Bab 14. Ujian Hati Briona

1651 Kata
“Kamu lagi digosipin anak-anak dibawah!” ucap Andrew partner kerja Izza saat memasuki ruang kantor mereka. Izza hanya mendelik perlahan tak bersemangat. Ia mencoba untuk berkonsentrasi kerja saat ini, dan melupakan masalah pribadinya dengan Briona. Sudah seminggu istrinya itu tak mau berbicara dengannya karena Izza tak mau resign dari pekerjaannya. “Gosip apa?” tanya Izza malas. “Mereka bilang ada perempuan yang mengaku-ngaku menjadi istrimu,” jawab Andrew santai sambil duduk di kursinya untuk kembali bekerja. “Itu bukan gosip, itu benar.” Andrew hampir menyemburkan air minum yang tengah ia teguk ketika mendengar ucapan Izza. “Kamu sudah menikah dengan Liliana?! Kapan?! Kenapa aku tak mendapatkan undangannya?!” “Bukan Liliana, namanya Briona, dia anak pak Agam.” “Kamu gila, Za!” “Terserah kamu mau bilang apa, tapi aku harus mengikatnya agar ia bisa memberikan semua file yang aku butuhkan! Laki-laki itu seperti ular, tetapi ia tak bisa membiarkan anak perempuan sulungnya tersakiti. Ia akan melakukan apa saja untuk Briona. Rasa bersalah pak Agam pada anaknya yang membuatku yakin ia tak akan kemana-mana,” ucap Izza santai sambil melemparkan pulpen keatas meja. Kali ini ia membuka sedikit rahasianya pada Andrew karena Andrew sangat tahu apa yang terjadi dan rencana Izza. Selain menjadi sahabatnya, Andrew juga selalu memback- up pekerjaan Izza ketika Izza butuh mencari informasi dan lain sebagainya. “Bagaimana dengan Liliana? Jika ia tahu, tak hanya dirinya yang marah tetapi orangtuanya juga. Bisa saja mereka memutuskan hubungan dengan perusahaan holding ayahmu.” “Biarkan saja! Malah bagus! Aku sudah muak diperalat keluargaku sendiri!” “Terserah kamu, lah! Dendammu itu tak akan membawamu kemana-mana, jika kamu bisa membakar mereka, kamu pun akan ikut terbakar jadi abu! Kamu pikir aku gak repot karena harus menyembunyikan hal ini dari Liliana bukan? Apa aku bisa cerita kalau kamu sudah menikah pada kekasihmu itu?” ucap Andrew sedikit mengejek ingin mengganggu sahabatnya. Izza hanya diam mendengarkan sahabatnya menasehati dirinya. Hanya ia yang tahu bagaimana rasanya tak dianggap dalam keluarganya sendiri. Terpaksa ada karena masih menguntungkan saja, tidak lebih. Tapi masalah Izza saat ini, tak hanya Briona yang masih ngambek padanya. Ada masalah lain yang lebih besar. Agam sudah mulai pulih, jika ia sembuh nanti pria itu akan masuk penjara karena kasus penipuan dan penggelapan uang. Tak hanya di Indonesia tapi ia juga melakukannya di Malaysia dan Singapura. Tak akan mudah untuknya bisa kembali ke Indonesia. Seminggu yang lalu, Ida– ibu sambung Briona menghubungi Izza memohon bantuannya untuk mengirimkan tim pengacara untuk Agam dengan timbal balik ia akan segera menyerahkan file yang merupakan bukti transaksi money laundry Marcella dan Agam selama ini. Tak hanya itu, kondisi Ida dan kedua anak mereka yang tak menentu dan tengah bersembunyi juga menjadi masalah. Ida ingin menitipkan kedua anaknya pada Izza dan Briona selama dirinya menemani Agam di luar negeri. Sudah terbayang bagaimana reaksi Briona nanti, tetapi memang itu jalan yang terbaik. Hanya saja, beberapa hari lagi Izza juga harus terbang untuk menemani Ida menemui Agam, agar ia bisa segera kembali membawa bukti yang ia butuhkan. Waktu pun berlalu, Briona sudah sampai rumahnya pukul 7 malam dan segera membereskan rumah. Ada rasa senang dan menang di hati Briona, karena sejak ia menolak bicara dengan Izza, suaminya itu selalu pulang lebih cepat dan tak pernah pulang pagi. Pria itu juga selalu berusaha mengajak Briona untuk berbicara atau sengaja menceritakan cerita lucu agar memancing Briona tertawa. Tetapi Briona bukanlah perempuan yang mudah terpancing hal seperti itu. Kehidupannya yang berat membuatnya terbiasa untuk tidak tersenyum kalau ia tidak mau. Kemarahannya ternyata membuat Izza semakin mendekat padanya. Kadang Briona bertanya pada dirinya sendiri apa yang membuatnya jadi tertarik pada Izza, tapi sampai saat ini ia tak tahu jawabannya. Dan tanpa sadar pernikahanya memasuki bulan ke dua. Hatinya pun masih galau karena ada Gerry yang menunggunya. Briona baru saja selesai mandi dan tengah mengeringkan rambutnya ketika ia mendengar suara mobil masuk ke dalam rumah. Hari ini Izza tengah tak menggunakan motor bututnya. Briona mencoba mengintip dari jendela kamarnya dan sedikit terkejut melihat isi dalam mobil seolah penuh dengan orang. Ia segera keluar kamar dan berdiri mematung diatas tangga ketika melihat Izza masuk membawa dua buah koper beserta kedua adik kembar Briona, Kana dan Kinta berdiri dibelakang Izza. “Bri, aku bawa Kana dan Kinta kerumah ini,” ucap Izza sedikit kaget ketika melihat Briona berdiri di tangga menyambut mereka. “Kenapa kamu bawa mereka kesini mas? Gak cukup hanya aku yang menjadi masalah dan harus menambah 2 orang lain untuk membuat kami dicari orang?!” ucap Briona datar dengan raut wajah kesal. “Tuh kan mas, denger sendiri kan?! Mbak Briona itu gak suka sama kita,” ucap Kinta ketus sambil mendelik ke arah Briona. Gadis remaja usia 16 tahun itu memang terkenal berani dan tak menyukai Briona karena mereka berdua terbiasa mendengarkan cerita Ida yang selalu menganggap Briona buruk. “Sudah, duduk semua disini! Aku mau bicara!” ucap Izza tegas dan segera menutup pintu. Sedangkan Kana yang pendiam tampak sedikit takut dan duduk memojok, sedangkan Kinta menghempaskan dirinya tanpa sungkan di sofa. Briona melangkah turun dan duduk di sofa yang lain. “Ayah kalian sedang kena kasus diluar sana. Tolong beberapa waktu ini akur-akur dulu. Aku terpaksa menitipkan Kana dan Kinta disini, karena besok aku harus berangkat ke KL bersama ibu mereka untuk menemui pak Agam. Bagaimanapun rumah ini adalah rumah yang paling aman untuk mereka, Bri. Ini hanya untuk sementara sampai bu Ida kembali dan mereka akan kembali bersama ibu mereka.” Briona hanya memalingkan muka, hatinya sangat kesal, matanya panas menahan tangis. Ia merasa marah dan kesal karena seolah tak bisa diberikan pilihan untuk menolak kedua adiknya. Walau ia tak menyukai keadaan itu, tapi hati kecilnya juga tak bisa menolak kedua adiknya, ada sedikit rasa tidak tega diantara rasa kebenciaan pada keluarga sang ayah. Bagaimanapun kedua perempuan remaja itu adalah adik kandungnya. “Terserah kamu, mas. Toh ini rumah kamu! Ada kamar kosong untuk kalian tempati, jika ingin tinggal disini, tolong bersikap mandiri, karena tak ada banyak pembantu seperti dirumah kalian dulu!” Setelah mengucapkan hal itu, Briona segera bangkit dan berjalan menuju kamarnya untuk menenangkan hatinya yang campur aduk tak karuan. Lagi-lagi ia menangis karena kesal dan hanya bisa meremas-remas pakaian tidurnya dengan perasaan marah. Tak lama, Izza pun masuk ke dalam kamar setelah membantu kedua adik iparnya membereskan barang-barang mereka. “Bri,” panggil Izza perlahan sambil berjalan dan mencoba memeluk Briona yang tengah berdiri melihat keluar jendela. “Lepaskan aku!” tolak Briona marah. “Bri, kamu harus ngerti … bagaimanapun mereka itu adikmu dan tak mungkin aku biarkan mereka terlantar diluar sana.” “Terserah kamu, mas! Toh aku gak punya hak suara dirumah ini! Hanya bisa nurut dan ngikutin keinginan orang!” “Kamu jangan merajuk begitu, Bri … gunakan logikamu sesaat.” “Merajuk?! Aku gak merajuk mas! Aku marah! Aku marah karena dipaksa menikah! Aku marah karena dalam pernikahan ini pun aku hanya bisa diam dan mengikuti keinginan semua orang! Keinginan kamu dan keinginan semua orang!” “Bri, dengar dulu, bukan begitu…” “Bukan begitu gimana?! Kamu pikir aku manusia atau bukan sih mas?! Atau kamu yang terlalu egois, ingin terus bekerja ditempat kamu bisa bersenang-senang dengan perempuan lain! Aku hanya kamu anggap teman tidur, lalu sekarang kamu bawa pulang kedua adikku yang selalu membuatku teringat dan iri karena mereka mendapatkan kasih sayang ayahku begitu besar, sedangkan aku selalu jadi anak yang dibuang!” Tangisan Briona kembali meledak karena sudah tak sanggup menahan perasaannya. Kejadian dalam hidupnya dalam dua bulan ini benar-benar menekannya sampai titik nadir. “Baik! Baik! Aku resign! Aku resign! Tapi setelah aku kembali dari Kuala Lumpur ya, Bri. Besok malam aku harus berangkat bersama ibu sambungmu untuk bertemu pak Agam disana….” “Apa?! Setelah kamu datang bawa kedua adikku trus kamu pergi meninggalkan aku begitu saja?!” “Ini hanya untuk beberapa hari Bri! Setelah pulang nanti, aku akan resign dan membantumu mengurus kedua adikmu itu…” “Akh, aku gak percaya sama kamu mas! Ada hutang budi apa sih kamu sama ayah, sampe segitunya mau bantuin dia?!” “Aku harus membantunya karena sekarang aku menjadi menantunya, Bri… suami kamu…” ucap Izza lembut terdengar manis ditelinga Briona. Briona tertawa sesaat sambil menghapus air matanya kesal. “Manis banget ucapannya! Sebelum menikah saja kita kenal aja nggak! Menikah pun tanpa hubungan perasaan. Trus kamu bilang kamu mau bela-belain bantuin ayah karena kamu menantu sehingga mau berkorban demi keluargaku?! Mas, denger ya… suami istri yang terikat dengan perasaan juga pasti berat jika harus melakukan apa yang harus kamu lakukan pada keluargaku! Gak usah bicara manis!” Entah mengapa Izza jadi tersenyum mendengar ucapan tajam Briona, ia semakin sadar bahwa tak bisa mengeluarkan sisi playboynya pada sang istri. Perempuan ini walau masih sangat muda tapi berpikir dewasa dan kuat. “Lepaskan aku!” tolak Briona ketika melihat Izza malah senyum-senyum karena dipergoki niatnya mau merayu Briona dan malah memeluknya erat. “Galak banget sih kamu, sayang …. Tapi lihat kamu galak begini malah bikin aku jadi penasaran.” Izza segera merangkul Briona dan menahannya agar tak bergerak sehingga ia bisa menciumi istrinya gemas. “Mas, lepas!” “Stt, diamlah sebentar … biar aku kecup bekas air mata ini dan ku hitung berapa banyak kamu meneteskan air mata karena sedih. Maafkan aku, Bri. Walau menurutmu hubungan kita tanpa cinta, tapi aku menyukaimu sejak dulu … entah mengapa tak pernah ada rasa ragu di hatiku untuk menikahimu. Aku suka sama kamu,” bisik Izza sambil menciumi lembut pipi Briona yang basah. Mendengar ucapan Izza, Briona hanya bisa memalingkan wajahnya karena ia cukup terkejut mendengarkan pengakuan Izza. Ia pun jadi tak kuasa menolak Izza yang menggendong tubuhnya lalu memangkunya untuk duduk berdua di sofa hanya untuk dipeluk dan dielus lembut. Sepasang suami itu hanya bisa duduk diam dan menikmati waktu mereka dalam hening. Izza mencari bibir Briona dan melumatnya lembut cukup lama. Ia menemukan rasa tenang saat berduaan dengan Briona seperti ini. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN