Bab 15. Undangan Makan Malam

1244 Kata
Sudah beberapa hari ini Izza pergi meninggalkan Briona bersama kedua adiknya, Kinta dan Kana. Dan selama beberapa hari ini juga kepalanya ingin pecah karena harus menghadapi Kinta yang pelawan. Belum lagi kedua adiknya itu sangat manja dan tak terbiasa untuk membersihkan rumah, membuat Briona semakin penat hati dan tubuhnya saat pulang kerja. Briona menatap handphonenya sesaat lalu melemparkannya ke sisinya. Pagi ini seharusnya ia telah bersiap-siap untuk berangkat kerja, tapi ia merasa sangat malas karena sudah terbayang bahwa pagi ini mulutnya akan ngomel memarahi kinta yang selalu memintanya membuatkan sarapan dan tak ingin membereskannya. Apalagi kedua adiknya ini mendadak berhenti sekolah karena sudah dua bulan ini mereka mengikuti Ida untuk bersembunyi dari orang-orang yang mencari Agam. Tetapi yang membuat Briona gelisah adalah ia belum mendapatkan kabar dari Izza. Biasanya jika tak bisa menelpon Izza akan selalu mengirimkan pesan padanya. Tetapi Briona terlalu gengsi untuk menyapa suaminya duluan. Ia mencoba menjaga hatinya agar tak terlalu menyukai suaminya. Ia takut jatuh hati. “Ck! Ayo bangun Bri! Lebih baik kamu fokus sama masa depan kamu. Jangan banyak berharap dari suamimu!” gumam Briona sambil memejamkan matanya kuat-kuat mencoba memotivasi dirinya sendiri agar tak teralihkan perhatiannya. “Mbakkk…. Aku laparrr….” teriakan Kinta membuat Briona mendelikan matanya lalu bangkit dan keluar dari kamar untuk menemui si kembar. “Kalau lapar kan kamu bisa masak sendiri? Mbak udah siapkan banyak makanan instan dan kaleng di lemari supaya kalian gak kelaparan,” ucap Briona tengah tak ingin bertengkar dan terpancing emosi dengan sikap Kinta. “Duh bosen! Aku ingin sarapan yang lain. Bubur oats kek, salad kek. Instan terus, nanti bodoh!” jawab Kinta sambil merengut. Briona hanya diam dan segera membuatkan sarapan untuk kedua adiknya. Bukannya ia tak ingin membelikan makanan yang lebih sehat untuk kedua adiknya, tapi uangnya tengah terbatas. “Nanti pulang kerja, mbak akan mampir ke pasar, besok mbak buatkan makanan untuk kalian.” “Emang mbak Bri bisa masak? Ntar gak enak gak kemakan loh!” Briona hampir saja mengeluarkan tanduknya karena tak tahan mendengar komentar Kinta yang seolah ingin mengajaknya berdebat setiap saat. Tetapi Kana segera menahannya. “Mbak Bri belanja aja, biar Kana yang masak. Aku suka masak mbak, nanti biar aku yang masak buat kita semua.” Briona menoleh ke arah adiknya itu dan mengangguk perlahan. Kana berbeda dengan Kinta, tetapi ia terlalu pendiam dan kadang tak peduli. Setelah mengurus kedua adiknya, Briona segera berangkat ke kantor. Ia sengaja memaksa bibirnya untuk tersenyum agar semua beban yang ada dihatinya terpancar di wajahnya. Ia hanya ingin orang-orang melihatnya bahagia. Mereka tak perlu tahu apa yang Briona rasa. Tak ada Izza, membuat kehadiran Gerry menjadi penghibur hati Briona. Pria itu selalu menjemputnya saat makan siang untuk makan bersama dan mengantarnya pulang agar bisa memiliki waktu yang berkualitas dengan Briona. Seperti siang ini, ia tampak bahagia ketika bertemu Briona. “Bri, apa kamu bisa meluangkan waktu besok malam?” tanya Gerry dengan wajah sumringah. “Ada apa?” “Mama papa mau ketemu sama kamu. Aku mengajak mereka makan malam dengan calon menantu mereka dan mereka setuju, lagi pula sudah lama mereka tak bertemu denganmu. Kita harus mulai dari saat ini untuk mendekatkan diri dengan kedua orang tuaku, Bri.” Briona terdiam sesaat lalu berkata, “Mas, aku takut … bagaimana kalau mereka tahu bahwa aku sudah menikah?” “Tenang saja, mereka tak akan mengetahuinya. Aku yang akan mengurus semuanya. Tugasmu hanya lah berdandan cantik dan membuat orang tuaku semakin mendekat padamu. Aku harus melakukannya dari sekarang, Bri. Kita tak punya banyak waktu.” Briona hanya diam dan menatap Gerry yang tengah mencoba meyakinnya bahwa hubungan mereka bisa memiliki masa depan. *** Briona tampak cantik malam itu, ia sengaja berdandan agar terlihat lebih menarik. Malam ini adalah malam dimana keluarga Gerry akan mengajaknya makan malam bersama. Bahkan Gerry sampai memberikannya pakaian, agar terlihat pantas dan elegan saat makan malam nanti. Setelah cukup puas menatap dirinya sendiri, Briona segera mengambil sepasang sepatu haknya dan memakainya. Disaat yang sama Kinta keluar dari kamar tidurnya dan merasa heran melihat Briona berdandan rapi. “Mau kemana mbak?” “Ada undangan makan malam,” jawab Briona acuh sambil merapikan sepatu lalu pakaiannya. “Sama siapa?” tanya Kinta penasaran melihat Briona yang tampak sangat cantik dan elegan. Ia menyadari bahwa sepertinya sang kakak bukan hanya makan malam biasa. “Memangnya mas Izza udah pulang ya?” tanya Kinta lagi mencari tahu. “Ck, bukan sama mas Izza, sudah ya … mbak pergi dulu. Mungkin mbak akan pulang lebih malam jadi kunci depan mbak bawa biar gak mengganggu kalian,” pamit Briona cepat dan berjalan menuju halaman dimana taksi online telah datang untuk menjemputnya. “Bilangin mas Izza loh!” teriakan Kinta didepan pintu membuat Briona mendengus kesal dan sedikit gugup. Teriakan itu seolah membuat Briona merasa bersalah dan seperti orang yang hendak pergi berselingkuh. “Kamu gak selingkuh Bri! Dari awal mas Gerry memang kekasih kamu. Pernikahanku dengan Izza hanyalah sementara,” gumam Briona mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Malam ini ia memang harus berangkat sendiri, karena Gerry akan hadir bersama kedua orang tuanya. Gerry bilang nanti mereka semua akan pulang bersama agar bisa lebih akrab. Dengan ragu dan sedikit gugup Briona melangkah memasuki restoran fine dining dan menyebutkan nama Gerry. Seorang pelayan segera mengantarkan Briona ke meja yang telah direservasi oleh Gerry. Ia pun segera mengirimkan pesan pada kekasihnya kalau ia sudah tiba. “Tunggu ya sayang, restoran itu tak jauh dari kediamanku … kami sudah berangkat.” Membaca pesan Gerry, Briona pun mengatur nafasnya lalu berdoa, semoga ia diberikan kelancaran dalam hubungannya jika ia memang akan berjodoh dengan Gerry. Sedangkan ditempat lain, Gerry tampak gelisah karena ia tengah berkendara dengan kedua orang tuanya dan menggunakan supir keluarga. “Pak Rus, sepertinya bapak salah jalan, ke restoran itu gak lewat sini! Putar balik, pak!” suruh Gerry dengan nada sedikit meninggi karena terjebak jalanan jakarta yang macet di jumat malam. “Loh, bener kok mas jalannya … kita ke Restoran Sinar Rembulan kan? Ini tinggal belok kanan langsung masuk tempat parkir. “Sinar Rembulan?! Bukan pak Rus, kita ke restoran steak Amadeus! Kok jadi Sinar Rembulan?!” gerutu Gerry kesal. “Mama yang suruh pak Rus untuk membawa kita semua ke restoran Sinar Rembulan. Kita akan ketemu calon menantu mama disana…” “Ma, Briona sudah menunggu di Amadeus! Jika harus pindah tempat akan repot untuknya…” Ucapan Gerry terhenti karena mobil mereka sudah memasuki restoran dan segera berhenti di lobby. Pintu mobil mewah itu segera terbuka otomatis, Gerry menahan tangan sang ibu sebelum ibunya turun dari mobil. “Mama mau ketemu calon menantu mama disini, kemarin kamu yang bilang kan kalau kamu ngajakin mama papa untuk ketemu calon istri dan menantu kami. Tuh dia orangnya, ayo cepat turun kasihan keluarga pak Faisal telah menunggu lama,” ucap sang ibu acuh dan segera turun dari mobil lalu terlihat beberapa orang menyambut mereka. Gerry sempat terdiam dan merasa marah, karena ternyata orang tuanya memiliki rencana lain. Ia segera turun dari mobil dan hendak meninggalkan halaman tetapi sang ayah menahan langkahnya. “Kami tidak bisa menerima Briona, Gerry. Kamu pikir, Papa gak tahu apa yang terjadi dengan keluarganya. Melihat rumahnya saja disita, tentu mereka tengah bermasalah. Temui saja dulu anak perempuan pak Faisal ini, jangan pergi. Kamu tahu kan kalau ibumu marah, ia bisa mengganggu siapa saja, termasuk Briona. “ Gerry berdiri mematung dan hanya bisa meremas jemari tangannya penuh rasa kesal. Kemarahann hampir meledak membayangkan Briona tengah duduk sendiri menunggu mereka tetapi mereka tidak akan pernah sampai. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN