Bab 3. Bertemu Gerry

1985 Kata
Setelah beberapa hari jatuh sakit dan tidak bisa mendapatkan kembali barang pribadinya, Izza mengajak Briona untuk membeli handphone dan laptop pengganti juga mengurus nomor handphonenya kembali. Tangan Briona terasa gemetar saat ia menyalakan handphone begitu banyak pesan dan misscall yang masuk ke dalamnya. Siang ini ia dan Izza tengah berada di Mall electronic untuk membeli handphone dan laptop baru untuk Briona. Setelah mengurusnya, akhirnya Briona bisa mendapatkan nomor yang sama dengan yang sebelumnya. Kini ketika ia menyalakannya kembali dengan tidak sabar, semua pesan-pesan itu masuk terutama dari Gerry yang tampak gila mencarinya. Setelah 5 menit dari handphone itu dinyalakan, sebuah nomor tanpa nama pun masuk menghubungi Briona. Briona segera mengangkatnya dengan tergesa-gesa, karena ia tahu nomor itu adalah nomor Gerry. “Mas…,” sapa Briona penuh rindu dan hampir menangis. Mendengar suara parau Briona, Izza segera menoleh dan melihat istrinya memisahkan diri untuk menjauh ketika menerima telepon dari seseorang. “Dimana kamu?! Aku hampir gila mencarimu Bri! Kemarin aku sampai ke kantor polisi untuk melaporkan orang hilang! Apa yang terjadi?! Aku ke rumahmu tetapi rumah itu kosong dan sudah ada plang kalau rumah itu disita! Kamu dimana sekarang?!” tanya Gerry cemas. Suaranya terdengar begitu emosional bercampur dari perasaan marah, cemas dan takut karena kehilangan Briona. Briona hanya bisa menangis, ia merasa bingung. Disatu sisi ia merasa senang bisa mendengar suara kekasihnya lagi, tetapi disisi lain, ia merasa takut dan bingung jika Gerry mengetahui bahwa ia telah menikah dengan orang asing begitu cepatnya. Gerry adalah satu-satunya pria yang bisa ia percaya, tidak seperti sang ayah. Sudah cukup lama mereka menjalin hubungan dan Gerry sangat tahu kondisi keluarga Briona yang sebenarnya. Ia seringkali membantu Briona dan dimata orang tua Gerry pun ia selalu berusaha menunjukan bahwa keluarga Briona adalah keluarga yang baik dan terpandang. “Aku menghubungimu bukan untuk mendengarkan kamu menangis! Dimana kamu?! Aku jemput kamu sekarang!” ucap Gerry terdengar tak sabar. “Jangan sekarang mas, aku belum bisa menemuimu …” “Kenapa?! Ada apa sebenarnya?! Apa ini akibat perbuatan ayahmu lagi?!” Mendengar isakan Briona semakin keras, Gerry sadar bahwa ini ada hubunganya dengan Agam– ayah Briona. “Tapi tolong beritahu dimana kamu saat ini? Aku tidak bisa seperti ini Briona, aku merasa cemas tak menentu!” “Aku berada ditempat yang aman … besok kita bertemu.” “Aku jemput besok di kantor ya.” “Iya …” “Baiklah, selalu balas pesanku Bri…” “Aku pamit dulu ya mas, nanti kita berbicara via w******p saja.” “Hati-hati kamu Bri, i love you…” Mendengar ungkapan cinta kekasihnya, perasaan Briona semakin getir. Ia pun memiliki perasaan yang sama tapi tidak sanggup membalasnya, karena ia merasa telah mengkhianati Gerry. Gadis itu segera menghapus air matanya ketika Izza menghampirinya. “Siapa itu?” tanya Izza penasaran. “Mas Gerry kekasihku … “ “Sudah kamu beritahu kalau kamu sudah menikah denganku?” “Tentu saja belum! Dan aku tidak mau bilang mas! Aku masih ingin bersama mas Gerry,” isak Briona jujur. “Kamu gimana sih?! Tapi kita sudah menikah!” “Aku gak mau mas! Aku gak mau dia pergi meninggalkan aku! Aku ingin bersama kekasihku!” tolak Briona cepat dan membuat Izza terdiam. Melihat Izza diam, Briona mencoba untuk tenang sambil berjalan meninggalkan Izza. Sedangkan Izza segera menjajari langkah Briona yang seolah ingin menjauh darinya. Sesampainya di apartemen, Izza segera membersihkan dirinya dan berganti pakaian dengan mengenakan kemeja juga celana kain. Briona hanya bisa diam dan mengamati penampilan suaminya. Baru beberapa hari menikah, Briona merasa bahwa Izza dan Agam sudah merencanakan semua ini tapi tak sesuai rencana mereka. Dari apartemen yang sudah disewa tapi masih sangat kosong dan Izza yang selama ini Briona pikir adalah pegawai sang ayah tetapi memiliki waktu kerja yang tak menentu, seorang pegawai kantoran tak mungkin seperti itu. Kemarin saat Izza kembali dan membawa pakaian pribadinya, Briona baru menyadari bahwa pakaian Izza semuanya bermerek mahal walau tak ada desain yang istimewa, sehingga membuat Briona mulai bertanya-tanya apakah Izza memang pegawai sang ayah atau bukan sebenarnya. Kini, Izza tampak terburu-buru untuk berangkat kerja dan berkata bahwa ia tak akan kembali malam ini membuat Briona bertanya-tanya, pekerjaan apa yang dilakukan Izza sehingga harus sampai tak kembali kerumah. Izza berjalan menuju pintu tiba-tiba balik badan dan kembali menghampiri Briona yang masih duduk di kursi makan kecil mereka. Briona segera mengusap bibirnya yang basah karena Izza tiba-tiba mencium bibirnya. Tercium aroma mint dari pasta gigi yang digunakan Izza. “Mas, ah!” “Kenapa? Bukannya suami istri baru biasanya berciuman sebelum mereka berpisah?” “Mungkin itu suami istri yang lain, bukan kita!” “Kamu harus membiasakan diri, walau kita baru kenal dan baru bersama, kita harus belajar cepat untuk menjadi suami istri yang benar. Ya sudah, aku pergi dulu, besok pagi aku kembali,” pamit Izza yang kali ini benar-benar pergi meninggalkan Briona. Briona hanya bisa menghela nafas panjang dan menghempaskan tubuhnya diatas ranjang. Sebagian hatinya merasa lega karena memiliki ruang sendiri saat ini tanpa Izza, sisi hatinya yang lain ia masih mencoba mencerna dan menerka apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Perlahan ia meraih handphonenya dan membuka pesan yang masuk, dari Gerry yang menanyakan kondisinya. Briona pengusap profile picture Gerry perlahan sebelum ia memeluk handphonenya erat sambil meringkuk sembari berdoa semoga ia dan Gerry bisa kembali bersama. Izza baru saja hendak menaiki motornya ketika sebuah pesan masuk ke dalam handphone. Pesan itu dari sang paman yang juga telah menjadi ayahnya, Edo. “Keluarga Liliana mencarimu, mereka bertanya kapan kamu akan melamar anak mereka. Ingat! Jika kamu menginginkan warisanmu kembali, menikah dan miliki anak segera!” Izza mendecakkan lidahnya kesal, andai saja bukan persyaratan itu yang harus ia lakukan untuk mendapatkan kembali hak warisannya tentu saja ia tak perlu melakukan hal sejauh ini. *** Briona terbangun dari tidurnya saat ia mendengar ketukan pintu apartemennya begitu keras dan menoleh ke arah jam di dinding yang menunjukan waktu pukul 4 pagi. Ia segera bangkit dan berjalan menuju pintu lalu membukanya sedikit. Terlihat Izza menyandarkan kepalanya ke pintu dan tersenyum menyeringai ketika melihat Briona. Briona segera membuka pintu dan membiarkan Izza berjalan masuk dengan langkah terhuyung-huyung yang tampak terburu-buru memasuki toilet. “Mas, kamu gak apa-apa?” tanya Briona yang masih mengantuk sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu dan mendengar Izza tengah mengeluarkan isi perutnya. Tak lama Izza keluar dari kamar mandi dengan wajah basah sambil membuka pakaiannya juga yang juga basah. Dengan asal Izza melempar pakaiannya, dan membuka celana panjangnya dan meletakkannya sembarang. Ia segera menerjunkan dirinya ke atas ranjang dan berguling-guling sesaat seperti anak kecil. Briona sadar bahwa suaminya tengah mabuk, aroma alkohol dan bekas muntah membuat Briona menutup hidungnya sesaat. “Ayo minum dulu dan minum obat ini,” suruh Briona sembari memberikan segera air dan obat pada Izza. Dengan kepala pusing dan tanpa berkata apa-apa Izza segera menerimanya lalu kembali berguling diatas ranjang. Briona menghela nafas panjang dan memunguti pakaian Izza, sedangkan Izza tengah menggumam sendiri diatas ranjang dan hanya mengenakan celana dalam. Perlahan Briona memeriksa pakaian suaminya. Ada aroma parfum wanita yang menempel di sana dan sedikit bekas lipstik yang menempel di kerah kemejanya. “Kamu tuh kerja apa sih sebenarnya?! Ya Allah, semoga aku bisa cepat keluar dari masalah ini dan bercerai dengannya,” gumam Briona perlahan. Briona melangkah perlahan dan duduk di sisi ranjang lalu menatap kamar studio apartemen mereka. Ruangan ini begitu kecil sehingga tempat ia duduk hanya bisa di meja makan kecil mereka dan di sisi ranjang. Ia sudah tak bisa kembali tidur, karena ini hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti dukacita. Hari ini ia pun berjanji akan bertemu dengan Gerry. Kekasihnya itu akan menjemputnya di kantor dan membicarakan apa yang terjadi dengan Briona. Hati Briona kembali cemas, ia tak tahu bagaimana menjelaskan kepada Gerry bahwa ia telah menikah dengan Izza. *** Izza menggeliat sesaat, kepalanya terasa sakit dan perutnya terasa sangat mual. Perlahan ia terbangun dan menggosok hidungnya yang terasa perih. Tak ada Briona disana, hanya dirinya yang tergulung selimut dan hanya mengenakan celana dalam. Ada semangkuk bubur yang sudah dingin tertutup tudung saji dan bertuliskan sarapan untuk dirinya diatas meja saat Izza mengambil segelas air untuk menyegarkan tenggorokannya. Sebuah pesan masuk di handphonenya dari Briona yang mengatakan bahwa ia kembali bekerja dan akan pulang cukup malam karena ia akan bertemu dengan Gerry. Izza membaca pesan Briona perlahan. Walau sudah tinggal bersama beberapa hari, tak ada kesan jika perempuan ini akan melarikan diri. Tentu saja Izza tak bisa percaya begitu saja, ia segera menghubungi seseorang untuk mengawasi Briona. “Itu alamat dan nama kantor istriku, tolong awasi dia, dan beritahu apa pun jika kamu melihatnya,” ucap Izza saat menghubungi salah satu orang yang ia biasa ia suruh untuk mengawasi seseorang. Waktu pun berlalu tanpa terasa, Izza masih asik bermain games ketika ia sadar bahwa waktu telah menunjukan pukul 5 sore. Seharian ini ia hanya tidur dan membersihkan dirinya dari pengaruh alkohol sampai benar-benar sadar. “Baru keluar dari kantornya bos, dijemput seseorang dengan mobil SUV.” Pesan singkat itu membuat Izza melompat dari tidurnya. “Ikuti, nanti beritahu di mana mereka berhenti,” perintah Izza sambil segera mengganti pakaiannya. Kali ini ia tak bisa menggunakan motor bututnya, karena tadi malam ia diantar pulang karena mabuk, Izza terpaksa menggunakan taksi online dan turun di sebuah restoran dimana Briona dan Gerry berada. “Sedang apa mereka?” tanya Izza sembari duduk disamping anak buahnya sambil memesan kopi starling ditempat parkir sambil mengawasi restoran itu dari luar. “Tadi sih kayaknya lagi makan sambil pelukan gitu bos,” jawab sang mata-mata santai tanpa beban dan membuat Izza hampir menyemburkan kopi panas yang baru ia hirup. Perlahan Izza meletakan gelas plastik berisi kopi dan berjalan perlahan menuju restoran. Restoran itu tampak penuh sehingga memudahkan Izza untuk menyelinap pura-pura untuk ke toilet, terlihat seorang pria tampan berkacamata tengah memeluk Briona yang tengah menangis tersedu-sedu di sebuah meja paling pojok di restoran itu. Entah apa yang diceritakan Briona tetapi Izza yakin pria itu adalah Gerry yang selalu Briona sebut sebagai kekasihnya. Waktu telah menunjukan pukul delapan malam ketika Briona berjalan dirangkul oleh Gerry ke tempat parkir. “Bos, mereka keluar!” ucap anak buah Gerry ketika melihat Briona. Izza yang asik bermain gaple bersama tukang parkir segera menghentikan permainan mereka dan berjalan setengah berlari menghampiri mobil Gerry. “Ups, maaf! Gadis cantik ini harus pulang bersamaku!” cegah Izza segera menahan pintu mobil setelah Briona masuk ke dalam mobil Gerry. “Mas!” pekik Briona kaget dan takut melihat Izza yang tiba-tiba muncul diantara mereka. “Siapa dia?!” tanya Gerry waspada dan segera melindungi kekasihnya dengan berdiri di depan Briona yang sudah duduk di dalam mobil. “Suaminya! Permisi! Ayo Bri kita pulang, besok lagi saja ya kalau mau pacaran!” ucap Izza cepat setengah mendorong Gerry kesamping dan menarik tangan Briona agar keluar dari mobil. “Tunggu, biar kalian aku antar!” cegah Gerry cepat dan tampak tak terlalu terkejut mendengar status Izza. Melihat reaksi Gerry, Izza menatap Briona dan Gerry bolak balik lalu menggelengkan kepalanya. “Briona pasti sudah cerita kalau aku sudah menjadi suaminya, bukan?! Kami bisa pulang sendiri, ayo, Bri!” Jawaban tegas Izza membuat Briona segera keluar dari mobil Gerry perlahan. Ia takut Izza yang tubuhnya jauh lebih tinggi dan kuat dari Gerry melakukan sesuatu pada kekasihnya. “Aku pulang dulu ya mas,” pamit Briona perlahan dengan pandangan sendu. “Bri… hati-hati ya… besok kita bertemu lagi…” ucap Gerry cemas dan tak peduli dengan pandangan Izza. Briona pun berjalan terlebih dahulu, tiba-tiba tangan Izza ditahan oleh Gerry. “Berapa yang kamu inginkan?! Aku akan memberikannya asal kamu mau menceraikan Briona! Dia kekasihku! Dan aku tak akan membiarkan kamu dan ayahnya memperalat Briona!” ucap Gerry tanpa ragu dan menatap Izza tajam penuh kemarahan. Izza segera melepaskan tangan Gerry. “Siapa bilang aku menikahi Briona karena uang?” tepis Izza membalas tatapan Gerry dingin dan segera berjalan menyusul Briona dan menghentikan sebuah taksi biru di pinggir jalan untuk mengantarkan sepasang suami istri itu pulang. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN