59. I Couldn't be More Sorry

1391 Kata
Ada seseorang yang tersentak saat mendengar pintu di unit 08 terbuka dan dia segera berdiri setelah dua jam lebih duduk di depan pintu rumahnya sendiri. Choi Yong Do membulatkan kedua matanya sewaktu pria dengan aura menakutkan itu berhenti di depan Kim Jang Mi. “Tuan Pa-“ PLAK Sepasang manik cokelat milik Choi Yong Do semakin melebar saat melihat bagaimana dengan gampangnya Park Yibeom mengayunkan tangan ke pipi Kim Jang Mi dan pria bertubuh kekar itu menerimanya begitu saja bahkan saat Park Yibeom menamparnya sebanyak tiga kali. Da’da Choi Yong Do mengembang dan napasnya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya ikut membeku, seakan-akan merasakan efek samping tindakan kejam itu. “Urus baik-baik anak itu, Jang Mi. Jika sekali lagi dia berbuat onar, kuhabisi kau.” Desisan itu terdengar jelas di rungu Choi Yong Do, membuatnya menelan saliva. Oh ya Tuhan, orang macam apa dia? Seumur hidup, Choi Yong Do tak pernah mendengar ucapan seperti itu. ‘Habisi’. “Baik, Tuan.” Ucapan Kim Jang Mi dibalas dengan decihan tajam dari Park Yibeom. Tidak ada kalimat lagi yang keluar dari bibir lelaki itu. Semilir angin mengentar tubuhnya berputar dengan entakan kaki yang seperti memekakan telinga dan sekali lagi Choi Yong Do menjadi sangat ketakutan. “Yi- Yiseo.” Memanggil nama itu, membuatnya tersadar. Dengan mata yang melebar dan da’da berdebar ketakutan, Choi Yong Do memberanikan diri untuk melangkah. Namun, sebelum masuk ke dalam apartemen Yiseo, ia pun menoleh ke belakang. Menatap iba si lelaki bersetelan jas hitam yang kini tersenyum sendu dan menganggukkan kepalanya. “Masuklah,” kata Jang Mi. “nona Park membutuhkanmu.” Lanjutnya. Choi Yong Do mengangguk. Memasukkan password dan mendorong pintu tersebut. “YISEO!” teriaknya. Lelaki muda Choi itu menghentikan langkahnya di tengah ruangan. Menengadahkan wajah, lantas memutar tubuhnya sambil terus meneriakkan nama sang gadis. “YISEO … YISEO-ah!” Saat panggilannya tidak terjawab, Choi Yong Do pun berdecak kesal. Seketika kepanikan melanda, membuatnya kembali mengambil langkah. Hanya ada dua kamar di lantai satu dan Choi Yong Do yakin kalau Park Yiseo berada pada salah satu bilik. “YISEO ….” Pria muda itu tidak mau berhenti meneriakkan nama temannya. Dengan wajah cemas dan bibir yang tidak berhenti berdecak, Choi Yong Do tidak ingin menyerah begitu saja. Ia menekan salah satu gagang pintu. Dimulai dari ruangan medium dan di sini sangat rapi. Tidak ada furniture lain selain lemari pakaian, meja rias yang kosong dan ranjang king size yang begitu rapi dan seperti tidak pernah disentuh. Maka Choi Yong Do langsung bisa memutuskan jika ini bukan kamar Park Yiseo. Lelaki itu mendengkus. Menarik dirinya dan menutup pintu. Dia kembali melangkah. Menekan gagang pintu yang lain dan saat itu Choi Yong Do mengernyit. Terdengar bunyi berderik yang panjang saat Choi Yong Do mendorong pintu. Seketika matanya melebar. “Yiseo ….” Dan panggilan barusan menjadi bukti bagaimana Choi Yong Do merasa sangat khawatir. Ia berlari, lantas menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang, tempat seorang gadis tengah menunduk sambil memeluk kedua kakinya. “Yiseo!” Sambil menatap gadis itu, Choi Yong Do mulai menggerakkan kedua tangan. Perlahan-lahan hingga memegang kedua sisi lengan Park Yiseo. Perlahan-lahan, kepala itu mulai bergerak lantas mendongak. “Yi- Yiseo,” panggil Yong Do, terus-menerus. Manik cokelatnya semakin lebar, tampak pupilnya ikut bergetar. Seakan-akan jiwanya ikut merasakan apa yang tengah dialami oleh gadis di depannya. Park Yiseo menurunkan tatapan dan detik itu juga manik Choi Yong Do membulat sempurna. “Ya, Tuhan,” gumam Yong Do kali ini. Entah bagaimana, ia tidak memerhatikan ini sebelumnya. Choi Yong Do terlalu fokus pada wajah Yiseo sehingga ia tak melihat kondis Park Yiseo yang sebenarnya. “Ba- bagaimana bisa?” Choi Yong Do masih tidak habis pikir. Bagaimana garis-garis merah itu memenuhi seantero lengan Park Yiseo. Pertanda jika gadis itu baru dilukai dengan cemeti. Namun, entah apa yang terjadi pada wajah Park Yiseo yang malah terlihat sendu. Tak ada air mata. Setitik pun tidak ada. Semua itu membuat Choi Yong Do bingung. “Ap- ap-“ Ucapan Choi Yong Do terputus-putus dan ia sama sekali tak bisa meneruskannya, sehingga pria muda itu memilih untuk memalingkan wajah. Membuka mulut dan melepaskan desahan panjang. “Oh, God!” Semua ini di luar batas akal sehatnya menerima. Choi Yong Do langsung bisa menebak apa yang telah terjadi pada Park Yiseo dan siapa manusia yang bertanggung jawab untuk hal ini. Namun, bibirnya memilih untuk bisu. Yang terpenting adalah bagaimana memulihkan kondisi Yiseo. Sekali lagi Choi Yong Do memutar wajah dan memberikan atensi penuhnya kepada gadis yang sedari tadi hanya berdiam diri dengan wajah sendu dan bibir pucat. “He- hei,” panggil Yong Do. Suara lelaki itu bergetar. Entah mengapa ia jadi tidak sanggup menatap wajah Park Yiseo sehingga ia pun melempar wajahnya ke bawah dan melepaskan desahan panjang. Sejurus kemudian pria itu berdecak dan kembali mendongak. Memaksakan seulas senyum di wajahnya. “Kau mendengarkanku?” Pria itu terus berucap sekalipun tidak ada satu pun dari ucapannya yang direspon oleh Park Yiseo. “Kumohon, katakan sesuatu Yiseo,” kata Yong Do. Namun, tetap saja Park Yiseo diam. Matanya memandang Yong Do, tetapi tak ada nyawa dari tatapan gadis itu. Kosong dan tak berarti. Untuk kesekian kalinya Choi Yong Do mendesah. Sedetik kemudian matanya kembali membulat ketika otaknya memberikan ide. Bergegas Choi Yong Do merogoh ponselnya dari dalam saku celana. Tangannya bergetar, tak dapat menyembunyikan kepanikan yang sedari tadi telah menguasainya. “Damn it!” pria itu memaki dengan suara rendah. Merutuki jarinya yang terus bergetar. Butuh usaha ekstra untuk bisa menemukan nomor telepon sang ibu. “Come on, mom, pick up the phone,” gumam Yong Do. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Sekilas ia menatap Park Yiseo dan kepanikan semakin menyeruak. “Come on, mom.” Choi Yong Do terus bergumam. “Yong Do?” Seketika matanya melebar. “Oh, thank God!” gumam Yong Do. “Ada apa, Nak?” “Mom, bisakah kau kemari?” “Ada apa? Bukannya kau yang bilang kalau kami pulang saja?” Choi Yong Do berdecak kesal. “Aku membuat kesalahan. Sekarang aku membutuhkanmu,” kata Yong Do. Dari gelombang suara putranya, Goo Hae Young bisa menangkap getaran tak bisa yang menandakan jika putranya sedang dalam keadaan genting. “Apa yang terjadi, Nak?” Pertanyaan Goo Hae Young dibalas dengan desahan panjang oleh Choi Yong Do. Sekilas ia menunduk dan merasa sangat tak berdaya. Lalu, perlahan-lahan ia memutar wajah. Dengan pandangan sendu itu ia menatap Park Yiseo. “Yiseo,” kata Yong Do. “tolong Yiseo, Ibu.” “Ada apa?” tanya Hae Young. Sesetika ia menjadi sangat panik. “Aku juga tidak tahu, Ibu. Dia … dia tidak merespon panggilanku,” jelas Yong Do. “Ap- well, ap-“ Goo Hae Young menggagap. “Bisakah kau jelaskan situasimu?” tanya wanita itu. Untuk sekelebat, Choi Yong Do terdiam dan menghela napas dalam-dalam. “Dia terdiam. Tidak merespon apa-apa. Wajahnya pucat. Bibirnya kering dan pandangannya kosong,” ujar Yong Do. “Oh, my God!” “Dan … lebih parahnya lagi, lengannya terluka.” Terdengar desahan panjang dari Goo Hae Young sebelum dia berucap, “Oke. Aku ke sana sekarang.” “Cepatlah, Bu. Aku sangat takut.” “Oke, Honey. Yang perlu kau lakukan adalah terus memanggil namanya. Pastikan dia tetap terjaga. Aku ke sana sekarang,” ujar Hae Young. “Hem,” gumam Yong Do lantas mematikan sambungan telepon. Perlahan-lahan, Choi Yong Do menjatuhkan tubuhnya. Terduduk di atas lantai, menghadap Park Yiseo. Gadis itu masih menekuk lutut dengan pandangan kosong. Entah di mana pikirannya saat ini. Satu-satunya yang bisa dilakukan Choi Yong Do adalah terus memanggil namanya. “Yiseo, you hear me. I’m sorry. Aku sangat minta maaf karena aku tidak menepati janji,” ujar pria itu. Dia menundukkan kepalanya. Menyatukan kedua tangan di atas kakinya yang tersilang. “Kau telah menolongku berulang kali dan aku tidak bisa melindungimu.” Choi Yong Do mendongak. “I couldn’t be more sorry.” Hanya tatapan sendu yang bisa terpatri di wajah Choi Yong Do, akan tetapi di dalam hati ia terus menyalahkan dirinya. Berjanji pun tidak ada gunanya apabila ia tak bisa melindungi seorang gadis yang rela mempertaruhkan keadaan dirinya, jiwanya dan mentalnya untuk menolong Choi Yong Do. “Kumohon, katakan sesuatu. Apa pun itu, kumohon, Yiseo. Jangan diam. Jangan seperti ini, sungguh.” Hingga selapis cairan bening memaksa keluar dari antara pelupuk mata Choi Yong Do. Pria itu menunduk. Menggelengkan kepalanya sambil terus merutuki dirinya. ________________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN