“Yakin tak mau habiskan? Kulihat kau hanya makan dua sendok,” kata Nick. Memandang makanan di depan Yiseo.
“Aku tidak suka pastry,” ucap gadis itu.
Nick menghela nafas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat. “Kalau begitu makanan apa yang kau suka?” tanya Nick.
“Nick, aku tidak ingin merepotkanmu. Bukannya apa-apa, tapi aku sangat pemilih. Dan aku cepat bosan pada sesuatu yang mengandung telur dan mentega.”
“Di sini ada makanan untuk vegetarian,” kata Nick.
Park Yiseo tertawa samar. “Aku bukan vegetarian,” kata gadis itu.
“Tapi sejauh ini, yang kulihat kau selalu makan salad saat di sekolah.”
“Karena sekolahmu tak menyediakan wagyu,” ucap Yiseo. Sontak membuat Nick terdiam. Keningnya mulai melengkung ke tengah membuat Park Yiseo terkekeh. “aku bercanda.”
Terdengar embusan napas panjang dari Nick. “Aku sempat berpikir memasukkan wagyu ke daftar menu di kantin.”
Park Yiseo merengut sambil mengedikkan setengah bahu. “Sounds good,” kata gadis itu.
Nicholas pun mendesah panjang untuk kesekian kalinya. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Park Yiseo mendongak. Memandang lelaki itu sambil bersedekap.
“Mau pergi sekarang?” tanya Nick.
Sambil mengulum bibir, Park Yiseo pun menganggukkan kepalanya. Gadis itu menepuk paha sebelum berdiri dari tempat duduk. Ia mengedikkan kepala. Menyuruh Nick duluan. Tidak ingin lagi pria itu menaruh tangannya di atas pangkal bahu Yiseo.
Setibanya di lantai satu, manik hitam Yiseo langsung bertabrakan dengan sepasang iris cokelat milik Choi Yong Do. Tampak matanya melebar beberapa detik setelah melihat Yiseo dan Nick.
“Ayo,” kata Nick.
Senyum tipis menghiasi wajah Yiseo ketika ia melingkari lengan Nicholas dengan gerakan ringan. Bahkan pria itu sedikit terkejut oleh tingkah Yiseo.
“Ayo,” kata Yiseo. Menarik lengan Nick untuk segera pergi dari sana.
Sementara itu Choi Yong Do terlihat mendengkus. Matanya tak bisa diam. Dengan bodohnya mengikuti dua remaja yang baru saja keluar dari café.
‘Mereka mau ke mana? Lagi pula mengapa harus bertemu di sini? Apa dunia terlalu sempit? Mengapa juga dengan pakaian mereka. Apa mereka sengaja ingin memakai pakaian sama? Atau mereka sedang pacaran?’ Lelaki Choi it uterus bergumam di dalam hatinya.
Dia bahkan masih menatap ke arah Park Yiseo yang kini tengah dipakaikan helm oleh Nicholas. Choi Yong Do mendengkus. Dan entah apakah dia sadar atau tidak, sekarang kedua tangannya sedang mengepal di atas meja.
“Tuan?” Akhirnya suara bas berat itu mengambil alih seluruh atensi Yong Do. “Pesanan Anda,” kata seorang pria. Sambil menyerahkan satu kotak berisi beragam kue yang dipesan Yong Do. Pria itu tak berucap selain memberikan kartu debitnya.
Masih saja penasaran, lelaki muda Choi itu kembali menoleh ke belakang. Didapatinya Park Yiseo dan Nicholas sudah meninggalkan area café. Seketika Choi Yong Do merasa gerah. Napasnya ikut memberat. Namun, untuk semua itu dia masih bingung. Ada apa dengan dirinya itu.
“Terima kasih,” kata Yong Do. Ia mengambil kartu debitnya dan segera meninggalkan café tersebut. Seperti biasa Choi Yong Do akan mengunjungi ayah dan ibunya. Dia bahkan sengaja membelikan kue favorit sang ibu. Namun, entah mengapa hari ini suasana hatinya tidak baik. Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
“Lupakan!” gumam pria itu. “Taksi!” serunya. Choi Yong Do lebih memilih menggunakan kendaraan umum untuk berpergian ke mana-mana.
***
Melbourne, Australia.
09.23 pm
_________
Nicholas benar-benar menepati janjinya. Membawa Park Yiseo ke tempat-tempat iconic di Melbourne. Nick membawa Yiseo ke Flinders Street hanya untuk mengambil gambar. Park Yiseo tak keberatan. Ia pun mendapatkan gambar terbaik di sana.
Tak lama di tempat itu, Nick pun membawa Yiseo ke Melbourne Aquarium yang menutup Park Yiseo biasa saja karena di Seoul ada aquarium lebih besar dan menawan dibandingkan tempat yang didatanginya bersama Nicholas.
Tidak ingin menyerah cepat, Nick pun membawa Park Yiseo ke Sungai Yarra di mana itu juga tak lebih bagus dari Hyundai dan sungai Han. Hampir putus asa, Nicholas akhirnya membawa Park Yiseo ke Melbourne Museum. Di sanalah Park Yiseo terlihat sedikit tertarik dengan tempat tersebut.
Tempat terakhir yang dikunjungi Nick dan Yiseo adalah Dermaga St. Kilda untuk melihat matahari terbenam. Walaupun sesampainya di sana, ternyata matahari sudah terbenam lebih dahulu. Hal itu sempat membuat Park Yiseo kecewa, tetapi ia tetap bisa mengambil gambar di sana.
Dan sekarang di sinilah mereka. Nicholas membelokan motornya memasuki sebuah bangunan bertingkat di kawasan Beaney Ln. Melbourne, Grand Hyatt. Nicholas melempar kunci motor pada petugas valet. Sambil menggenggam tangan Yiseo, Nicholas pun melangkah masuk ke dalam hotel.
“Kita mau ke mana?” tanya Yiseo. Untuk pertama kalinya ia bertanya. Sedikit penasaran mengapa dia harus mengikuti Nick ke tempat seperti ini.
Sudut bibir Nicholas naik membentuk senyum di wajah. “Tempat cozy yang belum pernah kau datangi sebelumnya,” kata Nick.
Park Yiseo mengerutkan keningnya. ‘Apa maksudnya?’ batin Yiseo. Gadis itu hanya memerhatikan senyum Nicholas sampai terdengar bunyi dentingan dan pintu lift terbuka.
Nick pun menelengkan wajahnya. Menatap Yiseo. “Ayo,” kata lelaki itu sambil mengedikkan kepalanya.
Park Yiseo mulai memasang diri siaga. Awas saja kalau Nicholas berani macam-macam. Park Yiseo tak akan pernah segan untuk membanting tubuhnya apalagi mematahkan lengannya.
“Selamat datang, Tuan muda.”
Seketika atensi Yiseo teralihkan. Ia memutar wajah. Menatap beberapa staff hotel yang berpapasan dengan mereka.
‘Tuan muda?’ batin Yiseo. Manik hitamnya mengecil dan seketika ia bisa mengasumsikan posisi Nicholas Hamilton dari panggilan tersebut.
Namun, sebelum semua itu terjawab Park Yiseo kembali dikejutkan dengan bunyi dentuman musik EDM yang langsung menyambar rungunya sewaktu pintu raksasa di depannya terbuka. Sebuah pemandangan yang memang tak pernah dilihat Park Yiseo sebelumnya.
Pintu masuk yang langsung membawa mereka ke balkon. Di bawah sana tampak lampu warna-warni berkilat-kilat menghiasi seantero ruangan. Arredado dengan dekorasi eksotis, menarik dan memesona. Lukisan emas mozaik menempel pada hampir seantero dinding dengan jarak dan space yang ditata dengan aesthetic. Di bawah sana terdapat panggung kecil. Alat musik EDM dan seorang DJ sedang memainkan musik. Lighting panggung sedikit berbeda karena menyesuaikan dengan beat dan tempo dari musik yang dimainkan oleh si DJ.
Dan di sinilah titik unik dari segala kelab malam yang pernah ada. Di mana terdapat dua bar yang terbagi di lantai satu dan juga lantai dua. Nicholas membawa Park Yiseo ke bar exclusive di lantai dua. Pandangan Park Yiseo malah terfokus pada sebuah kabin kaca yang menggantung di sisi kanan lantai dua.
Seperti teras dan memang sebuah teras, hanya saja semuanya terbuat dari kaca. Lantai dan dinding yang mengelilingi tempat itu. Sehingga mata sipitnya agak melebar saat melihat pemandangan di bawah kakinya.
“Ini di lantai berapa?” Sontak Park Yiseo bertanya.
“Lima puluh,” jawab Nicholas.
Mata Park Yiseo kembali melebar. Seketika ia kembali membawa pandangannya ke pada kabin kaca tersebut. Beberapa orang terlihat sedang asyik di sana. Berswafoto, dan bahkan ada beberapa pasangan yang sedang b******u di sana. Demi apa pun, otak Park Yiseo malah memikirkan bagaimana jadinya jika lantai kaca itu retak. Tak bisa terbayangkan bagaimana sakitnya jatuh dari lantai lima puluh.
“Tenang saja. Kaca itu memiliki lapisan lebih tebal dari pada balkon ini,” kata Nicholas. Seakan tahu apa yang dipikirkan Park Yiseo saat ini. Ia pun menarik tangan gadis itu dan mendudukkannya ke salah satu bar stools.
“Strawberry vodka,” kata Nick. Mengangkat telunjuk dan jari tengahnya. “Tambahkan es batu.” Lanjutnya.
“Aku tidak minum alkohol,” kata Yiseo.
Nicholas terkekeh. “Vodka hanya mengandung 3.5% alkohol. Tenanglah kau tidak akan mabuk,” ucap pria itu. “Oh ya, dan itu juga tidak akan membuat berat tubuhmu naik.” Nicholas menutup ucapannya dengan senyuman.
“Minuman Anda, Tuan muda.”
Nicholas kembali menoleh. Mengambil dua buah sloki yang berada di atas meja, lantas membawa salah satu sloki pada Park Yiseo. Gadis itu mengernyit menatap tangan Nick.
“Cobalah. Kau bisa memulainya dengan satu tegukan. Lihat aku,” kata Nick. Pria itu mendorong sloki dan memasukkan cairan putih itu hingga mengaliri kerongkongannya.
“Ayo. Cobalah,” kata Nick sekali lagi. Ia menaruh sloki yang telah kosong ke atas meja lalu memberi isyarat pada si bartender untuk mengisi ulang selokinya.
Park Yiseo memilih untuk mengendus cairan di dalam sloki dan ia mengernyit. Nick yang melihatnya pun terkekeh.
“Jangan seperti itu. Dorong saja ke mulut. Rasanya tak seburuk yang kau pikirkan,” kata Nick.
“Nick, sebutkan alasan mengapa aku harus meminumnya,” kata Park Yiseo dengan tatapan dingin.
“Untuk memperkenalkan Australia padamu. Aku jamin, setelah ini kau akan merasa sangat bebas. Ayolah. Aku bersumpah kau tidak akan mabuk jika langsung menegakkannya. Lihat aku.” Nicholas kembali menegak minuman yang baru saja dituangkan oleh si bartender.
Sambil menghela napas, Park Yiseo mencoba mengikuti gaya Nick. Ia akhirnya menegak minuman itu sambil menahan bau dan rasanya yang sedikit pekat, tetapi ada sedikit rasa manis juga di sana. Sisanya rasanya seperti membakar tenggorokan. Park Yiseo pun membuka mulutnya lebar-lebar. Ia menatap gelas di tangannya.
“Minuman gila,” gumam Yiseo. Dia langsung menaruh gelas ke atas meja.
“Hei, Mia!” seru Nick. Memanggil si bartender gadis. “Berikan kami iris bomb,” kata lelaki itu.
“Apalagi itu? Aku tidak mau.”
“Irish bomb akan meredakan rasa pekat dari vodka. Irish bomb itu unik. Mia coba tunjukan,” kata Nick.
Lantas si bartender dengan cepat mengambil sebuah gelas. Menjatuhkan Baileys dan wiski irlandia dan menambahkannya dengan bir guinness. Nick mengambilnya lalu menegak minuman itu dengan cepat.
“Ahhhh …,” desah Nick. Ia kembali memandang Yiseo. “Sekarang giliranmu.”
“Tidak,” tolak Yiseo tegas.
“Ayolah. Tinggal satu ini. Setelah itu kita tidak minum lagi,” ucap Nick. “Kumohon ….”
Park Yiseo mendesah. “Baiklah,” kata gadis itu.
Seketika senyum Nicholas mereka. Ia pun menoleh pada si bartender. Memberikan gestur lewat gerakan alisnya. Dan dalam hitungan detik, si bartender kembali memperlihatkan atraksi. Tak sampai semenit, segelas Irish Bomb kembali tersaji.
“Teguk dengan cepat,” kata Nick.
Park Yiseo mengambil gelas di atas meja bar lalu menegak minuman itu dengan cepat. Tampak wajahnya mengernyit, tetapi kali ini minuman yang masuk ke dalam tenggorokannya tak seburuk minuman pertama. Namun, Park Yiseo tetap tak sanggup menghabiskannya.
“Ahhhh …,” desahan itu mengalun setelah Yiseo menjauhkan gelas dari depan bibirnya.
Nicholas tersenyum puas. “Selamat datang di Australia,” kata lelaki itu. Ia pun menoleh ke bawah. “Mau turun?”
Seketika tubuh Yiseo terasa gerah, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong gadis itu. Membuatnya menginginkan untuk menghampiri tempat yang berisik dan dipenuhi lampu warna-warni di bawah sana. Sehingga gadis itu pun bangkit dari tempat duduknya. Ia mendelikkan kepala menunjuk lantai dansa.
Senyum di wajah Nicholas kembali menguasai seantero wajahnya. “Let’s go,” gumamnya. Meraih tangan Park Yiseo. Menggenggamnya dan menuntun gadis itu ke lantai dansa.
__________________