Sepuluh

1519 Kata
"Apa benar itu tadi Sita? Itu berarti, dia masih ada di Jogja. Ya Tuhan, kenapa tiba-tiba hati ini menjadi semakin tidak tenang?" gemuruh Rafly yang tengah memegang kendali mobil. Rafly dan Zaky menuju perjalanan kembali ke kontrakan. Perasaan Rafly kini benar-benar kacau, dimulai dari cerita Zaky tempo hari yang membuatnya mulai kepikiran lagi dengan Sita, lalu ditambah malam ini ia seperti sekilas melihat sosok Sita di depan matanya sendiri. "Pa! Papa kenapa sih? Zaky perhatiin dari tadi ngelamun terus deh! Mikirin apa sih? Fokus nyetirnya, pa!" celetuk Zaky yang merasa bahwa sang Papa terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Owh, nggak, Ky. Papa lagi kepikiran aja sama proyek yang ada di Balikpapan. Tadi itu asisten Papa kasih kabar kalau ada yang ingin mengambil alih secara paksa proyek yang udah perusahaan Papa tangani. Biasa lah, namanya dunia bisnis kaya gitu. Saling sikut-menyikut demi isi perut, hehe." timpal Rafly berbohong. Terpaksa dia mengarang cerita supaya Zaky tidak curiga. "Haduh, gitu amat ya, pa! Nyari uang itu nggak sekedar mentang-mentang udah jadi bos, jadi atasan, jadi direktur terus bisa duduk anteng gitu. Buktinya, Papa masih harus ikutan mikir keras gitu kan? Hehehe." timpal Zaky seraya geleng-geleng kepala. "Iya, makanya kamu kuliah yang benar! Kamu lihat kan perjuangan Papa buat nyari uang kaya gimana? Papa bela- elain sampai kemana-mana cuka biar keluarga Papa bisa hiduo dengan layak dan sempurna. Jangan sampai perjuangan Papa ini nanti nggak ada artinya." ujar Rafly memberikan alarm pengingat untuk Zaky. "He he he! Iya, pa. Zaky kan nggak macam-macam juga. Selama ini Zaky selalu berusaha buat dapatin nilai yang bagus. Nggak pernah bolos kuliah. Zaky pengen lulus tepat waktu, Pa. Ya, molor-molornya paling satu semester aja." tutur Zaky dengan wajah serius. "Iya bagus itu, Ky! Itu baru namanya anak Papa! Nanti kamu bisa langsung kerja di perusahaan Papa. Belajar dikit-dikit buat pemanasan. Nanti lama-lama juga bisa sendiri." "Kerja di perusahaan Papa?" "Ya iya lah.Emang kamu mau kemana lagi? Tinggal nerusin aja apa yang sudah Papa bangun. Siapa tahu kalau nanti kamu masuk, perusahaan bisa lebih berkembang dan makin besar juga. Iya kan?" Zaky menggaruk kepalanya kembali. "Kalau lihat Papa seperti ini sih, hemmm, Zaky nggak mau ah, kerja di perusahaan Papa. Zaky nggak mau jadi pengusaha! Hehehe." celetuk Zaky, mengimbangi obrolan santainya dengan sang Papa. Bibir Rafly mengerucut. "Nggak mau jadi pengusaha? Kamu kan tinggal nerusin aja usaha Papa. Emangnya kamu mau jadi apa coba?" sahutnya, masih fokus menatap ke jalan. "Zaky mau jadi ASN aja lah! Biar nggak terlalu mikir keras, hehehe. Kan tinggal pagi datang ke kantor, terus sorenya pulang. Yaaa, mikirnya juga nggak perlu yang terlalu berat-berat, kaya mikirin tender sana sini kaya Papa gini, hehehe!" jelas Zaky polos. "Hahaha, dasar kamu ya! Tapi apapun keputusan kamu nanti, mau kerja apa, mau jadi apa, itu mutlak hak kamu. Papa sama Mama cuma bisa dukung sama ngasih arahan-arahan dikit lah, supaya kamu nggak salah jalan aja. It's OK, son!" timpal Rafly. "Nah, kaya gini nih yang Zaky demen! Orang tua tidak harus memaksakan kehendak mereka terhadap anak. Anak bisa menginterpretasikan kemauan mereka sendiri, sesuai keinginan hati." "Iya dong! Kita sebagai orang tua nggak boleh egois memikirkan apa yang menjadi keinginan para anak-anak kita!" timpal Rafly. Keduanya terlihat selintas saling menatap satu sama lain. Terlihat sekali hubungan kedekatan antara Ayah dan anak itu memang mendalam. Sesampainya di kontrakan Rafly dan Zaky segera turun dari mobil. Berjalan beriringan sambil masih bercerita yang membuat keduanya berkelakar. Baru saja Zaky membuka pintu kamarnya, terdengar dering panggilan yang berasal dari ponsel sang papa, Rafly. "Eh, Mama telfon!" seru Rafly. Zaky yang tengah membuka kunci pintupun sontak menengok! "Tuh udah dicariin sama pawangnya Papa, ha ha ha!" ledeknya sambil tertawa mengejek. "Pawang? Ha ha ha, dikira kuda lumping kali, Ky ada pawangnya!" Raflypun ikut tertawa. Zaky langsung masuk ke dalam kamar, sementara Rafly memilih tinggal di teras dan duduk di bangku dekat pintu masuk kamar. "Iya, ma! Ini Papa udah di kontrakan Zaky, baru abis cari makan malam. Mama udah makan belum?" tanyanya pada istri tercinta, Sukma. "Udah, pa! Eh, Papa jangan lupa lho ya, beliin oleh-oleh yang Mama minta kemarin! Ada Bakpia, gudeg, sama kain batik juga. Udah dibeli semua kan?" sambut Sukma dari pulau seberang sana. "Sudah juragan! Semua pesanan Mama nggak ada yang kelewat! Nanti kalau kurang, Papa belain balik ke Jogja lagi dah, buat istri tersayang!" timpal Rafly, yang selalu jenaka bila sudah berhadapan dengan istri bawelnya tersebut. "Ha ha ha, iya-iya, pa. Ya udah kalau pesanan Mama udah dapat semua, cuma mau mastiin aja sih! Takut kelupaan, Papanya!" "Hemmmm, Mama telfon suami kirain mah kangen berat, ternyata cuma modus aja! Hadeeuuhh!" protes Rafly. "He he he, ya kangen juga lah pa, pastinya! Kangen di bawain oleh-olehnya maksudnya, he he he." timpal Sukma seraya terus terkekeh. Raflypun terlihat terkekeh juga. Zaky yang ada di dalam kamar, mendengar kedua orang tuanya seperti sedang beradu argumen yang di akhiri dengan saling tertawa, membuatnya ikut mengurai tawa juga. "Semoga Papa dan Mama panjang umur, sehat selalu ya Tuhan. Aku ingin mereka melihatku sukses, aku ingin mereka bangga kepadaku kelak!" batin Zaky. *** Sita sampai di rumah sakit. Terlihat berjalan sambil berlari menuju ruangan dimana sang Ayah kini di rawat. "Ibu!" seru Sita yang mendapati sang Ibu tengah duduk di bangku tunggu di luar ruangan ICU. Sita segera mendekati Ibunya, langsung memeluknya erat. "Ibu yang tenang ya, Bapak pasti baik-baik aja, nggak akan kenapa-kenapa." tuturnya menenangkan sang Ibu, seraya mengelus punggungnya. "Iya, Ta! Ibu takut aja Bapak_" Belum sampai selesai berucap, Sita sudah dulu memotong kata-kata sang Ibu. "Sstttt! Ibu jangan berpikiran macam-macam! Doakan aja yang terbaik buat Bapak. Sekarang yang paling penting buat Bapak adalah doa dari kita." Sita mlelepaskan pelukannya, lalu menolehkan pandangannya ke arah sang Kakak, Yudha. Yudha tahu Sita ingin menanyakan keadaan sang Ayah. Dengan sigap ia memberikan kode dengan mengarahkan pandangannya ke arah luar. Memberi kode pada Sita untuk membicarakan masalah kesehatan sang Ayah di luar. Yudha tidak mau sang Ibu mendengar sesuatu hal yang akan mempengaruhi pikirannya, mengingat usia Mainah sudah cukup tua. Sita paham dengan maksud Yudha, ia mengangguk pelan. "Bu, Sita sama Mas Yudha keluar sebentar ya, mau beli sesuatu dulu. Ibu disini dulu sendiri nggak apa-apa kan?" Mainah mengangguk. "Iya, Ta, nggak apa-apa! Tapi jangan lama-lama ya!" "Iya bu!" Sita dan Yudha berjalan menjauh dari ruangan. Sita dan Yudha duduk di dekat ruang informasi, memilih tempat yang agak jauh supaya sang Ibu tidak mendengar percakapan mereka. "Mas, gimana Bapak? Kenapa bisa sampai kaya gini sih?" tanya Sita yang tidak sabar, memegangi lengan sang Kakak Yudha menghela nafas yang terlihat begitu berat. Kemudian ia tatap adiknya. "Ada kemungkinan Bapak kena serangan jantung, Ta! Tapi dokter masih mengobservasinya." Mulut Sita melebar, terkejut, tidak percaya. "Serangan jantung? Ya Allah!" rintih Sita. Seolah tidak percaya dengan keadaan yang sedang Ayahnya lawan saat ini. "Sejak kapan Bapak punya riwayat penyakit jantung sih, Mas? Ibu nggak pernah cerita, Mas Yudha juga nggak pernah cerita!" "Mas juga nggak tahu, tapi kata Ibu beberapa hari terakhir memang tekanan darah Bapak tinggi terus, mungkin itu salah satu pemicu terjadinya serangan jantung ini." Sita menarik tangannya dari lengan Yudha, bergerak untuk menutupi wajahnya. Ada sebuah penyesalan yang menancap jelas di benaknya. Sira takut sang Ayah kenapa-napa, sementara sampai saat ini dia sendiri belum bisa memperbaiki hubungannya dengan sang Ayah. Zaky memegang pundak Sita. "Kamu tadi bilang sama Ibu supaya nggak khawatir, tapi kamu sendiri malah nangis kaya gini!" "Sita takut, Mas. Bapak kenapa-kenapa dan Sita sama sekali belum bisa membalas semua jasa Bapak. Sita takut jadi anak durhaka, Mas!" timpal Sita. Bibirnya sudah bergoyang ingin mengeluarkan tangisnya. "Kamu nggak usah mikir kemana-mana. Bapak akan baik-baik aja. Mas akan mencari dokter terbaik buat Bapak. Kita doain aja Bapak supaya Bapak kuat. Ya?" "Iya, Mas!" Kedua kakak beradik inipun saking berpelukan. Menguatkan satu sama lain. Walaupun sebenarnya Yudha juga sangat khawatir dengan keadaan sang Ayah, namun rasanya tidak perlu ia tunjukkan di depan Ibu dan adiknya. Siapa nanti yang akan menguatkan jika semuanya merasa terpuruk bersamaan. *** Pagi harinya Pukul 09.00 Bandara Internasional Yogyakarta "Kamu baik-baik belajarnya ya, Ky. Jalan masih sangat panjang. Jangan kecewain Papa sama Mama yang udah jauh-jauh kirim kamu ke kota orang. Papa sama Mama pengen lihat kamu jadi orang yang berhasil nantinya!" ucap Rafly memberikan wejangan pada sang anak. Zaky sedang berada di bandara Internasional Yogyakarta, mengantarkan sang Papa yang akan bertolak kembali ke pulau seberang. "Siap, pa. Papa hati-hati ya. Kasih kabar kalau udah sampai." "Iya, Ky! Papa titip salam juga ya, buat pacar kamu, Keinara. Sayang banget, Papa belum sempat ketemu langsung sama dia. Jaga dia baik-baik, dan ingat satu hal!" Zaky menatap mata sang Papa lekat-lekat. "Pacaran boleh, tapi jangan sampai lakukan hal-hal yang melanggar norma-norma apapun. Tujuan utama kamu disini untuk menimba ilmu. Jangan sampai nanti ada penyesalan kalau kalian tidak bisa mengontrol pacaran kalian. Kalian sudah dewasa, paham kan apa yang Papa maksud?" tutur Rafly, memberikan wejangan pada sang anak, karena dia tidak mau kejadian di masa lalunya juga terulang pada buah hatinya. Zaky tersenyum sambil mengangguk. "Iya, pa, paham! Zaky akan selalu ingat kata-kata Papa ini." "OK! Papa masuk ya, bentar lagi waktunya cek in." Keduanya terlihat berpelukan beberapa detik, hingga akhirnya Rafly masuk ke dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN