26. Hangout (2)

2024 Kata
Sore hari di Melbourne. Waktu sudah menunjukan pukul lima sore dan Nicholas membawa Park Yiseo pada salah satu tempat kongkow yang cozy di Melbourne. Terletak di Myer Melbourne 3, Bourke St, sebuah tempat bernama Brunetti. Nama yang cukup unik untuk sebuah café. Nick memarkirkan motornya di sana. Park Yiseo mengernyit sewaktu melihat keramaian yang berada di tempat tersebut. Namun, gadis itu tetap turun. Menyerahkan helm pada Nick kemudian bertanya, “Nick, apa tidak ada tempat yang lebih bagus dari ini?” Nick melepas helm, lantas menggoyangkan kepalanya. Membuat rambut blonde itu tampak acak-acakkan hingga ia perlu menyisirnya dengan jemarinya. Lelaki bermata biru itu tersenyum sambil mengambil helm dari tangan Yiseo. Nick tak berucap apa-apa sampai dia turun dari atas motor. “Ayolah, ini tempat iconic di Melbourne,” ucap Nick. Dia menaruh tangannya ke atas pangkal bahu Park Yiseo, lantas mengedikkan kepala menunjuk ke arah café. Park Yiseo mendelikkan matanya ke atas. Gadis itu melilit kedua tangan di depan da’da dan wajahnya tampak begitu malas. Bukan tempat seperti ini yang biasanya menjadi tempat hangout Park Yiseo sewaktu di Seoul. Dia dan teman-temannya akan selalu memilih private café di Gangnam dengan segala kemewahan yang hanya bisa dijangkau oleh kaum kalangan kelas atas. “Ada pepatah yang berlaku di Melbourne,” kata Nick. Masih menggandeng Park Yiseo dari samping, ia pun menunduk dan menatap gadis itu. Park Yiseo mendongak sekilas. Namun, ia tak ingin menanyakan apa pun. Ciri khas Park Yiseo yang tak ingin bertanya sekalipun itu sangat penting. “Jika kau belum ke Brunetti, itu artinya kau belum hidup.” Perkataan Nicholas barusan membuat Park Yiseo terkekeh sinis. Ia pun menggelengkan kepala. “Ridiculous,” gumam Park Yiseo. Tatapan gadis itu kembali menjadi dingin dan penuh intimidasi. Wajah tanpa ekspresinya malah membuat Park Yiseo terlihat menggemaskan di mata Nicholas. Apalagi saat ia menepis tangan Nick dengan kasar, lelaki berambut blonde itu malah terkekeh dibuatnya. “You are so rare, Yiseo.” Nick bergumam sambil menggelengkan kepalanya lambat-lambat. Untuk pertama kalinya Nicholas Hamilton mendapat penolakan bahkan itu dilakukan berkali-kali oleh seorang gadis. Semua itu membuat Nicholas merasa jika gadis di depan sana ada sesuatu yang pantas ditaklukan. Tak ada yang boleh menolak pesona seorang Nicholas Hamilton. Lelaki itu berjalan menyusul Yiseo. Tampak gadis Park itu tengah mendekati cake showcase yang berada dekat bar. Matanya terlihat begitu serius menatap berbagai Italian pastry di depannya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya salah seorang staff café. Park Yiseo mendongak. Masih tak melepas tangannya di depan da’da, ia pun bertanya, “Aku ingin kue yang rendah kalori, tanpa gula dan pemanis buatan.” Terlihat staff yang berdiri di belakang showcase itu memberengut. Matanya turun menatap deretan pajangan cake di depannya. “Umm … kami punya zeppole dan sus tiger, creamnya tanpa gula. Cocok untuk Anda yang sedang diet,” ujar wanita di depan Yiseo. “Kalau begitu aku mau itu. Oh ya, apa yang ini wasabi cake?” tanya Yiseo sambil menunjuk salah satu cake berwarna hijau. “Ya,” jawab si wanita. “Berapa total kalorinya?” Seketika si wanita staff toko itu membolakan matanya. Ia memutar tubuh. Memandang dua orang temannya yang berdiri di belakang. Mereka menoleh sambil mengerjakan pesanan tamu lain. Tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan Yiseo, ia pun kembali memandang Yiseo. Mulut wanita itu terbuka, tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Nick tertawa kecil melihat betapa kritisnya pemikiran seorang Park Yiseo. Hanya untuk memakan sepotong kue, ia perlu menimbang jumlah kalori, lemak, kolesterol, karbohidrat dan gula bahkan protein yang terdapat di dalamnya. “Tolong berikan dua cheese panini, dan satu ice chocolate coffee tambahkan dairy, almond dan soy,” ujar Nick. Ia memindahkan tatapannya pada Park Yiseo yang masih berdiri di sampingnya. “Kau mau minum apa, Yiseo?” Park Yiseo pun mendongak. “Flat white coffee tanpa gula,” ujar Yiseo. “Dan kue-mu?” “Wasabi dan zeppole,” kata Yiseo. Akhirnya dia menetapkan pilihan setelah melalui banyak pertimbangan. “Kau mau gelato?” tanya Nick. “Oh, tidak. Aku tidak suka es krim,” kata Yiseo. Akhirnya Nick menemukan sesuatu untuk bisa menjatuhkan Park Yiseo dan ini menarik. “Ahh … Yiseo, yang kumaksudkan gelato bukan es krim. Kau tahu perbedaan es krim dan gelato, kan?” Tampak sudut bibir Park Yiseo naik membentuk seringaian dan ia pun memutar tubuhnya ke samping. “Es krim mengandung sekitar sepuluh persen lemak yang dihasilkan dari kuning telur dan krim. Sedangkan gelato hanya mengandung sekitar lima sampai tujuh kalori karena tidak menggunakan kuning telur yang membuatnya mengandung lemak jenuh lebih sedikit dibandingkan dengan es krim, tetapi keduanya termasuk dessert yang mengandung gula dan lemak sehingga aku tidak pernah berniat untuk mencicipinya,” ujar Yiseo panjang lebar. Seketika Nick mendesah dan membolakan matanya. “Oke, penjelasan yang panjang,” gumamnya. Lelaki itu kembali membawa pandangannya pada staff toko. “tolong siapkan pesanan kami.” “Baik, Tuan.” Nick mengangguk. Menyerahkan kartu debitnya untuk membayar makanan mereka. Café ini terbilang begitu unik. Para pelanggan harus membayar makanan mereka lebih dahulu untuk mendapatkan tempat duduk. Hal ini berguna supaya para pelanggan tak perlu bingung dengan tempat duduk. Karena tempat ini sangat ramai, apalagi di akhir pekan. Setelah mendapatkan struk, Nick dan Yiseo menuju ke lantai dua, sebab mereka mendapat tempat duduk di sana. “Syukurlah kita dapat tempat di samping jendela,” gumam Nick. Seperti biasa Park Yiseo tidak menyahut. Yiseo duduk dengan anggun pada salah satu kursi terbuat dari rotan yang disepuh warna abu-abu. Tempat di lantai dua terlihat lebih cozy dan instagramable, hanya saja Park Yiseo terlalu malas untuk mengambil foto apalagi membuat story di i********:. “Kau tidak membuat story?” Oh, baru saja itu terlintas di benak Park Yiseo dan sekarang Nick sudah mengatakannya. Bagaimana bisa ia mengambil gambar di tempat seperti ini? Teman-teman dan followernya akan menghina Yiseo habis-habisan. Oh, jangan sampai ada yang mengenalinya di tempat ini. Park Yiseo tersenyum samar. “Tidak,” ucapnya singkat. Gadis itu langsung membawa tatapannya ke luar jendela. “Permisi ….” Nick memindahkan atensinya pada seorang pelayan café yang membawa sebuah nampan berisi pesanan mereka. Wanita itu menaruh satu per satu makanan dari nampan ke meja. Sementara Yiseo masih tidak berucap apa-apa selain menatap jalanan di luar. Kelopak matanya menyipit sewaktu manik hitamnya menangkap visual seorang pria yang tengah menaiki skateboard. Ia melompat dan papan yang berada di bawah kakinya ikut terbalik. Menaiki besi penyanggah tangga, lantas melesatkan papan seluncurnya di sana hingga mendarat di beranda restoran. Lelaki itu membuka topi hingga menampakan wajah tampannya. Yiseo pun menyeringai. Ketika berhasil mengenali visual itu. ‘Dia berseluncur dari apartemen hingga ke sini? Apa dia mengikutiku? Ah, tidak mungkin. Mana bisa dia mengalahkan kecepatan motor Nick. Tapi bagaimana dia bisa berada di tempat ini?’ batin Yiseo. “Kau benar tidak mau mencoba ini?” Park Yiseo memutar wajah. Kembali memberikan atensi penuhnya pada Nicholas, akan tetapi pikirannya masih memikirkan si pria ber-hoodie yang dilihatnya tadi. “Hem?” tanya Yiseo. “Kau harus coba cake ini. Demi apa, ini benar-benar enak,” ujar Nick. “Tidak, Nick,” tolak Yiseo sambil mengangkat tangannya di depan da’da. “Aku tidak suka makanan manis. Tolong nikmati saja milikmu,” ucap Yiseo. Nick mendesah panjang. “Oh ya, kau keberatan jika aku bertanya tentang kehidupanmu di Seoul?” tanya Nick sambil menyendok cake di depannya. Yiseo memilih untuk menyesap kopinya. “Tak ada yang istimewa. Hanya kehidupan terkontrol seperti gadis berkelas pada umumnya dan sejujurnya itu membosankan,” ujar Yiseo. Kening Nick melengkung ke tengah. “Kenapa? Apa hidupmu sejak dulu sudah dikontrol?” Yiseo memanyunkan bibirnya. “Ya,” kata Yiseo. “memang seharusnya begitu, ‘kan?” Nick menggeleng. “Tidak juga,” katanya. “aku tidak seperti itu. Sejak dulu aku selalu bebas. Melakukan apa yang ingin kulakukan,” ujar Nick. Park Yiseo tertawa anggun. Menjaga image-nya. “Benarkah?” tanya Yiseo. Tangannya bergerak mulai menyendok cake di depannya. Sekilas ia menatap cake di atas meja, lalu menatap Nick. “Ya,” kata Nick. “Well, sekarang katakan padaku. Apakah sejak dulu kau yang memilih sekolahmu?” “Kecuali masalah pendidikan. Sudah pasti itu urusan orang tua,” ucap Nick. “Itu artinya hidupmu masih terkontrol, Nick.” “’Ya, tapi maksudku, aku bebas melakukan apa pun. Kedua orang tuaku tak pernah mengontrol hidupku. Menyuruhku harus begini dan begitu.” “Orang tuamu tak keberatan jika kau menggunakan nar’koba?” tanya Yiseo. Tak ada basa-basi sama sekali. “Kenapa aku harus memakainya?” Nick balik bertanya. Yiseo menghela napas. Ia pun mengedikkan kedua bahu. “Kau bilang bebas melakukan ini itu, aku hanya asal bertanya. Nick mendesah panjang. “Drugs? That’s not my cup of tea,” ujar Nick. Park Yiseo tak menjawab. Lebih memilih untuk membawa punggungnya ke sandaran lalu menggulung tangannya di depan tubuh dan menumpuknya di atas ulu hati. Gadis itu mengembuskan napasnya perlahan sambil mematri tatapan pada Nick. “Ada beberapa hal yang menjadi perbedaan, Nick. Budaya antar negara kita juga sangat berbeda. Di Seoul ada aturan yang membedakan setiap kasta. Sehingga orang-orang bisa mengetahui kau dari kaum kalangan kelas mana, bahkan hanya dari caramu memegang cangkir teh. Orang-orang yang punya kasta lebih tinggi, kebanyakan selalu memperhatikan hal-hal di sekeliling mereka secara detail karena sejak kecil mereka sudah diajarkan untuk selalu bersikap seperti bangsawan. Cara berbicara dan cara berpikir orang-orang kelas atas dan kelas menengah pun jauh berbeda. Bahkan ada tempat-tempat khusus yang hanya boleh didatangi oleh orang-orang kelas atas.” “Jadi maksudmu ada ketimpangan sosial di negaramu?” Park Yiseo mengedikkan kedua bahu. “Kurasa semua negara melakukan hal yang sama. Ada kesenjangan sosial di setiap negara. Semua itu sudah menjadi budaya di setiap negara. Namun, aku menyukai dunia yang seperti itu. Memang haruslah demikian. Orang-orang yang lahir dari kaum elit, harus tahu membuat diri mereka berbeda. Autentik dari segala sisi. Jadi jika hidup kami terkontrol sejak kecil, maka menurutku itu sebanding dengan kehidupan super mewah yang aku jalani,” ujar Yiseo. Ada sesuatu dalam ucapan Park Yiseo yang membuat Nicholas ingin sekali menjatuhkannya. Dari cara bicaranya yang angkuh, tatapan manik hitamnya yang mengintimidasi. Demi apa pun, Nicholas belum pernah bertemu gadis seperti ini sebelumnya. Bahkan Lucy Bannett yang terkenal dengan sifat angkuh dan sombong, tak lebih angkuh dari Park Yiseo. Namun, gadis Park itu benar-benar sangat berhati-hati dengan setiap kalimat yang dia ucapkan. Nicholas kembali bergeming. “Apakah itu yang membuatmu begitu kritis bahkan hanya untuk membeli makanan di restoran mahal?” Bibir Yiseo kembali manyun. Ia pun menganggukkan kepalanya. “Ya,” kata gadis itu. “sebenarnya itu juga untuk kesehatan. Belakangan ini aku sedang malas berolahraga. Untuk itu aku harus menjaga pola makan supaya berat badanku tidak naik,” ujar Yiseo. Sudut bibir Nick terangkat, membentuk seringaian. “Aku bisa membayangkan betapa membosankannya hidup para gadis kaya raya di Seoul,” ujar Nick. “Hem,” gumam Yiseo. “itu dari sudut pandangmu. Tapi, karena aku telah menjalaninya sejak kecil, maka aku tak pernah merasa bosan. Lagi pula para gadis kaya raya di negaraku juga bebas. Mau pergi ke mana pun, asalkan kami bisa menjaga perilaku dan citra kaum kelas atas, maka kami bebas melakukan apa pun.” “Termasuk ke kelab?” Park Yiseo tertawa keras. Ia pun menggeleng kemudian berucap, “Bahkan kami tak boleh minum alkohol sebelum umur kami cukup. Untuk membeli bir di mini market saja kau harus menunjukan kartu identitas. Apalagi ke kelab malam? Baik itu kelab untuk kelas menengah sampai kelab malam kelas atas, mereka tak akan mengizinkan tamu yang tidak memiliki identitas untuk masuk,” ujar Yiseo. Kening Nicholas terangkat. “Wow,” gumamnya. “kalau begitu bersyukurlah karena kau telah datang ke tempat yang tepat.” Nicholas menutup ucapannya dengan seringaian. Park Yiseo mengerutkan keningnya. Namun, seberapa penasarannya ia, tak Mungkin Park Yiseo bertanya duluan. Ia lebih memilih untuk mengedikkan kedua bahu dan mencicipi wasabi cake di depannya. Sementara itu, seringaian Nicholas makin bertambah di setiap detiknya. Otak pria itu tengah memikirkan sesuatu yang bisa menghiburnya. “Oke, Yiseo. Sekarang habiskan dessert-mu. Malam ini kau akan merasakan bagaimana kehidupan kaum kalangan kelas atas di Australia,” ujar Nicholas. ______________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN