13. Suck All The Pain

2110 Kata
Setelah merapikan rambutnya, Park Yiseo pun keluar dari dalam kelas. Mendapati jika dirinya sudah sangat lapar karena tidak mengisi apa pun sejak pagi, Park Yiseo mendengkus kesal. Sebentar lagi jam pelajaran kedua akan dimulai. Park Yiseo berharap bisa menemukan makanan yang sesuai dengan pola makanannya. Gadis bertubuh ramping itu sudah terbiasa menjaga pola makannya sejak kecil. Tuntutan hidup membuat Park Yiseo harus bisa menjaga tubuh proposional. Lebih sekilo saja, dia akan diet mati-matian untuk menurunkan berat badannya. Dia tidak ingin dipanggil ba’bi oleh teman-temannya. Tahu peris bagaimana perspektif orang-orang di negaranya saat melihat berat tubuh orang lain yang melebihi standar. Sudah pasti akan langsung menjadi objek yang sangat indah untuk dibuat lelucon dan berakhir dengan bully. Saat tiba di kantin, Park Yiseo melihat beberapa teman sebayanya berada di sana bersama beberapa jun'ior. Ini memang belum jam makan siang, jadi tempat ini belum terlalu ramai. Beberapa siswa memilih untuk ke klub mereka. Gadis Park itu mengedarkan pandangan, lalu tatapannya berhenti pada seorang pria yang duduk menyendiri sambil memasang earphone di telinganya. Dia tampak serius dengan gawai di tangan. Minuman kotak dan sebungkus roti berada di depannya. Park Yiseo mendesah. Entah mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang menyuruh gadis itu untuk mengerjai pria tersebut. Namun, semua rencananya berubah saat menangkap visual tiga gadis yang sedang berdiri di depan showcase cooler. Ada desahan halus mengalun tanpa disadari oleh Park Yiseo. Sedikit rasa jengkel timbul di dalam hatinya. Terlebih ketika salah satu dari mereka –si gadis berambut cokelat gelap– menyikut lengan si gadis blonde alias Lucy sehingga gadis itu mendelikkan matanya. Mendapati Park Yiseo berada tak jauh dari tempat mereka berdiri, membuat Lucy menyeringai. “Hey guys ….” Suara Lucy menggema hingga ke seantero ruangan membuat seluruh umat yang berada di situ menaruh atensi penuh kepada si gadis blonde yang baru saja bersuara lantang tersebut. Sambil terus menunggingnyan seringaian licik, Lucy berjalan dengan kedua tangan yang ia lilitkan di depan da’da. Matanya menyiratkan sebuah rencana jahat yang malah membuat iblis batin Park Yiseo tertawa. ‘Astaga … amatir,’ batin Yiseo. “Look at she …,” ucap Lucy sembari berjalan bersama dua temannya. Mengitari tubuh Park Yiseo sambil tidak melepaskan tatapan mata penuh intimidasi itu pada Park Yiseo. “Si gadis Asia. Oh ya, dari mana dia?” “Mother fu’cking Seoul,” sahut salah satu temannya. Si rambut hitam lebat yang dikepang dua. Park Yiseo menyeringai. “You remember that well, Nigga. I appreciated,” gumam Park Yiseo. Betapa percaya dirinya si gadis Asia itu menyebut si gadis berkulit agak gelap dengan panggilan ‘nigga’ sudah jelas dia tahu kalau itu merujuk ke rasis. Terdengar napas kasar barusan berembus dari si gadis yang dipanggil Yiseo dengan –nigga– tersebut. “Sabar Cardi, dia akan mendapatkan gajaran yang pantas,” gumam Lucy. Park Yiseo malah makin senang menyeringai. “Well, aku akan menunggunya dengan antusias,” tantang Yiseo tanpa takut sedikit pun. Dengan sangat percaya diri dia melangkah, tapi dia malah kembali terjebak para perangkap yang sama. Tubuh Yiseo tersandung salah satu kaki yang sengaja ingin mencelakainya. Hal itu membuat tubuh Yiseo melayang dan secepat kilat mendarat di atas lantai. “Awh!” desis Yiseo. Wajahnya berada lima senti meter dari permukaan lantai. Sedangkan kedua sikut tangannya mulai terasa perih dan sudah dapat dipastikan jika akan timbul tanda kemerahan di sana. Namun, ada sesuatu yang malah membuat Park Yiseo tersenyum licik. Menahan tubuhnya di sana sedikit lebih lama karena dia sungguh menantikan bagaimana dirinya akan dipermalukan di sini. “Hahahahahaha ….” Lucy tertawa lantang. “Ada apa denganmu, Barbie? Di mana matamu, hah?” Lucy berucap sambil mengitari tubuh Park Yiseo yang masih berada di atas permukaan lantai. Manik hitam milik Yiseo memandang tiga pasang sepatu pantofel hitam yang kini sedang menikmati tarian mereka di atas lantai keramik. Menertawakan Park Yiseo yang tampak begitu lemah di bawah kaki mereka. Semua orang yang berada dalam ruangan ini, hanya bisa berdecak dan bergumam. Sembari menggelengkan kepala. Ada yang menatapnya dengan tatapan iba, ada juga yang malah ikut menyerangnya dengan kata-kata pedas. Namun, dia antara mereka tak ada satu pun yang mau berdiri dan menolong Park Yiseo. ‘Hemmm … menarik. Semuanya bisa disimpulkan dalam satu kalimat,’ batin Park Yiseo. Otaknya sekarang membuat asumsi jika Lucy memiliki pengaruh di sekolah ini. Sudah pasti jika ada kekuasaan dari orang tuanya yang berada di belakang gadis itu. Sehingga dia bebas melakukan apa pun yang dia inginkan. Dan sepertinya di sini, tidak ada yang berani menghentikannya. ‘Very interesting. Sekarang kau malah mempermudah semuanya. Ayo. Lakukan hal yang lebih kasar dari ini.’ Park Yiseo terus bermonolog di dalam hatinya. Sejurus kemudian dia merasakan tekanan yang hebat di atas panggulnya. Park Yiseo memejamkan mata. ‘Sialan,’ desisnya dalam hati. ‘kenapa harus kaki, hah? Oh, kau akan membayar mahal untuk itu.’ Park Yiseo mendengkus, tapi dia harus menahan semua derita ini lebih lama. Mereka harus benar-benar masuk ke dalam jebakan seorang Park Yiseo. Sementara dua teman Lucy menendang-nendang tubuh Yiseo, gadis blonde itu pun menunduk. Berjongkok di samping tubuh Yiseo lantas menarik rambut hitamnya. Kepala Yiseo terdongak. Memberikan tatapan datar kepada Lucy dan dia benci dengan raut wajah Yiseo yang tidak berubah. Manik hitamnya sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan. Tidak memperlihatkan jika dirinya merasa terancam. Bahkan tidak menggubris rasa sakit yang kini sedang ia rasakan. Lucy mendengkus. Mulutnya mengatup membentuk garis lurus, sedangkan matanya melebar melemparkan tatapan nyalang. “Kau lihat?” desis Lucy. “Kau lihat bagaimana sekolah internasional ini sebenarnya? Hah!” Lucy terkekeh kasar. “Jangan kau pikir kau bisa mengalahkanku di sekolah ini.” Ada sesuatu dalam ucapan Lucy yang membuat Park Yiseo tertawa sinis. Keningnya melengkung ke tengah dan pandangannya mencemooh. Sikap yang ditunjukan Yiseo membuat Lucy mengernyit. “Aish … ahhh, jinja ….” Gadis Park itu terus menggelengkan kepalanya sembari tertawa mengejek. “Hei!” pekik Lucy. Dia menarik rambut Yiseo dengan kasar. Membuat leher Yiseo melengkung, tapi gelak tawanya masih terus menggema di depan wajah Lucy. “Kau sadar?” tanya Yiseo santai. “Kau baru saja mengaku kalau aku ini ancaman. Astaga!” Gadis itu kembali tertawa. “Aku ini hanya murid pindahan dan bahkan kau sudah membuat julukan termanis untukku. Apa katamu? Barbie beast? Hah?” Park Yiseo menyeringai. “Aku suka nama itu. Besok akan kuganti papan namaku.” Park Yiseo menutup ucapannya dengan kekehan sinis. “Kurang ajar!” desis Lucy. Dia kembali menarik rambut Yiseo makin kuat ke belakang. “Awh!” Kali ini Yiseo meringis. Kepalanya seperti ditusuk-tusuk dan mungkin rambutnya akan rontok masal. Awas saja setelah ini. “Kau tidak dalam posisi bisa menertawakanku. Kau memang tidak bisa melihat situasinya, hah?” Mulut Lucy mengencang saat ia mencondongkan wajah. Semakin mendekat ke permukaan wajah Park Yiseo dan mata bulatnya makin melebar. “Tidak ada yang bisa menolongmu dari si-“ “Hei!” Ucapan Lucy terpotong saat mendengar suara barusan. Posisi Park Yiseo yang memang mendongak, membuatnya dengan mudah bisa menatap sepasang manik cokelat, begitu familier di ingatannya. Sementara Lucy menoleh perlahan. Lantas gadis itu mendongak. Didapatinya si pria Asia yang baru saja masuk hari ini. Berdiri di belakang tubuhnya dengan kedua tangan yang ia simpan di dalam saku celana. Sang pria menatap Lucy. Pandangannya tenang, tapi Lucy yakin kalau dia sedang memikirkan sesuatu. Sesaat kemudian mulutnya terbuka. Melepaskan desahan panjang. “Menyingkir dari sana,” ucap lelaki itu tanpa sekali pun melihat Lucy. Ia menegakkan pandangannya. Lurus ke depan. Lucy tidak bergerak. Dia ingin sekali menampar wajah pria yang barusan bersuara itu. Bisa-bisanya dia membela gadis ini. Oh, apa karena mereka dari negara yang sama? Kedengarannya nama mereka sama-sama aneh. Lucy ingin sekali mencekik leher pria itu. Namun, sayangnya lelaki Asia itu sudah menarik perhatian Lucy sejak kemunculannya pagi ini. Belum pernah ada pria yang seberani ini pada Lucy. Semua orang tahu siapa Lucy Banett. Sehingga mereka tidak berani pada gadis itu. Bahkan untuk sekadar menatap matanya. Namun, lelaki Asia ini berbeda. Lucy tidak memikirkan wajahnya yang tampan, tapi sifatnya yang benar-benar unik. Semua itu membuat Lucy memutuskan untuk menaruh perhatian lebih pada pria itu. “Hey, Icy. Aku tidak ingin menamparmu di depan umum dan kau seharusnya tidak membela jalang ini.” Lelaki di belakang Lucy memindahkan tatapan matanya pada sepasang manik cokelat yang masih mendongak dengan raut wajah datar tersebut. “Siapa yang membelanya?” Lucy mengernyit. Terlebih, ketika manik cokelat itu memindahkan tatapannya kembali pada Lucy. Tatapannya malah membuat gadis muda itu kebingungan. “Kubilang menyingkir. Kalian menghalangi pintu keluar,” ujarnya. Secara naluriah Lucy memutar pandangan. Dia mendengkus saat melihat letak posisi mereka. Sialan, tapi mengapa juga dia harus peduli. Ini area kekuasaannya dan Lucy bebas melakukan apa pun di sini. Namun, suara pria Asia itu benar-benar menjengkelkan dan memaksa Lucy segera mengambil tindakan. Gadis blonde itu kembali menundukkan kepalanya. Dia mendecih pada Park Yiseo dan sejurus kemudian gadis blonde itu mengentakkan tangannya, melepaskan cengkraman dari rambut Yiseo. Terdengar desisan samar dari mengalun dari mulut Yiseo. Kulit kepalanya benar-benar terasa perih. Lucy pun bangkit. Ia mengibaskan kedua tangan. Memberikan tatapan sinis pada lelaki muda yang berdiri di belakangnya, lantas gadis itu melipat kedua tangan di depan da’da dan mengangkat dagunya tinggi. “Come on girls,” ucap Lucy. Membuat para gadis yang berdiri di kedua sisi tubuh Park Yiseo pun menyingkir dari sana. Lucy melangkah meninggalkan Park Yiseo. Gadis Asia itu mengangkat pandangannya. Kini di depannya ada sepasang pantofel hitam metalik. Terdengar desahan panjang yang menyapu hingga ke permukaan rambut Park Yiseo. Gadis itu juga bisa merasakan tatapan sepasang manik cokelat dan dia yakin kalau pria itu sedang menertawakannya saat ini. Di detik selanjutnya, kaki lelaki itu melangkah. Meninggalkan Park Yiseo dalam keadaan mengenaskan di atas lantai. Gadis muda itu kembali menyeringai. Ada sedikit perasaan kecewa. Ia pun menertawakan alam bawah sadarnya yang sempat berharap jika pria itu akan menolongnya, tapi nyatanya tidak. Dia lupa jika ini bukan di Seoul. Park Yiseo tak punya secuil kekuasaan seperti yang pernah ia alami di sekolah lamanya. Namun, tak mengapa. Dia seorang Park Yiseo. Dia kuat dan dia cerdik. Juga licik. Untuk apa sebuah kekuasaan jika dia bisa menggunakan otak liciknya. Ini malah makin memuluskan rencananya. Gadis itu mengandalkan kedua telapak tangan untuk mendorong tubuhnya. Desahan panjang pun terdengar saat gadis itu kembali bangkit. Dengan cepat memperbaiki rambutnya. Menatap ke sekeliling, tampak banyak pasang mata tengah memasang tampang iba padanya. Dia pun terkekeh dalam hati. ‘Bagus. Semakin banyak mereka merundungku, maka aku akan semakin banyak mendapat simpati. Akan kubuktikan jika aku bisa mengalahkan si blonde dengan kemampuanku,’ batin Park Yiseo. Gadis itu menarik roknya ke bawah. Mengentakkan ujung rompi lalu menepuk-nepuk permukaannya. Sejurus kemudian Park Yiseo kembali menegakkan badannya. Mengembuskan napas sekali lagi dan dia kembali melangkah. Sementara itu, di sisi lain bangunan ini, ada seorang pria yang tengah merasa gelisah. Demi Tuhan. Dia tidak tahu apa yang dia alami sekarang ini. Semenit yang lalu hatinya berkedut perih. Dia berada di sana. Di dalam ruangan yang sama di mana ia melihat Park Yiseo dirundung dan dia tahu kalau gadis itu sangat kesakitan. Dia pernah berada di sana. Jauh sebelum semua ini. Saat itu umurnya masih begitu belia. Dia tahu bagiamana rasanya di tendang pada bagian panggul. Diinjak lalu dimaki dan semua orang tak ada yang berani menolongnya. Hanya karena dia seseorang yang datang dari negara berbeda. Hanya karena dia orang asing. Sebenarnya dia sangat emosi melihat Park Yiseo menerima perlakuan tidak manusiawi, tapi di sisi lain ada sebagian dirinya yang menghujat gadis Park itu. Mungkin saja dia pantas mendapatkannya. Jika dilihat kelakuan Park Yiseo, sangat wajar kalau dia pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Namun, ada sebagian lain dalam dirinya yang berteriak pada Choi Yong Do kalau dia itu pengecut. Park Yiseo adalah orang yang datang dari negaranya. Jelas-jelas dia melihat dirinya di sana. Dia melihat perlakuan yang sama seperti yang ia alami, tapi Choi Yong Do tidak bisa berbuat lebih. ‘Apakah mereka benar-benar berhenti? Apakah mereka tidak melukainya lagi?’ Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja menggema di dalam benak Choi Yong Do. Sampai-sampai kepalanya terasa pening. “Arrrghhh!” Choi Yong Do menggeram sambil mengacak-acak rambutnya, frustasi. “Sial!” umpatnya. Bisa-bisanya dia seperti ini. Untuk apa juga dia repot-repot memikirkan Park Yiseo. Gadis sombong itu punya bodyguard. Tinggal mengadu saja pada bodyguard-nya. Dia juga punya ayah seorang Kedubes. Tinggal telepon saja dan laporkan semua ini. Semuanya akan beres. Sama seperti yang pernah dia lakukan kepada Choi Yong Do. Seharusnya Park Yiseo bisa mengatasi semua ini. Untuk apa Choi Yong Do menjadi tidak enak dan sekarang merasa gelisah? “Silly boy!” Choi Yong Do tak berhenti merutuki dirinya. Dia mendengkus lalu bangkit dari tempat duduknya. Choi Yong Do memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Satu-satunya tempat tersepi di mana pun. Dia akan aman di sana. ________________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN