Awal Pertemuan
"Alan!!!!" Hiro sedikit berteriak karena air berserakan di atas lantai. Entah apa yang sudah dilakukan sang anak. Padahal ia hanya ke kamar mandi beberapa menit tetapi sang anak sudah membuat lantai menjadi basah.
"Alan! Sini." Hiro memanggil sang anak karena wujudnya tidak terlihat. Tenang saja, Alan tidak akan bisa keluar karena pintu apartemen terkunci. Alan masih kecil sehingga tidak bisa membuka pintu dengan kode akses yang sudah diatur sedemikian rupa.
Panggilan kedua tidak kunjung membuahkan hasil. Hiro bergegas mencari sang anak. Kali ini ia memanggil dengan nada lembut. Alan sangat bisa membedakan kapan Hiro sedang tegas dan kapan sedang lembur.
"Iya, Papa." Akhirnya Alan menjawab. Ia keluar dari gorden jendela apartemen. Ternyata gorden menjadi tempat persembunyian baru untuk sang anak.
"Kenapa sembunyi?"
"Papa teliak teliak telus," jawab Alan.
Hiro ingin tertawa. Bagaimana tidak teriak jika dirinya berada di area dapur sedangkan sang anak entah berada dimana.
"Siapa yang tumpahin air ke lantai?"
"Ukan Alan, Pa." Alan menggeleng dengan wajah meyakinkan.
"Terus siapa?"
"Atuh cendili."
Hiro memicingkan mata. Entah sifat siapa yang turun, bisa-bisanya sang anak mengatakan jika air yang berserakan di lantai jatuh sendiri. Apa air tersebut memiliki kaki? Jika iya, baru Hiro percaya.
"Nggak boleh bohong."
Alan langsung menghadap ke dinding. "Alan bohong," balasnya jujur. Ia menjawab tanpa mau melihat ke arah Hiro.
"Papa nggak marah. Coba jelasin, kenapa airnya berserakan di lantai?" Hiro mendekati sang anak secara perlahan-lahan.
Alan mulai menjelaskan walau kesulitan merangkai kata demi kata. Walaupun begitu, Hiro bisa mengerti bahasa sang anak.
"Kalau salah harus apa?" Hiro tidak ingin Alan menjadi anak yang lepas dari tanggung jawab saat melakukan kesalahan. Ya benar memang anaknya masih kecil, tetapi kebiasaan yang baik harus diajarkan sejak kecil agar terbawa sampai dewasa kelak.
"Minta maaf," cicit Alan
"Anak Papa pintar sekali." Hiro memuji sambil mengelus pucuk kepala sang anak. "Coba minta maaf," suruh Hiro.
"Alan calah, Pa. Alan minta maaf."
"Kok nggak mau lihat Papa?" Alan masih membelakangi Hiro.
Akhirnya Alan membalikkan tubuh, kali ini ia minta maaf sambil melihat Hiro.
"Iya, Papa maafkan. Jangan diulangi lagi ya."
Alan mengangguk.
Hiro tidak hanya mengajarkan kebiasaan minta maaf kepada sang anak namun kebiasaannya menyelesaikan apa yang sudah ia lakukan. Jika air berserakan di lantai karena Alan, maka Alan juga yang akan membersihkan lantai tersebut. Walaupun tidak sempurna, tapi Hiro akan tetap menerapkan kebiasaan tersebut.
Hiro memberikan tisu kepada sang anak. Ia mengajari terlebih dahulu dan akhirnya sang anak mengikuti apa yang Hiro lakukan. Perlahan-lahan air di lantai terserap oleh tisu.
"Udah, Pa." Alan melaporkan jika sudah selesai menghilangkan air di lantai. Padahal pada kenyataannya masih ada air yang berserakan di lantai. Meskipun begitu, Hiro tidak masalah. Ia langsung memuji sang anak dan memberikan kecupan singkat.
Aktivitas menghilangkan air di lantai sudah selesai. Hiro memutuskan untuk membuat sarapan pagi. Menu yang tidak terlalu sulit yaitu nasi goreng putih. Hiro menambahkan beberapa sayur agar ada beberapa nutrisi yang masuk ke dalam tubuh Alan. Walaupun tidak semua sayur disukai Alan, tetapi Hiro sudah sangat bersyukur.
Sarapan sudah selesai dibuat. Hiro meletakkan di atas meja makan. Ia memanggil sang anak yang sedang sibuk menonton televisi di ruang keluarga.
"Makan apa, Pa?" tanya Alan.
"Nasi goreng."
"Nasi goleng?"
Hiro mengangguk. Ia mengambil tubuh sang anak untuk diletakkan di kursi khusus.
"No sayul." Alan menutup mulut karena melihat sayur yang tercampur dengan nasi goreng miliknya.
"Enak kok, Papa juga pakai sayur." Hiro menunjukkan nasi goreng miliknya. Tentu saja terdapat perbedaan nasi goreng milik Hiro dan milik sang anak.
"Ndak enak." Alan menggeser piring agar menjauh dari dirinya.
"Enak sayang. Coba dulu dikit."
"No." Alan menolak.
"Baiklah, Papa pisahin." Hiro memisahkan sayur yang sudah ia campur dengan nasi goreng. Tapi tenang saja, walaupun tidak semua pasti ada beberapa potongan sayur yang akan masuk ke dalam mulut sang anak.
Berhubung Alan menolak untuk makan sayur, maka Hiro memilih menyuapi sang anak. Hanya dengan cara ini sayur bisa masuk ke dalam mulut sang anak. Taktik yang dimainkan Hiro cukup berguna. Ia menyelipkan beberapa potong sayur ke dalam mulut sang anak.
"Anak Papa memang pintar," puji Hiro.
"Iya. Alan pintal."
Hiro tersenyum. Ketika sayur sudah habis, barulah Hiro membiarkan sang anak makan sendiri. Hiro juga mulai menghabiskan nasi goreng miliknya.
"Mau nasi goleng Papa," pinta Alan.
"Nggak boleh, pedas." Hiro menirukan gaya orang yang sedang kepedasan.
Alan menyerahkan air miliknya kepada Hiro. "Inum, Pa."
"Iya sayang." Hiro pura-pura meminum air milik sang anak.
Sarapan sudah selesai. Keduanya memilih untuk masuk ke dalam kamar. Hiro menghidupkan televisi yang ada di dalam kamar. Alan otomatis langsung naik ke atas ranjang. Televisi menampilkan kartun anak-anak yang tentu saja mendidik.
"Papa kelja?" tanya Alan karena melihat Hiro membuka laptop.
"Iya. Papa kerja sebentar." Walaupun di hari libur, tapi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Hiro. Apalagi beberapa waktu ke belakang ia meninggalkan beberapa pekerjaan.
Sedang sibuk melihat laptop, suara notifikasi pintu berbunyi. "Siapa yang ingin bertamu?" tanyanya pada diri sendiri. Jika teman-temannya, mereka akan langsung masuk karena tahu kode akses apartemen. Data mereka juga sudah ada di petugas keamanan apartemen jadi tidak akan ada masalah berlalu lalang di kawasan apartemen.
"Papa mau kemana?" tanya Alan karena melihat Hiro yang ingin keluar kamar.
"Ke depan."
"Itut..." Alan turun dari ranjang. Ia mengikuti langkah Hiro menuju pintu.
Hiro melihat sistem interkom yang terpasang di apartemen nya. Sistem ini memungkinkan dirinya berkomunikasi dengan orang yang ada di depan pintu atau di pintu utama yang ada di lantai bawah.
"Ada apa, Pak?" tanya Hiro karena melihat sosok petugas keamanan apartemen di pintu utama lantai bawah melalui monitor sistem.
"Ada yang mencari, Bapak."
"Siapa?"
Petugas keamanan langsung memberikan informasi umum terkait seseorang yang ingin menemui Hiro.
"Hana?"
"Iya, Pak."
Hiro tidak tahu apa ada kenalannya yang bernama Hana. Tapi seingat Hiro tidak ada. Berhubung ia sangat penasaran, maka Hiro memutuskan untuk melihat langsung ke lantai bawah. Jika orang tersebut memiliki niat jahat, maka ia terlalu berani masuk ke dalam kawasan apartemen. Sistem keamanannya tingkat tinggi. Bahkan petugas keamanan bisa tahu apa orang yang datang memiliki riwayat kejahatan atau tidak.
Hiro membawa Alan turun ke bawah. Saat dirinya melewati pintu utama, ia melihat seorang perempuan yang cukup muda.
"Cari siapa?" tanya Hiro langsung.
Perempuan itu langsung mendekati mereka, lebih tepatnya mendekati Alan.
"Alan," lirih perempuan misterius. Matanya bahkan berkaca-kaca. Saat ia ingin menyentuh Alan, Hiro dengan cepat menghindar. Tentu saja ia was-was jika sudah berhubungan dengan Alan.
"Jaga jarak!" tegas Hiro agar perempuan itu tidak terlalu dekat dengan mereka.
"Saya bukan orang jahat," jelas perempuan tersebut.
"Terus kenapa cari saya?"
"Saya Hana."
Hiro tidak butuh nama perempuan itu, ia hanya ingin tahu kenapa mencari dirinya. Apalagi mereka tidak pernah saling mengenal.
"Kenapa mencari saya?" Hiro kembali bertanya.
"Saya mencari Alan," jawab Hana.
Mendengar jawaban tersebut, Hiro langsung mendekap erat tubuh Alan. "Kami tidak kenal siapa kamu."
"Saya Hana."
"Bukan itu maksud saya-"
"Saya adik Kak Yuna," potong Hana langsung.
"Yuna?"
Hana mengangguk. Nama yang tidak asing bagi Hiro.
"Adik ipar kakak saya?" Hiro memastikan sekali lagi.
"Iya. Adik Ipar Kak Heri."