Sembilan

1519 Kata
Kurang lebih pukul dua puluh satu, Mainah sedang duduk di ruang tengah, menikmati acara dangdut kesukaannya yang ada di televisi berlambang ikan terbang. Rutinitasnya setiap malam memang seperti itu, tidak boleh ketinggalan dengan acara yang paling sangat populer di kampungnya dan termasuk acara yang digandrungi kaum Ibu-ibu kebanyakan. Tiba-tiba Prayoga yang masuk ke dalam rumah, hendak menuju ke dapur dan melewati Mainah yang sedang fokus menonton televisi. "Nonton apa to, Bu? Acara kaya gitu aja senengnya! Kaya ndak ada acara lain aja!" selorohnya sambil berlalu. Mainah menengok ke belakang. "Acara bagus ini, Pak! Tuh lihat si Desy peserta asal Karang Anyar suaranya bagus banget nyanyinya. Sayang dia punya banyak keterbatasan, pak! Udah yatim piatu, tinggalnya di panti asuhan! Kasihan Ibu lihatnya." sahutnya, lalu beralih kembali menatap si layar datar. Prayoga menghentikan langkahnya, lalu memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat. "Nonton itu mbok ya berita, itu fakta! Lha kalau kaya gitu, paling-paling juga setingan, biar narik perhatian yang nonton, kaya ibu ini, sampai ikutan nangis ndak jelas. Sudah ikut termakan sama setingan televisi tuh!" cibir Prayoga. Mainah kembali menengok ke belakang. "Eh, setingan-setingan piye to, Pak! Ini itu nyata! Coba Bapak tadi nontonnya dari awal, ndak akan bilang ini setingan!" serunya tidak terima. Namun seketika raut Mainah berubah, melihat wajah sang suami yang menurutnya ada yang aneh. "Bapak! Kok wajahnya pucat gitu to? Bapak sakit?" tanyanya, lalu beranjak dadi duduknya, berjalan menuju sang suami yang masih tertahan berdiri. Prayoga menghembuskan nafasnya yang terlihat berat. "Iya, puyeng dikit, bu. Ini pulang tadinya mau ambil air panas buat angetin badan. Siapa tahu jadi enteng kepalanya setelah minum air hangat!" balasnya, lalu melanjutkan melangkah ke arah dapur. Tak selang lima menit berlalu, Prayoga kembali muncul dengan sebuah cangkir besar di tangannya, melintas di belakang Mainah. "Mau balik ke pos ronda lagi po, Pak?" tanyanya pada Prayoga. "Iya, Bu. Nggak enak to pulang duluan. Wong yang lainnya juga masih pada disana." balas Prayoga. Mainah memutar tubuhnya ke belakang, melongok suaminya. "Ingat usia lho, Pak. Bapak itu sudah tidak muda lagi. Nggak bagus banyak begadang kaya gini. Nanti tekanan darahnya naik lagi. Mending sudah nggak usah balik ke pos ronda, istirahat saja!" Prayoga yang masih dipertengahan jalan hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba berhenti. Iapun memutar tubuhnya hingga seratus delapan puluh derajat, menghadap ke arah mainah. "Bu, ndak usah cerewet. Bapak ini biarpun sudah tua, tapi masih sehat, masih kuat. Lha wong kalau di suruh nyangkul di sawah juga Bapak ini masih kuat kok!" sanggah Prayoga. Prayoga mendadak terdiam. Pandangannya datar seperti sedang merasakan sesuatu. "Pak? Kok diam? Kenapa?" tanya Mainah yang mendapati suaminya bertingkah aneh. Mainah bangkit, berinisiatif untuk mendekati suaminya. Namun belum juga Mainah sampai ke dekat Prayoga, tiba-tiba tangan kanan Prayoga bergerak memegangi d**a sebelah kirinya. Cangkir besar di genggakannya jatuh seketika. Tak perlu menunggu waktu lama, Prayoga juga menyusul ambruk, tubuhnya terkulai ke atas lantai. "Ya Allah, astaghfirullah, Bapak!" seru Mainah sambil berlari. Ia tekuk lututnya bersedekung di lantai. "Bapak! Pak! Pak bangun!" panggil Mainah. Wanita yang sudah berusia enam puluh lima tahun itu terlihat panik, mendapati suaminya tiba-tiba terjatuh dan tidak sadarkan diri. Mainah menepuk-nepuk pipi sang suami, namun tidak ada reaksi juga. Mainah makin panik. "Yud! Yudha! Sini, nak!" teriaknya kencang. "Ini Bapakmu kenapa, Yud! Nggak mau bangun!" teriaknya dari tengah ruangan. Yudha yang sedang fokus dengan pekerjaan lembur yang ia bawa pulang ke rumah mendadak panik mendengar teriakan sang Ibu. Yudha berlari keluar menuju suara sang Ibu. "Astaghfirullah! Bapak!" teriaknya, makin gamang, melihat sang Ayah sudah terkapar di atas lantai. "Ini Bapak kenapa, bu?" "Bapak tiba-tiba jatuh terus nggak sadar gini, Yud! Gimana ini! Ya Allah, Gusti!" Mainah makin panik. Yudha mencoba memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan sang Ayah, dan masih berdetak meskipun terasa sangat lemah. "Ibu tenang ya! Kita bawa Bapak ke rumah sakit sekarang!" seru Yudha. "Iya, Yud!" Dengan susah payah, Yudha dan Mainah menggotong Prayoga hingga ke mobil. Dengan kecepatan tinggi, Yudha segera memacu mobilnya menuju rumah sakit umum terdekat. *** Larasita, yang sedari tadi mencoba memejamkan matanya, namun tak kunjung berhasil juga. Entah kenapa malam ini Sita merasakan resah yang tak biasa. Hatinya selalu deg-degan dengan tiba-tiba. "Ini kenapa sih mata nggak mau merem! Padahal aku merasa kalau capek banget! Malah dari tadi cuma ketap-ketip nggak jelas gini! Huuff!" gerutunya yang kesal pada dirinya sendiri. Sita bangkit dari tidurnya, menurunkan kakinya ke bawah karus. Ia pandangi jam dinding yang terpasang dibatas pintu masuk kamarnya. Jam menunjukkan pukul dua puluh satu lebih tiga puluh lima menit. "Kei udah tidur belum ya?" lirihnya. Sita beranjak hendak keluar dari kamar, maksud hati ingin melihat sang putri yang ada di kamarnya. Baru saja tangan kanannya memegangi handle pintu, tiba-tiba suara getar ponselnya terdengar jelas di telinganya. Sita menoleh ke belakang, bibirnya mengerucut. "Siapa yang malam-malam gini telfon?" lirihnya. Sita mengurungkan niatnya, ia kembali ke belakang memeriksa ponselnya. "Mas Yudha?" lirihnya, mengetahui di layar ponselnya jelas tertera nama Yudha memanggilnya. Dengan cepat Sita segera menyambar ponsel yang ia letakkan di atas nakas tersebut. "Assapamualaikum. Hallo, mas! Kenapa?" "Waalaikumsalam, Ta, kamu ke rumah sakit ya, Bapak tadi mendadak pingsan!" ucapnya dengan nada memburu. Mendengar pernyataan sang Kakak, sontak membuat Sita membisu seketika. Antara kaget dan tidak percaya. "Bapak di bawa ke rumah sakit, mas? Bapak kenapa?" serunya mulai panik. "Tadi kata Ibu tiba-tiba pingsan. Ini lagi di periksa sama dokternya! Udah sekarang kamu kesini ya, tenangin Ibu. Siapa tahu kalau kamu yang nenangin bisa. Mas tadi udah coba buat nenangin Ibu tapi kayanya nggak bisa! Ibu masih nangis terus!" tutur Yudha yang juga terdengar sedikit panik. "Iya, mas! Aku segera kesana ya. Tunggu ya mas! Kalau ada kabar penting lagi, kasih tahu segera ya, Mas!" "Iya, Ta. Kamu hati-hati di jalan ya. Bawa motornya pelan-pelan aja! Yang penting sampai rumah sakit dengan aman." "Iya, Mas. Assalamualaikum.' " Waalaikumsalam." Sita segera memasukkan ponselnya ke dalam saku piyamanya, berjalan cepat ke lantai satu. Mengambil helm dan kunci yang tergantung di tempat penyimpanan. Sita segera mengeluarkan sepeda motornya yang ada di dalam garasi. "Bapak, ya Allah! Kenapa bisa pingsan! Ya Allah, lindungi Bapak! Aku nggak mau terjadi sesuatu sama Bapak! Aku belum bisa membuat Bapak bangga. Aku sama sekali belum bisa membahagiakannya." kecamuknya dalam hati. Sita membawa sepeda motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggu. Ia hiraukan pesan sang Kakak agar tidak terburu-buru. Pikiran Sita sudah tidak bisa diajak kompromi. Yang ada diisi kepalanya hanyalah, ingin segera sampai ke rumah sakit dan mengetahui kondisi sang Ayah. *** "Malam-malam, makan angkringan di pinggir jalan kaya gini, jadi ngingetin Papa dulu waktu kuliah di sini, Ky." ucap Rafly yang tengah duduk di trotoar beralaskan tikar, menikmati hangatnya segelas wedang jahe, beserta nasi bungkus kecil dilengkapi dengan sate telur dan keong yang rasanya tak bisa ia temukan di pulau Borneo sana. Rafly dan Zaky tengah berada di sebuah angkringan legendaris yang sejak puluhan tahun yang lalu sudah berdiri. Semenjak Rafly menempuh pendidikannya di kota Jogja, angkringan tersebut sudah ada. "Zaky sama teman-teman juga sering makan disini, pa. Suasananya enak, di pinggir jalan, bisa lihat pemandangan kendaraan yang lalu lalang gini. Terus bersih juga kan tempatnya. Nyaman aja lama-lama nongkrong disini." timpal sang anak. "Bener banget! Ini Papa rasanya kok jadi nggak pengen pulang ya, Ky. Betah disini, he he he." "Papa yakin nggak pengen pulang? Udah siap mental dong di amuk sama Mama! Ha ha ha!" ledek Zaky seraya terbahak-bahak. Rafly menggaruk pipinya. "Nah itu dia masalahnya, Ky. Tahu sendiri kan, kalau Mama udah ngamuk, habis dah semuanya!" Hu hu hu!" Rafly dan Zaky saling memandang, selang berapa detik mereka berduapun terlihat tertawa bersama. "Tapi yang bikin semangat itu sebenarnya bisa lihatin ciwi-ciwi lalu lalang motoran di depan sini sih, Pa. He he he." imbuh Zaky diikuti gelak tawa nakalnya. "Wuuu, dasar kamu ya! Laki-lakikl kalau sudah lihat yang bening-bening, lupa sama yang ada di sampingnya! Awas, Papa bilangin ke Keinara lho nanti. Ha ha ha!" balas Rafly. "Halah, Papa bisa aja. Tahu nomer Keinara juga nggak kan? Sok-sokan mau ngadu! Heleh!" Keduanya tertawa kembali. Saling mencela satu sama lain. Kota Jogja memang selalu punya tempat tersendiri bagi yang pernah menyinggahinya. Jangan salah, ketika kita sudah nyaman berada di Jogja, kembali pulang ke tanah asalpun kadang enggan, he he he. Rafly tengah meneguk wedang jahe yang mulai terasa dingin di cangkirnya, selintas netranya sambil memandang ke arah jalanan. Tiba-tiba melintas seorang perempuan dengan membawa sepeda motor matic di depan matanya. Dengan kaca helm yang terbuka, tentu saja Rafly bisa melihat dengan jelas wajah si perempuan itu. Sontak, matanya terperanjat, cangkir di tangan mendadak jatuh. "Astaga, Papa!" teriak Zaky. Rafly segera tersadar. "Ya Tuhan, aduh tumpah minumannya, Ky." serunya seraya mengelap celana bagian atas mata kaki yang terkena tumpahannya. Untung saja cangkir tidak pecah karena tertahan tikar yang lumayan tebal di bawahnya. "Papa kenapa? Papa nggak apa-apa kan?" seru Zaky nampak khawatir. "Nggak apa-apa, Ky! Papa cuma kaget aja tadi! Aduh, jadi berantakan gini ya. Haisshh!" "Bentar pa, Zaky minta lap dulu buar bersihin ini!" Zakypun beranjak. Dada Rafly masih terasa bergemuruh, penglihatannya mendadak mendapati sosok Sita pada seorang wanita yang sekilas melintas di depannya tadi. Iya, Sita. Wanita yang dia tinggalkan tanpa kabar. Wanita yang saat itu harus menanggung sendiri beban dosa yang harusnya mereka tanggung bersama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN