Desa tempat Reygan terkucilkan bernama Desa Ciwanoja, di mana desa ini bukanlah desa tujuan kunjungan Reygan. Karena pada saat kejadian longsor terjadi, Reygan berencana untuk datang ke Cirata yang letaknya beberapa kilometer dari desa tempat Wulan berada.
Sebuah mobil mewah berhenti tepat sebelum jembatan Desa Cirata. Tak ada kendaraan yang boleh lewat selama proses pembersihan longsor dilaksanakan. Karena setiap hari hujan dan ditakutkan ada longsor dadakan, maka dari itu diharapkan tak ada kendaraan yang lewat terutama di titik-titik rawan longsor susulan.
Jas bermerek kelas atas, sepatu mengilat yang begitu dijaga agar tak terkena lumpur, juga kacamata dan payung melindungi orang yang keluar dari mobil ini. Tentu saja, dengan segala kemewahan di tubuhnya, bukan dirinya yang memegang payung itu seorang diri, melainkan orang lain yang dipanggil sebagai ‘sekretaris’ olehnya.
“Selamat datang di desa kami, Tuan. Maaf saya tak bisa menjamu Anda dengan layak,” ungkap kepala desa yang berbicara pada tamunya sambil membungkukkan badan. Bahkan ia menembus gerimis tanpa payung demi menyambut tamu konglomerat di depannya ini.
Kemudian pria yang beraroma woody yang mewah menempel lekat di tubuhnya itu melepas kacamata dan menatap sang kepala desa langsung dengan kedua matanya. Dia tersenyum tipis.
“Jadi ... desa ini, tempat saudaraku menghilang?” tanya pria tersebut. Bibirnya merengut menunjukkan kesedihan, tapi tidak dengan matanya.
“Benar Tuan Reyhan, di sini tempat Tuan Reygan menghilang,” jawab sang sekretaris yang berdiri di sampingnya sambil memegang payung.
Pria tersebut tak menunjukkan ekspresinya lagi, dia hanya melirik pada sang sekretaris. Lalu setelah itu keduanya saling mengangguk untuk memberi kode.
Kode itu bukan apa-apa, melainkan Reyhan telah menyewa seorang jurnalis yang akan memotret kedatangannya ke tempat ini secara sembunyi-sembunyi.
“Kedatangan saya kemari bertujuan untuk memberikan bantuan pada warga desa ini. Hal ini saya lakukan guna mengenang adik saya dan berharap di mana pun dia berada, dia diberi ketenangan dan juga kenyamanan.” Reyhan menjabat tangan kepala desa tersebut sambil sedikit menitikkan air mata.
Entah dari mana sumbernya air mata tersebut, yang jelas bulir itu bukanlah bulir kesedihan dari hati terdalam.
“Terima kasih, karena Tuan telah bermurah hati kepada kami. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menemukan Tuan Reygan,” ucap sang kepala desa.
Sang sekretaris pun mendekat. “Kami sudah mendapat gambar yang bagus.”
Reyhan pun mengangguk. “Kalau begitu, kami permisi dulu ya, Pak. Semoga bantuan dari PT Dirgantara ini bisa bermanfaat dan membantu bagi para korban longsor desa Cirata.”
Pak Kepala Desa pun mengangguk sambil membungkukkan badan dalam-dalam. “Terima kasih, Pak. Saya akan mencoba memanfaatkannya dengan baik.”
*
Jika Desa Cirata ramai mendapat bantuan, maka tidak dengan desa yang terisolasi seperti Ciwanoja. Di desa ini tak ada bantuan yang datang karena akses satu-satunya telah tertutup. Semua warga hidup seadanya dan harapan mereka hanyalah tak ada longsor susulan, lalu proses pembersihan jalan segera usai sehingga jalur tersebut dapat digunakan lagi.
Para warga termasuk Reygan, semuanya makan seadanya bahkan mereka hanya mengandalkan sayur yang ada di sekitar mereka.
“Sekarang, kamu mulai suka dengan daun singkong?” tanya Wulan yang menyindir Reygan karena dulu saat pertama kali datang, pria tersebut sangat tak menyukai dedaunan aneh berwarna hijau yang tersaji.
“Emm, ini hanya sebuah insting bertahan hidup. Kalau aku tidak makan ini, aku akan mati kelaparan,” jawab Reygan dengan santai lalu mengunyah makanannya.
Gadis berkerudung itu pun terkekeh melihat Reygan yang seperti itu. “Ya, sebenarnya tidak ada makanan yang tidak disukai oleh manusia. Tapi ... keadaanlah yang membuat seseorang suka atau tidak suka dengan makanan.”
Reygan mengerutkan dahi dan sedikit berpikir. “Masuk akal juga, sebenarnya aku bukan tidak suka dengan daun singkong, tapi karena di rumahku makanan ini tak pernah tersedia. Jadi aku tidak tahu jika daun singkong ini bisa dimakan.”
Lagi-lagi, Wulan pun terkekeh. Ia sampai menutup mulut karena mendengar ucapan Reygan. “Kamu serius benar-benar tidak tahu daun singkong bisa dimakan?”
Reygan mengangguk sambil menyuapkan nasi terakhir di piringnya. “Karena ... kebanyakan yang ada di gambar hanyalah umbinya saja. Tidak dengan daunnya,” jawab Reygan dengan enteng.
“Selain itu, karena kondisinya pada saat itu, kamu memiliki makanan lain yang lebih layak dimakan selain daun ini. Jadi kamu tidak akan memakan daun singkong karena ada makanan lain,” jelas Wulan. “Kalau seperti aku yang di rumah ini tak memiliki makanan lain, ya mau tidak mau, aku tetap memakannya walau sebenarnya ada banyak makan lain kusuka. Hanya saja makanan lain itu tidak ada.”
“Ya, seperti aku sekarang.” Reygan pun menelan makanannya lalu menghabiskan air minum yang ada di gelasnya. “Kalau orang sakit yang dilarang makan ini itu bagaimana?”
“Kalau orang sakit beda lagi. Konteksnya bukan suka atau tidak suka lagi. Tapi ... harus dan tidak boleh. Karena meskipun suka, tapi dia tidak boleh makan. Maka, dia wajib menahan keinginannya. Lalu ... apabila makanan itu harus dimakan, meski dia tidak suka, dia harus memakannya,” jawab gadis dokter tersebut.
“Benar juga ya, seseorang tidak boleh makan manis karena kondisinya sedang diabetes, walau dia suka. Seingatku saat aku kecil, ibuku dulu pernah sangat menyukai putih telur ayam, lalu sekarang dia sama sekali tak mau memakan telur rebus, setelah aku tahu waktu itu dia bukan suka, tapi dia baru saja melakukan operasi usus buntu yang mengharuskan dia makan telur ayam.” Reygan mengangguk membenarkan ucapan Wulan.
Kemudian pria tersebut menumpuk piring kotor dan mengangkatnya.
“Sudah, biar aku saja yang membawa dan membersihkannya ke belakang,” ujar Wulan mengambil alih piring-piring tersebut dari tangan Reygan.
Namun Reygan tetap mengekor dan berjalan ke area belakang rumah untuk mencuci tangan.
“Kamu tahu nggak?” tanya Reygan pada Wulan sambil mencuci tangannya menggunakan air sumur dari timba.
“Apa?”
“Aku sering berpikir, bagaimana kalau aku selamanya terjebak di sini?” gumam Reygan sambil menatap pada langit.
“Kalau begitu seumur hidup kamu akan makan daun singkong,” gurau Wulan begitu saja sambil tertawa.
Reygan mengangguk. “Benar juga dan mungkin aku tidak bisa menjadi penerus perusahaan papaku, lalu aku tidak akan menikahi tunanganku. Beres,” ujar Reygan. Pria itu berdiri dan kembali ke ruang depan.
“Jadi kamu sudah tunangan?” tanya Wulan yang berjalan di belakang Reygan.
“Iya. Dengan cucu dari keluarga Surya Atmadja. Tapi kalau aku terjebak di sini dan setiap hari makan daun singkong, mungkin aku akan menikah denganmu saja.”
“Hah?” Wulan langsung terperanjat mendengar ucapan Reygan. “Enak saja kau samakan dengan daun singkong!”
“Tapi kaumau menikah denganku kalau begitu?”
“Tidak! Kenapa harus memilih aku?”
“Karena seperti daun singkong yang paling mending dan bisa aku makan di antara makanan lain yang ada di sini. Menikah denganmu itu, paling mending daripada aku memilih gadis lain yang ada di desa ini.” Reygan terus mencoba menggoda Wulan dengan candaannya.
“Enak saja, aku tidak akan menikah denganmu.”
“Oh, berarti kau akan menikah dengan Eko ya?” sindir Reygan lagi.
Wulan pun langsung mengangkat bagian ujung bibirnya yang sebelah kanan. “Tidak juga! Aku akan mencari pria lain di luar sana!”
“Kan, ceritanya kita terisolasi. Tidak bisa keluar dari desa ini.” Pria itu menunjukkan seringainya untuk menggoda gadis di hadapannya.
Gadis dokter itu terdiam dan tak menjawab apa pun.
Kemudian Reygan pun berkata lagi. “Tak ada pilihan lain, kau harus menikah denganku kalau begitu.”
“Ya, itu juga kalau kita terisolasi. Tapi, kan, sebentar lagi jalanan untuk desa ini pasti akan terbuka dan kau ... memiliki kesempatan untuk mencari wanita selain dari aku.” Wulan memberikan senyuman di akhir kalimatnya. Senyum tipis dengan mata sayu yang menyiratkan perasaan sedih dalam hatinya.
Reygan yang mendengar itu pun terdiam sejenak, lalu dia pun mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Wulan yang tertutup oleh kerudung tersebut. “Tidak, karena setelah aku kembali ke kota nanti, aku akan tetap makan daun singkong.”