Bab 2. Pria pertama untuk Briona

1113 Kata
Izza hanya diam dan menghela nafasnya pelan. Sikap acuhnya berubah menjadi pandangan mata yang dalam dan menatap Briona yang mencoba untuk tidur. Jika Briona merasa tak mengenalnya, berbeda dengan Izza. Sudah berbulan-bulan ia mengamati Briona dari kejauhan. Walaupun mengamati dari jauh, tetapi ia tahu semua hal tentang Briona dari makanan kesukaan sampai kebiasaannya. Anak perempuan Agam itu memang sangat cantik. Namun, bukan hanya fisik yang Izza lihat dari calon istrinya. Hidupnya yang keras membuat pria itu harus memiliki pasangan tangguh dan penyabar. Itulah yang dilihat dari sosok Briona. Izza memutuskan untuk tak mengganggu Briona, ia hanya ingin gadis itu merasa tenang setelah semua yang terjadi hari ini. Kehilangan rumah dan menikah mendadak dengan orang yang tak ia kenal pasti bukan hal yang mudah. Jika untuk Briona pernikahan ini seperti dipaksakan, tidak untuk Izza, ada kesepakatan yang ditawarkan Agam sehingga ia mau menikahi Briona. Pria itu kembali menyusup ke dalam selimut dan mencoba untuk kembali menikmati tontonannya. Perasaan tenang itu ternyata hanya berlangsung 30 menit setelah Briona tidur. Izza kembali melihat Briona dengan melongok ke bawah. Kali ini, Briona tampak meringkuk seperti hendak menggulung dirinya sendiri. Matanya terpejam dan napasnya terdengar kasar. Merasa khawatir, perlahan Izza menyentuh pelipis Briona dengan ujung jarinya, merasakan rasa hangat spontan Izza segera menyentuh dahi dan leher Briona. Tubuh perempuan itu panas tinggi dan terlihat menggigil. “Ternyata kamu sakit.” Izza segera keluar dari selimut dan beranjak dari atas ranjang. Dalam hitungan detik, pria itu segera mengangkat tubuh istrinya dan meletakkan di atas ranjang lalu segera menutupinya dengan selimut. “Pasti karena kehujanan tadi dia sampe sakit.” Dengan raut panik Izza segera berkeliling ruangan membuka laci-laci yang ada dan berharap ada obat di sana. Namun, usahanya tak membuahkan hasil. Semua laci tampak kosong tak ada obat apa pun di sana. Mau tidak mau pria itu harus pergi ke luar jika ingin membeli obat. “Tapi kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga Briona?” Izza mengurungkan niatnya. Segera memegang pakaian miliknya yang sengaja ia gantung agar lekas kering, tetapi pakaian itu masih basah dan lembab. Izza segera mengambil botol air mineral yang tadi ia beli dan memberikannya pada Briona. Tanpa perlawanan Briona meminum air pemberian Izza dan tak menolak untuk dibantu. Tubuhnya sudah terlalu lemah dan terasa sangat ngilu. Setelah memberikan air minum, Izza segera menarik handuk yang menutupi tubuh Briona. Handuk lembab itu hanya akan membuatnya semakin menggigil. Briona hanya sanggup melirik Izza seolah protes handuknya dibuka dan kini ia sama seperti suaminya, telanjang bulat tertutup selimut. Namun, ia sudah tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa mengerang dan berdoa agar rasa sakit di tubuhnya berkurang. Izza melempar handuk itu ke atas kursi lalu ikut masuk ke dalam selimut, kemudian menarik Briona ke dalam pelukannya. Tubuh Izza yang terasa hangat di kulit Briona seolah obat yang mengurangi rasa ngilu karena demam. Ia membiarkan Izza memeluknya erat seperti memeluk guling. Ia sudah tak tahan lagi dengan rasa ngilu dan dingin di sekujur tubuhnya sehingga tak peduli jika harus berpelukan sambil bertelanjang di dalam selimut seperti saat ini. “Maafkan aku, tapi hanya dengan cara ini bisa menurunkan demammu. Jika bajuku sudah kering nanti, aku akan segera turun untuk membeli obat untukmu,” bisik Izza sembari mengelus rambut Briona dengan sedikit bersalah. Merasakan tubuh Briona yang begitu panas membuat Izza semakin memeluknya erat. Walaupun tak bermaksud melecehkan Briona, tetapi pelukan dua orang yang berbeda kelamin dan tanpa dibatasi selembar kain itu membuat hasrat kelelakiannya timbul. Izza mencoba mengalihkan perhatian dan pikirannya pada hal lain ketika ia tak bisa membuat bagian bawah tubuhnya untuk tak mengeras. Briona juga merasakan hal itu sehingga spontan menatapnya dengan pandangan lemah. Namun, ia tak sanggup berkata apa-apa. Izza segera memalingkan wajahnya dari wajah Briona yang begitu dekat dengan wajahnya sambil coba mematikan lampu yang berada di samping ranjangnya. Ia berharap dengan kondisi gelap, tak bisa melihat wajah cantik Briona memelas yang hanya membuatnya semakin berhasrat. Sayang, sinar terang dari tivi membuat suasana menjadi lebih mengundang hasrat. Izza hanya bisa menelan ludahnya dan berusaha keras untuk memikirkan hal yang lain selain merasakan seluruh tubuh istrinya yang menempel pada tubuhnya. Ia berusaha fokus bahwa pelukannya untuk membantu menurunkan panas tubuh Briona dan bukan untuk melampiaskan birahi. “Sial, aku enggak tahan.” Izza mengumpat di dalam hatinya. Rasanya sulit menahannya. Gejolak hasrat seakan mendesaknya untuk melakukan malam panas dengan Briona. Terlebih deru halus napas Briona yang terembus hangat di lehernya semakin membuat Izza menggila. Pria itu pun coba menolehkan kepalanya, tetapi hal itu hanya membuat bibirnya menyapu rambut dan pelipis Briona. “Tolong … aku lagi sakit, jangan apa-apakan aku!” bisik Briona, sadar dengan apa yang terjadi di antara mereka. Walaupun sedari tadi tak ada percakapan apa pun,, Briona menyadari bahwa hasrat kelaki-lakian Izza terpancing saat ini. Hatinya merasa takut jika Izza tak bisa mengendalikan diri. Briona bisa merasakan Izza banyak bergerak seperti orang yang tengah gelisah. Namun, tak hanya Izza, bagi Briona sendiri, hal itu adalah yang pertama kali dalam hidupnya. Mendengar ucapan Briona membuat Izza sadar bahwa gadis itu mengetahui keinginannya. Ia pun coba tak bergerak karena setiap bergerak sedikit saja, rasanya ia ingin menembus inti tubuh istrinya itu. Hanya saja kesadaran itu tak berlangsung lama, Izza merasa tak tahan lagi. Posisi Briona yang berada di bawah tubuhnya membuatnya tak kuasa untuk tak mulai mengecup bibir gadis itu. “Tolong jangan, aku lagi sakit! Lagi pula aku tidak pernah melakukannya dan aku ingin melakukannya hanya dengan Gerry,” tolak Briona penuh mohon dengan suara lemah. “Kenapa kamu ingin melakukannya dengan Gerry sementara aku yang sekarang jadi suamimu? Kita ini sudah sah menikah, tolonglah, Bri, biarkan aku melakukannya!” Briona hanya bisa pasrah ketika Izza mencumbu tubuhnya tanpa menunggu persetujuannya. Air mata pun mulai mengalir saat Izza meletakkan kedua tangan Briona untuk merangkul lehernya. “Percayalah padaku, enggak ada yang salah dengan apa yang kita lakukan ini, aku suamimu, Bri. Aku akan selalu menjagamu!” bisik Izza di telinga Briona sebelum ia mulai melakukan penyatuan. Pria itu tahu betul jika tidak akan mudah melakukannya karena ia adalah laki-laki pertama dalam hidup Briona. “Maafkan aku, Bri. Maaf karena aku melakukannya di saat kamu sakit. Mau bagaimanapun kamu harus segera hamil? Aku sudah tidak punya banyak waktu, Bri.” Izza teringat akan kesepakatannya dengan sang paman. Ingatan itulah yang membuatnya tak punya pilihan untuk menjamah tubuh Briona. Meski ia tahu tidak akan mudah membuat seorang wanita hamil. Namun, hanya dengan melakukan hubungan ranjang, Izza bisa tahu apa ia akan berhasil membuat Briona hamil atau tidak. Berbeda dengan Izza, Briona tampak begitu menyesal karena membiarkan Izza merenggut kesuciannya. Di dalam hati, ia terus merasa bersalah pada Gerry–kekasihnya. “Maafkan aku … Mas Gerry. Maafkan aku karena tidak bisa menjaga kesuciaanku .…” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN