Flashback “Jadi Papa!”

1083 Kata
Hiro sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Dia seperti orang yang tidak merasakan apa-apa. Apa hatinya membeku? Entahlah. Meskipun begitu, tatapannya terlihat sangat kosong. Bahkan untuk melangkah saja, ia membutuhkan banyak tenaga. Pakaian Hiro terlihat kotor karena tanah. Ia sendiri yang menyambut jasad sang kakak dengan kedua tangan untuk diletakkan di tempat yang sudah disiapkan. Hiro tidak bisa membawa jasad sang kakak ke kota tempat tinggalnya. Atau menguburkan sang kakak di pemakaman ayah atau ibu mereka. Hiro tidak tahu dimana sang ibu dimakamkan. Bahkan Hiro baru tahu tentang kematian sang ibu setelah beberapa hari nyawa sang ibu berpisah dari jasad. Hidupnya terlalu dramatis bukan? Umur 11 tahun, ibu dan ayahnya bercerai. Walaupun Hiro dan Heri masih belum remaja saat itu, tetapi mereka sudah mengerti tentang apa yang terjadi. Ayah Hiro selingkuh. Sedangkan sang ibu sudah cukup bersabar selama bertahun-tahun sampai kejiwaannya terganggu. Perceraian itu tidak membuat Hiro maupun Heri merasa sedih. Daripada melihat sang ibu menangis dan terus tersakiti, lebih baik sang ibu segera menjauh dari ayah mereka. Hiro kira, ia akan dibawa sang ibu pergi. Namun perkiraannya salah. Ibu hanya membawa Heri dan meninggalkan dirinya. Padahal Hiro sudah menyiapkan semua barang-barang miliknya. Tapi sang ibu pergi bersama sang kakak saat dirinya tidur dimalam hari. Sejak saat itu, Hiro tidak pernah bertemu dengan ibu dan juga Heri. Bahkan ia lupa bagaimana wajah ibunya sendiri. Lucu bukan? Padahal ia hanyalah anak yang baru berusia 11 tahun. Tapi harus menjalani kehidupan yang cukup rumit. Walaupun tidak ada kerabat ataupun teman dikota ini, namun beberapa warga yang dekat dengan pemakaman umum ikut mengantarkan jasad Heri. Entah kenapa Hiro sedikit lega. Mungkin selama hidup sang kakak menjalani hidup dengan baik. Pikiran itu muncul begitu saja walau penyebab kematian Heri penuh tanda tanya. Kenapa pelaku ingin membunuh Heri? Jawaban hanya dua. Pertama, Heri orang baik yang sudah mengganggu ketenangan (Kejahatan) pelaku. Atau kedua, Heri orang jahat sehingga banyak yang ingin membalas dendam padanya. Jujur saja, pikiran Hiro dipenuhi berbagai macam pikiran. Ia sudah cukup lelah fisik dan lelah batin. Semalaman tidak tidur, sekarang pun ia harus kembali ke rumah sakit setelah mengantarkan sang kakak ke liang lahat. Kini hanya Hiro yang tinggal, sedangkan yang lain sudah pergi. Ia menunduk dalam. Seharusnya Hiro menunjukkan wajah penuh kebahagian kepada sang kakak di sisa umurnya yang tinggal beberapa jam saat mereka bertemu. Tapi ia tidak bisa melakukan itu. Hiro tidak berpikir sang kakak akan pergi begitu cepat. Bahkan Hiro masih berasa diambang nyata atau mimpi. Hiro tidak berkata dengan mulut, namun dengan hati. Pandangan sedih terlihat dengan jelas. Namun Hiro terlihat berusaha menguatkan diri seakan-akan ia sudah merelakan tentang apa yang terjadi. Hiro berdiri dan melangkah pergi dari pemakaman dengan senyum lebar. Ia tersenyum bukan karena tidak punya hati, namun tersenyum miris karena untuk kedua kali kakak dan sang ibu meninggalkan dirinya. Dulu mereka hanya berbeda kota saja, namun sekarang mereka berbeda alam. Sebelum datang ke ruang rawat keponakannya, Hiro memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Dia tidak mungkin berlalu lalang di rumah sakit dengan pakaian kotor. Bahkan Hiro butuh sedikit nutrisi walau hanya dari air mineral. Pukul satu, Hiro melangkah ke rumah sakit dengan wajah yang sedikit lebih baik. Mulai sekarang, hidupnya akan berubah. Walaupun ia sempat membenci sang kakak, tapi Hiro tidak bisa mengabaikan sang keponakan. Apalagi Hiro tahu bagaimana rasanya hidup tanpa ada yang peduli. Sakitnya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Belum sempat masuk, Hiro baru berdiri di depan pintu. Ia mendengar suara tangis. Untung saja pihak rumah sakit sudah memaklumi hal tersebut. Mereka memberikan pelayanan yang sangat baik. Bahkan setiap kali Alan menangis, mereka berusaha menenangkan. Sebelum masuk, Hiro menarik nafas dalam-dalam. Ini pilihan hidup yang akan ia ambil. Setelah melangkah masuk, ia yakin hidupnya akan berubah. "Maaf, Pak." Perawat minta maaf karena tidak bisa menenangkan Alan. Padahal itu tidak perlu sama sekali. Hiro menggeleng. "Biar saya saja." Ia juga mengucapkan terima kasih karena sudah menjaga Alan. "Tenang saja, saya Papanya." Hiro tersenyum sampai matanya menyipit. Perawat memang tidak mengerti bagaimana perasaan Hiro. Namun mereka cukup mengerti walau tidak sepenuhnya tentang situasi yang dihadapi oleh Hiro. "Halo." Hiro menyapa Alan dengan canggung. Bahkan ia memaksa diri untuk tersenyum lebar sampai gigi terlihat. Padahal Alan sedang menangis. Bukannya mereda, tangis itu semakin kuat. Terlihat sorot mata penuh kerinduan dari Alan. Ia memanggil Hiro dengan sebutan Papa. Hiro harap Alan tidak bisa membedakan dirinya dengan Heri. Walaupun wajah mereka sama, tapi aura mereka tentu saja berbeda. Apalagi Hiro belum pernah menjadi seorang ayah. Ada beberapa perban yang menempel pada kulit Alan. Hiro memberanikan diri untuk mendekat. Tentu saja ia was-was karena takut Alan tidak mau dekat dengannya. "Papa..." Alan menggerak-gerakan tangan ingin segera berada dalam dekapan sang papa. "Iya, ini Papa." Hiro mengambil tubuh Alan dengan hati-hati. Tentu saja ia harus menenangkan Alan terlebih dahulu. Apalagi keponakan yang akan menjadi anaknya itu masih dalam tahap pemulihan. "Papa ke-mana? Alan nangis telus." Walaupun usia Alan masih dua tahun, tapi ia sudah bisa berbicara walau susunannya tidak sempurna seperti orang dewasa. Hiro menepuk punggung sang anak. Tentu saja ia juga menjaga tangan sang anak agar tidak banyak bergerak karena ada infus yang menempel. "Papa disini." Hiro meyakinkan sang anak bahwa dia adalah Papa Alan. Setelah beberapa menit, tangis sang anak sedikit mereda. "Adan Alan akit," adu Alan kepada Hiro. "Oh ya?" Hiro memberi reaksi yang sedikit membingungkan. "Maksud Papa, bagian mana yang sakit?" Hiro segera mengoreksi responnya. Jujur saja ia masih bingung. "Cemua, akit." kepala Alan bersandar pada bahu Hiro. Ringisannya terdengar. Apa benar atau hanya suara yang dibuat-buat saja, Hiro tidak bisa menebaknya. Debaran jantung Hiro perlahan-lahan mulai normal. Ia akan menidurkan Alan terlebih dahulu. Apalagi menurut penjelasan sang perawat ia sering menangis. Mungkin setiap sel tubuhnya dapat merasakan kepergian sang Papa sebenarnya. "Nggak boleh banyak gerak, supaya cepat sembuh." "Angan pelgi-pelgi lagi. Alan mau cama Papa telus." "Iya, Papa nggak akan pergi-pergi lagi." "Maacih, Pa." Bibir Hiro mengembang karena Alan dengan tidak terduga mengucapkan terima kasih. Memang itu bukan prestasi yang digandang-gandang masyarakat, tapi ucapan itu sudah menunjukkan bagaimana Heri mendidik Alan selama ini. Kata maaf, terima kasih dan tolong adalah kata yang tidak boleh untuk dilupakan. Sejak dini kata-kata itu harus tertanam di dalam hati agar menjadi insan manusia yang beradab. "Cayang, Papa." Alan mengecup pipi Hiro. Padahal sisa-sisa tangisnya masih ada. "Iya, Pa-pa juga sayang Alan." Walaupun hati Hiro menghangat tapi ia masih sedikit canggung. Hiro tidak henti-hentinya mengusap punggung sang anak. Jujur saja, ia juga butuh istirahat. Jangan sampai Hiro drop karena Alan meembutuhkan dirinya. "Mana ekas luka Papa?" tanya Alan sambil mengusap leher Hiro. Deg!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN