Melbourne, 11.18 pm
___________________
Park Yiseo mengerutkan keningnya sewaktu motor sport milik Nicholas berhenti di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik. Sayup terdengar bunyi dentuman musik dari dalam. Dari halaman parkir, Park Yiseo bisa melihat kelap-kelip lampu disko bersamaan luapan manusia yang berada di dalam rumah tersebut.
Kemudian gadis Park itu memutar pandangan. Dilihatnya deretan motor dan mobil sport yang harganya ribuan bahkan jutaan dolar terparkir di sepanjang halaman yang membentang luas tersebut.
Belum cukup sampai di situ, Park Yiseo ternyata harus menahan rasa terkejutnya saat sepasang pintu kayu dengan bagian atas kaca itu terbuka.
“Hei,” sapa seorang gadis berambut merah. “welcome King Boy.” Lanjut gadis itu sambil mendelikkan matanya menunjuk ke dalam.
Ekspresi wajah Nicholas terlalu datar sampai ia memutar wajahnya ke samping. Pria muda Hamilton itu langsung menyeringai saat melihat ekspresi yang ditunjukan oleh Park Yiseo. Mulut gadis Asia itu menganga bersamaan dengan matanya yang melebar sempurna.
“What the …,” gumam Yiseo. Dia benar-benar tidak percaya dengan pemandangan di depannya.
Park Yiseo memang tak pernah benar-benar mengenal siswa dan siswi yang bersekolah di Golden Smart School, tetapi para pria muda dan gadis-gadis remaja yang berada di sini. Oh, ya ampun. Bagaimana Park Yiseo bisa percaya dengan semua ini.
Para wanita memakai pakaian super seksi sedangkan para lelaki terlihat menikmati gan’ja dari baki dan dihisap dengan hidung memakai filter. Seketika Park Yiseo menggoyangkan kepalanya. Gadis itu tersentak sewaktu merasakan tekanan kasar di pundaknya. Refleks, Park Yiseo menoleh ke samping. Didapatinya seringaian di wajah Nicholas. Lelaki Australia itu memandangnya sambil terus menyunggingkan seringaian.
“Tidak perlu sekaget itu,” ucap Nick dengan santai. “ini belum seberapa.”
“Apa?” gumam Yiseo. Gadis itu memutar tubuhnya menghadap Nick. Ia melilitkan kedua tangan di depan da’da. Memberikan tatapan terbilang sinis pada Nicholas. “Nick, kau bilang ini frat party bukan pesta nar’koba. Aku tidak mau membahayakan diriku dengan berada di tempat ini,” ujar Yiseo.
Sambil membolakan matanya dengan pandangan sinis, Park Yiseo bersiap memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu, tetapi Nicholas menahannya. Park Yiseo mendengkus, lantas mendelikkan matanya ke atas. Memberikan tatapan makin sinis pada Nicholas.
“Lepaskan aku.” Suara itu terdengar begitu pelan. Bahkan bisa dibilang hampir tak terdengar. Tertutup oleh dentuman musik yang menggema dari dalam ruangan. Namun, Nicholas bisa menangkap dengan jelas guratan emosi yang tersirat dari sepasang manik hitam di depannya.
“Hei, ayolah. Tidak akan ada yang berani ke tempat ini. Lagi pula polisi tidak bisa melintas di wilayah ini,” ujar Nicholas.
Seketika membuat Park Yiseo mengerutkan keningnya. Ia menatap Nicholas selama beberapa detik, lantas gadis itu tergelak sinis. Gadis itu menelengkan wajahnya ke samping lalu kembali dengan suara lantang dan tajam.
“Aku tidak akan pernah membiarkan diriku terlibat kenakalan remaja.”
Dengan mengucapkan kalimat tersebut, Park Yiseo langsung mengempaskan tangan Nicholas dari lengannya. Gadis itu tak bisa mengubah tatapan sinisnya ketika ia melewati tubuh si pria bermata biru tersebut, akan tetapi Nicholas Hamilton bukan tipe pria yang mudah menyerah.
Lelaki itu langsung memutar tubuhnya. Berjalan cepat menyusuli Park Yiseo yang tengah menuruni satu per satu anak tangga. Nicholas memanjangkan tangannya dan dia berhasil meraih lengan Park Yiseo. Pria itu langsung menarik lengan Yiseo kemudian memutarnya.
“Ck!” Park Yiseo berdecak sinis dan mendengkus.
“Percaya padaku, Yiseo. Aku berani menjamin jika kita akan baik-baik saja.”
Park Yiseo terkekeh sinis. “Nick, terakhir kali aku ikut denganmu ke tempat yang berbau diskotik, aku pulang dalam keadaan tak sadarkan diri dan keesokan harinya aku mengalami kejadian terburuk sepanjang hidupku. Dan di dalam sana-“ Park Yiseo mengangkat tangan. Telunjuknya terjulur menunjuk pintu masuk yang masih terbuka. Sekejap Nicholas menoleh ke belakang. “–Ada sekumpulan remaja yang tengah melakukan drugs party dan kau pikir aku akan percaya padamu dan membiarkan diriku masuk ke dalam sana?”
Park Yiseo mendesah kasar. “Hah!” Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Kau benar Nick. Di negaraku tak ada yang seperti ini. Oh, salah. Ada. Tapi mereka dari kalangan kelas menengah. Anak-anak broken home dan runaway yang tak punya tempat tinggal. Tapi aku tidak. Aku punya rumah dan aku punya reputasi yang tinggi. Aku tidak ingin mempertaruhkan nama baikku demi mengikutimu memasuki frat sialan di depan sana,” ujar Yiseo tanpa ada setitik rasa takut di dalam dirinya. Tak peduli lagi apakah setelah ini Nicholas tak mau lagi berteman dengannya. Tidak.
Susah payah Park Yiseo membangun citra dirinya sebagai gadis kelas atas. Ia tak mungkin membiarkan dirinya terdikte oleh ajakan seperti ini. Gadis itu punya pendirian yang kuat. Ia tak akan pernah tergoyahkan hanya karena sebuah omong kosong dari seorang Nicholas Hamilton.
“Hey, Yiseo!”
“APA LAGI?!” teriak Yiseo. Sekali lagi mengempaskan tangan Nicholas dengan kasar.
Tampak pria itu menutup mata beberapa detik sewaktu ia menghela nafas panjang.
“Oke,” ucap Nick. Matanya kembali terbuka. Sehingga ia bisa melihat ekspresi di wajah Park Yiseo. “Kita tidak akan masuk ke sana, oke.”
“Kita?” Park Yiseo bertanya dengan senyum sinis. “Aku tidak melarangmu untuk masuk. Kau bebas. Lagi pula katamu tak ada yang perlu kau khawatirkan. Sepertinya kau telah biasa mengadakan pesta seperti itu, Nick. Sekarang kau membuatku penasaran apakah kau juga pema’kai?”
Nicholas mengerutkan keningnya. “What?” gumam pria itu.
Tingkah Nick membuat Park Yiseo tersenyum miring. “Ya. Kau pema’kai, kan? Tidak mungkin seseorang yang datang di drugs party hanya menonton orang-orang yang menjadi sucker,” ujar Yiseo.
Mulut Nick terbuka. Ia terkekeh. Lelaki itu berkacak pinggang. Menunduk selama beberapa detik lalu kembali menatap Park Yiseo.
“Hei, Yiseo. Melbourne memang bebas, tetapi aku tidak pernah membiarkan diriku menghisap benda har’am itu. Karena buat apa? Seperti katamu aku bukan anak broken home dan bukan runaway. Apa yang membuatku harus menjadi sucker?”
“Karena budaya di negaramu, Nick!” tegas Yiseo.
“Bagaimana jika kubuktikan kalau aku berbeda?” tantang Nicholas.
Untuk beberapa saat Park Yiseo terdiam. Tak ingin menyahut. Mereka hanya saling bertatapan dalam diam. Tampak kerutan di dahi Yiseo dengan pandangannya yang berubah. Mulai menyelidik.
“Bagaimana kalau aku bisa membuktikan kalau aku berbeda seperti orang-orang di dalam sana, walaupun kami berada di dalam satu frat. Ketahuilah, Park Yiseo, menyimpulkan sesuatu dengan sangat cepat malah akan membuatmu menuduh sembarangan.”
Park Yiseo memilih untuk tidak menyahut. Matanya terpaku pada sepasang iris biru di depannya. Tampak tak bergetar. Stabil. Embusan napasnya juga stabil. Tak ada kebohongan pada tatapan tersebut. Sejurus kemudian Park Yiseo bergeming.
“Oke,” ucap gadis itu. “tapi kau harus katakan padaku alasan mengapa aku harus mengikutimu dan membahayakan diriku hanya untuk melihat apakah kau berbeda dari orang-orang di dalam sana.”
Sudut bibir Nick bergerak membentuk seringaian. “Karena jika kau tidak melakukannya, maka kau akan menyesal.”
Park Yiseo tergelak ironi. Ia menggeleng dan kembali menatap Nick dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Tak ada yang bisa kusesali dengan tidak menuruti permintaanmu, Nick.”
“Ini bukan permintaan, Nona Park. Ini pembuktian. Pembuktian diriku.”
Tampak Park Yiseo memberengut sambil mengedikkan kedua bahunya.
“Well, mari lihat seberapa baik dirimu itu.”
_______________