Flashback “Siapa Pembunuhnya?”

1162 Kata
Hiro tidak ingin berlama-lama dikamar yang penuh dengan kebisingan. Kebisingan apa yang terjadi? Tentu saja kebisingan yang berasal dari tangisan batita mungil yang tidak kunjung berhenti. Perawat yang menemani Hiro masuk ke dalam ruangan mendadak bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Hal itu menjadi tanda tanya dalam diri mereka. Siapapun tidak akan tega melihat anak kecil menangis. Namun berbeda dengan Hiro yang terlihat tidak peduli. Kenapa Hiro hanya diam dan tidak tergerak untuk mendekati batita itu? Jujur saja ia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Semua yang terjadi terlalu mendadak. Enam belas tahun tidak bertemu, tapi sekalinya bertemu dalam keadaan yang sangat berbeda. Heri terbaring di rumah sakit, bahkan ia sudah memiliki seorang anak laki-laki. Bagaimana mungkin Hiro tidak terkejut? Bahkan ia pikir semua ini hanya mimpi belaka. "Maaf, Pak. Anaknya menangis." "Bukan anak saya," jawab Hiro langsung. "Tapi-" "Bukan anak saya." Setelah mengatakan itu, Hiro langsung keluar dari ruangan. Perawat bertambah bingung. Mau tidak mau, ia mendekat untuk menenangkan batita mungil yang bernama Alan. Hiro tidak langsung pergi. Ia masih berdiri di depan dengan perasaan yang campur aduk. Alan tidak berhenti menangis. Ia terus memanggil "papa". Pikiran dan hatinya tidak sejalan. Lihat saja, Hiro diterpa kebimbangan. Apakah ia terus berada dirumah sakit seakan-akan ia memang memiliki hubungan baik dengan Heri atau pergi seakan-akan ia tidak memiliki hubungan apapun dengan Heri? Hiro bersandar di dinding sambil memejamkan mata. Berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tidak bisa dipungkiri, hatinya sedikit perih melihat kondisi Heri. Walaupun Hiro tidak mau mengakui hubungan darah antara keduanya, tapi mereka memiliki wajah yang sama. Ya, Heri adalah kakak Hiro. Ia lahir beberapa menit sebelum Hiro lahir. Bisa dikatakan mereka kembar. Wajar jika anak sang kakak memanggil dirinya dengan sebutan "papa". Butuh waktu yang cukup lama sampai suara tangis tidak terdengar lagi. Mungkin batita mungil yang bernama Alan itu sudah lelah menangis sehingga ia tidak punya tenaga untuk menangis lagi. Apalagi kondisinya masih belum stabil. "Bagaimana keadaannya?" tanya Hiro saat perawat sudah keluar dari ruangan. Perawat menjelaskan kondisi Alan yang kurang baik. Kecelakaan yang cukup tragis itu menimbulkan tidak hanya luka fisik tetapi juga luka mental. Apalagi Alan mendengar suara tembakan secara langsung. Setiap bangun tidur, Alan akan menangis mencari sang papa. Luka mental lebih bahaya daripada luka fisik yang terlihat. "Apa dokter anak dan psikolog sudah mendampingi?" "Sudah, Pak." Hiro bernafas lega. Ia bisa melihat wajah penuh kekesalan dari perawat. Wajar karena Hiro seperti orang yang tidak bertanggung jawab. Sudah jelas sang anak menangis walaupun bukan anak kandungnya, tetapi ia malah keluar dan tidak peduli. Meskipun begitu, perawat berusaha untuk bersikap ramah kepadanya. "Tolong berikan dokter yang paling baik di rumah sakit ini." "Tenang saja, Pak. Semua dokter yang ada di rumah sakit ini terbaik." Hiro mengangguk dengan pandangan penuh kebingungan. Ia hanya berdiam diri, duduk tanpa melakukan apa-apa. Bahkan beberapa kali ponselnya bergetar, namun ia tidak menghiraukan hal itu sama sekali. Ia tidak mandi padahal sudah melakukan perjalanan jauh, ia juga tidak makan. Ia hanya pergi ketika waktu shalat masuk. Walaupun Hiro belum sepenuhnya baik, tapi ia berusaha untuk mengerjakan kewajiban. Setelah shalat, ia akan kembali lagi. Walaupun ada dorongan yang menyuruhnya untuk pulang, namun ada dorongan lain yang menyuruhnya untuk tetap dirumah sakit. "Kenapa dia belum sadar?" tanya Hiro kepada petugas medis yang ada di ruang ICU. Sejak pertemuan untuk pertama kalinya setelah 16 tahun berpisah, Heri tidak kunjung sadarkan diri. Bahkan beberapa kali denyut jantungnya menurun drastis sehingga dokter langsung melakukan penanganan. Petugas medis hanya memberikan penjelasan menurut keilmuan mereka terkait kondisi Heri. Kondisi Heri benar-benar kritis. Bahkan sulit untuk bertahan hidup dengan kondisi seperti itu. Hiro menghela nafas panjang. Ia duduk sembari membuka ponsel. Sudah seharian ia tidak melihat ponsel. Ternyata banyak panggilan dan pesan masuk dari orang-orang perusahaan. Mereka menanyai keberadaan Hiro. Wajar bukan karena ia pergi tanpa memberitahu kepada siapapun. Tengah duduk dengan banyak pikiran yang bersarang. Tiba-tiba saja beberapa petugas medis masuk ke dalam ruang ICU. Otomatis Hiro langsung berdiri dan melihat dari pintu. "Silahkan masuk, Pak." Perawat menyuruh Hiro untuk masuk. Ia terlihat terburu-buru seperti dikejar seseorang. Hiro masuk dengan mengenakan pakaian khusus yang disediakan rumah sakit. Langkahnya terasa berat karena secara tiba-tiba kaki yang membeku. Hiro melihat dokter berusaha memberikan penanganan paling maksimal. Apalagi layar EKG menunjukkan garis lurus. Suasana sangat menegangkan dan Hiro hanya bisa melihat. Kondisi tubuhnya penuh kebingungan. Siapapun tahu jika kondisi Heri semakin kritis. Bahkan denyut jantungnya tidak kunjung kembali. Dua puluh menit berlalu, petugas medis melihat ke arah Hiro. Wajah mereka menyiratkan rasa penyesalan yang amat mendalam. Hiro memejamkan mata saat bunyi mesin EkG begitu panjang. Ternyata pertemuan pertama setelah enam belas tahun menjadi pertemuan terakhir mereka. Hati Hiro terasa sangat sakit. Bahkan saat dokter mengumumkan waktu kematian sang kakak. Meskipun begitu, ia tidak menunjukkan tangis seperti kebanyakan orang. Hiro malah tersenyum dengan sorot mata yang dapat menjelaskan semua perasaannya. Petugas medis memberikan waktu kepada pihak keluarga sebelum jasad dibersihkan. "Lo kira gue bakal jaga anak lo?" ucap Hiro di depan tubuh kaku sang kakak. "Nggak akan. Gue nggak akan jaga anak lo." "Mau anak lo mati gue nggak peduli." Hiro tertawa dengan rasa sakit yang menusuk. "Anak lo nggak punya siapa-siapa lagi, lo harus bangun!" Hiro berbicara dengan penuh ketegasan. "Lo yang harus rawat sendiri, bukan gue!" Hiro sadar, percuma ia berkata seperti itu. Tapi ia tidak bisa hanya diam karena semua terjadi secara mendadak. "Lo harus bangun!!!" Hiro memukul ranjang Heri berulang-ulang kali. "Bangun! b******k!" "Gue belum mukul lo," ucapnya lagi. Hiro kehabisan tenaga, tubuhnya menjadi lebih lemah. Lihat saja sekarang, ia sudah terduduk di lantai sambil memegang ranjang sang kakak. Bukan pertemuan seperti ini yang Hiro harapkan. Dia belum memberi pelajaran kepada sang kakak yang dengan tega pergi bersama sang ibu tanpa membawa dirinya. "Gue bilang bangun," lirih Hiro dengan suara yang sangat pelan. Bagaimanapun Hiro berkata, berteriak atau bahkan memukul Heri, itu semua tidak akan membuat Heri membuka matanya kembali. Tubuh kaku, bibir yang pucat serta tubuhnya terasa dingin. Apa yang sebenarnya terjadi? Kehidupan apa yang kakaknya alami selama ini? Enam belas tahun, seharusnya Heri hidup lebih bahagia daripada dirinya. Apalagi sang ibu bersama dengannya. Tapi kenapa ada luka tembak? Siapa yang menembak sang kakak? Semua seperti benang kusut yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Sebelum jasad dibersihkan. Tentu saja, Hiro harus membayar semua tagihan rumah sakit. Ia tidak tahu apakah Heri memiliki uang atau tidak. Jangankan tentang uang, Hiro juga tidak tahu dimana kakaknya tinggal. Setelah mengurus biaya rumah sakit sang kakak, pihak rumah sakit memberikan dua tas. Hiro mengerutkan kening. "Siapa yang mengantarnya ke rumah sakit?" tanyanya. "Dia menelpon ambulan sendiri, kebetulan rumah sakit ini dekat dengan tempat kejadian." "Bagaimana dengan polisi?" "Polisi hanya datang dan bertanya, dia mengambil kedua tas ini dipagi hari. Tapi dimalam hari mereka mengembalikannya lagi." "Apa polisi tidak menyelidiki kasus ini?" "Kami tidak mengetahuinya." Hiro memijat pangkal hidung. Bukankah kasus sang kakak termasuk tindak kriminal? Ini bukan hanya kecelakaan biasa. Ada 3 luka tembak yang artinya sebelum kecelakaan terjadi, sang kakak sudah ditembak oleh seseorang. Pertanyaan besar muncul. Siapa yang membunuh sang Kakak?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN