi ke kota?” tanya Reygan.
Sopir tersebut meletakkan kardus yang ia bawa dan mengusap dagunya sambil berpikir. “Mobil ini memang tadinya sedang diam di Cirata. Aku bukan dari kota,” jawabnya.
“Lalu, bapak dari kota bagaimana? Bahan pangan ini dari mana?” tanya Wulan.
“Ada yang mengantarkan dari kota, tapi mobil mereka juga tidak bisa sampai ke Cirata. Jadi mobil pengangkut tersebut berhenti di dekat jembatan lalu ada beberapa orang mengangkut pakai gerobak untuk sampai ke Cirata. Beruntung jaraknya dekat, sekitar 2 km saja dari jembatan ke arah Desa.”
“Jadi setelah sampai desa Cirata, bahan makanan tersebut sebagian didistribusikan ke sini menggunakan mobil?” tanya Pak Hendar.
Sopir itu pun mengangguk.
“Ya sudah, kita cepat bawa bahan-bahan ini ke pusat desa.” Sopir tersebut pun telah selesai menurunkan barangnya.
Sementara itu, wajah Reygan mendadak lesu dan terlihat tidak baik-baik saja. Sudah dipastikan jika dirinya kini sedang putus asa karena tidak bisa kembali ke kota. “Lalu ... bapak bagaimana? Akan kembali ke Cirata atau bagaimana?”
Sopir itu pun mengerutkan dahinya. “Sepertinya, saya akan menginap di Ciwanoja saja.”
“Oh, Pak Surya punya saudara, kan, di sini?” tanya Pak Hendar pada sopir yang bernama Surya tersebut.
“Iya, gampanglah itu mah.”
Pak Hendar dan Pak Surya pun membawa beberapa kardus, lalu mereka berjalan terlebih dahulu.
“Nak Dirga, tolong bantu Neng jalan ya. Jangan digendong, dipapah aja!” tutur Pak Hendar seakan memberi peringatan. “Kamu mau balik lagi, kan, ke klinik desa?”
Reygan tak menjawab, ia hanya tersenyum sambil mengangguk tipis.
Wulan dapat melihat wajah kekecewaan pria tersebut. “Maaf, kukira ini akan ....”
“Kenapa minta maaf? Ayo, biar aku yang bantu,” tukas Reygan sambil memapah Wulan.
Gadis itu merasakan sesuatu sedang menggetarkan jantungnya. Sebagai seorang dokter, ia sangat peka jika ada yang tidak beres dengan tubuhnya sendiri.
“Kenapa aku berdebar, mungkin karena kakiku yang terkilir sehingga jantungku bekerja lebih cepat dari biasanya,” pikir si dokter cantik yang sedang dipapah oleh Reygan tersebut.
Sementara itu, Reygan sendiri berjalan dengan tatapan kosong. Pikirannya sedang meredam kekecewaan karena ia tak bisa keluar dari tempat ini.
“Aduh, maaf.” Wulan kembali mengaduh kesakitan.
“Kenapa?” Reygan tiba-tiba tersadar dari lamunannya dan kini memperhatikan Wulan.
Dia melihat pergelangan kaki Wulan yang memar. “Ah, aku tidak tahu akan separah ini. Aku ... minta maaf,” ucap Reygan yang merasa bersalah.
Pagi itu ia merasa buruk sekali. Pertama, karena ia gagal untuk bisa pulang. Kedua, karena ia telah melukai dokter cantik ini di saat mereka kesulitan mendapatkan obat-obatan.
“Sepertinya kau tak boleh berjalan,” ucap Reygan lagi.
“Aku masih bisa, kok,” elak Wulan yang bersikeras untuk tetap berdiri dan mencoba melangkah.
“Aduh!” Kali ini teriakannya cukup kencang hingga Pak Hendar dan Pak Surya pun berhenti.
“Kenapa, Neng?” tanya Pak Hendar khawatir.
“Pak, Sepertinya Neng Wulan tak boleh berjalan dulu atau kondisi kakinya semakin parah,” ucap Reygan berkata pada bapak dari sang dokter tersebut.
“Oh, begitu! Biar sini saya gendong!” tukas Pak Surya sambil menurunkan kardus bawaan dari tangannya. “Anak muda, kamu yang bawa kardusnya!”
Reygan langsung terperanjat. Entah kenapa dalam hatinya ia merasa tak terima jika Wulan digendong oleh bandot tua tersebut.
“Ah, tidak, tidak! Saya jalan saja!” Beruntungnya Wulan langsung menolak.
“Biar bapak saja yang gendong kamu, Neng.” Pak Hendar akhirnya menawarkan dirinya sendiri untuk menggendong sang anak semata wayang.
“Nggak usah, Pak, nanti sakit punggung bapak kumat lagi. Wulan beneran baik-baik aja, kok.” Kali ini tiba-tiba Wulan langsung memegang tangan Reygan dan meminta pria itu untuk berjalan lagi.
“Sudah, sama saya saja, Neng,” paksa Pak Surya sambil mendekat.
Namun Wulan semakin merapatkan diri pada Reygan dan mengalihkan pandangannya.
Reygan agak bingung juga, kenapa Wulan mendadak seperti orang ketakutan saat ini
“Biar saya yang memapahnya.” Meski tak mengerti dengan apa yang terjadi, namun pada akhirnya Reygan memapah Wulan sampai ke pusat Desa Ciwanoja.
“Sebentar lagi adzan subuh, nanti kita salat di rumah saja,” tegur Pak Hendar pada Wulan dan Reygan. Keduanya hanya mengangguk mengiyakan ucapan pria tua tersebut.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, cahaya dari rumah warga sudah mulai terlihat. Artinya sebentar lagi mereka sampai.
Pak Hendar dan Pak Surya terlihat cukup kuat membawa masing-masing 3 kardus besar dari tempat yang agak jauh itu. Namun persediaan yang hanya sekian itu, entah akan mencukupi kebutuhan warga selama mereka terisolasi akibat longsor atau tidak. Karena masih belum ada kepastian, sampai kapan jalan akan terbuka, belum lagi risiko longsor dadakan yang tiba-tiba bisa terjadi.
“Aku minta maaf karena telah mengecewakanmu,” ucap Wulan saat mereka sampai di klinik.
Reygan menggeleng. “Tak usah pikirkan itu, lebih baik kita obati saja kakimu yang terkilir.”
“Aku penasaran, kau tidak apa-apa tetap berada di sini sampai sekarang?” tanya Wulan lagi.
“Ya, itung-itung aku membantumu dan lebih mengenal warga desa. Anak-anak di sini juga menyenangkan untuk diajak bermain.” Jawaban Reygan memang bukan yang sebenarnya, namun Reygan hanya mencoba mengambil hikmah dari setiap kejadian yang ia alami.
Wulan pun tersenyum hingga giginya yang rapi itu terlihat. Ia melepas mantel hujannya dan kemudian membetulkan kerudung yang dikenakan. “Terima kasih juga telah memapahku,” ucapnya sambil tersipu.
Di atas rahang tegas itu, terukir senyum. Terlihat menawan dengan binar mata dari seorang pemuda tampan.
Denyut jantung gadis cantik itu semakin tak karuan dan ia pun mencoba untuk mengalihkan pandangan.
“Emmm, aku penasaran tadi ... kau seperti yang ketakutan saat Pak Surya menawarkan bantuan. Apa kau takut dijadikan istri mudanya?” gurau Reygan sambil terkekeh.
“Hissh, amit-amit! Jangan sembarangan berucap, enak saja!” Wulan terlihat sewot mendengar kata-kata Reygan.
“Ya, maaf. Aku Cuma bercanda,” timpal Reygan.
“Pak Surya itu ... memang terkenal mengoleksi istri muda. Di desa ini saja sudah ada dua yang menjadi istrinya, mereka berdua itu gadis yang usianya bahkan lebih muda daripada aku,” jawab Wulan.
Spontan Reygan menganga. “Apa-apaan!”
“Iya, makanya aku takut. Apalagi di desa ini, wanita seusiaku yang belum menikah itu disebut perawan tua. Aku takut Pak Surya memanfaatkan situasi dan merayuku.” Wulan menjelaskan sambil menahan rasa sakit di kakinya.
“Oh, maka dari itu kau mepet padaku dan memeluk tanganku dengan erat untuk menghindar dari Pak Surya sekaligus untuk merayuku?” tanya Reygan yang masih saja sempat untuk menggoda sang dokter.
“Ih, tidak! Jangan terlalu percaya diri kau ya!” Wulan berusaha untuk berdiri dan ia menuju ke kamar mandi klinik.
“Hahah. Mengaku saja, toh aku tidak keberatan.” Reygan menimpali sambil mengikuti langkah Wulan.
“Tidak!” teriak Wulan dengan tegas.
“Aku serius! Kita menikah yuk!” Reygan menimpali lagi sambil terkekeh.
Kali ini Wulan pun menoleh dan menatap pada Reygan.
“Apa?”