5. Chingu?

1601 Kata
“Apa?!” Yong Do memekik sambil melotot pada ayahnya. “Ssshhh ….” Tuan Choi mendesis sambil menaruh telunjuknya di depan bibir. Pria itu kembali menoleh dan tersenyum saat tuan Park menggerakkan bola mata, menatapnya tanpa menggerakan wajah. Pria itu menghampiri putranya. Bersama sang istri, Choi Hye Min mencoba menenangkan putra mereka. Nyonya Goo harus menyeret putranya hingga ke kamar agar dia tidak memaki di depan pejabat negara. Sekali lagi tuan Choi menghela napasnya dalam-dalam. Lelaki itu memagang kedua pundak sang putra lalu mengembuskan napas sambil menatap putranya. “Ayah …,” rengek Yong Do. “Aku tidak ingin pindah.” Choi Yong Do masih mempertahankan prinsipnya. Sambil mengulum bibir dan membentuk senyum simpul, Choi Hye Min mengangguk. Dengan mata yang mengisyaratkan jika dia sepenuhnya setuju dengan sang putra. “Ayah mengerti,” kata Choi Hye Min. Begitu lembut. Selembut tatapannya pada Choi Yong Do. “Tapi, cobalah untuk mengerti situasinya ka-“ “Kenapa harus aku, Ayah?!” Choi Yong Do menyergah dengan cepat. Wajahnya yang putih mulai tampak merah padam. Menandakan seberapa geram lelaki itu saat ini. Pria itu mendengkus saat ayahnya terdiam. “Bukan salahku berada di tempat ini. Kenapa sangat sulit bagi gadis itu untuk pindah, lagi pula tempatnya hanya sejengkal dari ruangan ini. Tidak ada yang berbeda. Semua fasilitasnya sama. Dia juga punya anak buah dan ada petugas hotel yang bersedia membantu. Aku juga sudah mengeluarkan koper-kopernya. Apa harus aku juga yang mengangkat tubuhnya dan memindahkan gadis itu?” Nada suara Choi Yong Do mulai meninggi. “Yong Do …,” tergur nyonya Goo. Choi Yong Do memalingkan wajah dan mendengkus kesal. Namun, Choi Hye Min malah tersenyum. Dia mengerti mengapa putranya itu kesal. Lelaki Choi itu menepuk-nepuk pundak putranya. “Yong Do.” Sekali lagi Choi Hye Min memanggil. “Dia seorang gadis. Haruskah Ayah ingatkan untuk menghargai para wanita?” “Tapi, Ayah ....” Untuk kesekian kalinya Choi Yong Do mendesah. “Seperti katamu, tak ada yang berbeda. Lagi pula ruangannya juga hanya berjarak beberapa meter dari ruangan ini. Propertimu juga belum dipindahkan semuanya, ‘kan?” “Ayah ….” Yong Do terus menggerutu. Sekarang dia meracau kesal. “Nak … dia seorang gadis. Dan sepertinya dia sudah menyukai unit ini jauh sebelum kau membayarnya. Ini hanya masalah kecil. Lagi pula kalian dari negara yang sama. Umur kalian sama. Tak ada salahnya untuk menunjukan sifatmu sebagai lelaki yang baik dan mencoba untuk akur dengannya. Ayah tidak membela nona Park hanya karena dia anak seorang pejabat negara, tapi Ayah ingin kamu bertindak sebagai seorang lelaki. Kamu dari keluarga terpandang dan sejak tadi kamu terus memaki. Apa Ayah mengajarkan itu padamu?” Choi Yong Do tertunduk malu. Kepalanya menggeleng pelan dan terdengar embusan napas kasar dari sana. “Kau tahu siapa tuan Park Yibeom, ‘kan?” tanya Choi Hye Min dan Yong Do mengangguk. “Kalau begitu apakah pantas beliau mendengar caci makimu?” Yong Do kembali menggeleng. “Tapi putrinya keterlaluan, Ayah. Dia tidak sebaik yang terlihat. Dia memakiku. Mengatai aku –kecowa– dan dia sangat tidak sopan,” ucap Yong Do. Suaranya berubah lemah. “Ayah tahu …,” kata Hye Min. Dia kembali menepuk-nepuk pundak sang putra untuk menyemangatinya. “Tapi, bukan berarti kamu harus membalasnya. Kamu Choi Yong Do. Kebanggaan keluarga Choi. Mana mungkin tersulut emosi. Kamu juga lelaki, Sayang. Ingat. Lelaki akan terus mengalah pada wanita. Mengapa? Karena wanita itu butuh perlindungan. Nona Park mungkin terlihat tidak sopan. Mungkin bicaranya kasar, tapi kamu tidak tahu apa yang membuatnya berperilaku seperti itu. Mungkin saja dia hanya terlalu gugup berbicara dengan pria setampan dirimu,” ujar Choi Hye Min. Menaruh candaan pada kalimat akhir. Perlahan-lahan,  Choi Yong Do mulai mengangkat wajah. Sudut bibirnya berkedut, lantas tersenyum geli. Sang ibu yang sejak tadi berdiam memperhatikan suami dan anaknya, kini berdiri. Dia menghampiri Choi Yong Do lalu menepuk sebelah pundak putranya itu. “Ayahmu benar, Sayang. Memangnya kau lupa siapa dirimu? Astaga! Semua gadis selalu salah tingkah saat melihatmu. Bagaimana Nona Park bisa luput?” Lalu pasangan suami istri Choi itu terkekeh bersamaan. Choi Yong Do mendengkus, tapi bibirnya tak sanggup menahan gelak tawa. Bisa-bisanya dia termakan ucapan ibu dan ayahnya yang sudah pasti hanya basa-basi. Pemuda Choi itu akhirnya tertawa rikuh. Tangan kanannya terangkat mengusap tengkuknya. “Hentikan, Ibu ….” Wajah Yong Do merona. Astaga! Dia tersipu rupanya. Tapi syukurlah. Sekarang dia tidak emosi lagi. “Oke, oke.” Goo Hae Young mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Jadi bagaimana?” tanya sang ayah. “Kamu setuju untuk menunjukan seberapa murahhatinya keluarga Choi?” Butuh beberapa detik bagi Choi Yong Do untuk berpikir. Situasi yang telah berubah pelik memang menuntut dia untuk segera mengambil keputusan. Dan sepertinya tak akan ada habisnya kalau berdebat dengan keluarga Park. Lalu akhirnya Choi Yong Do menarik napas dalam-dalam sembari menutup kedua matanya. Dia menghitung dari satu sampai tiga. “Oke,” gumam Yong Do sembari membuka kedua matanya. “Sepertinya sudah tidak ada yang bisa kulakukan. Lagi pula kedua orang tuaku juga lebih memilih untuk memihak gadis itu.” “Bukan begitu,” kata nyonya Goo. Dia menaruh kedua tangan, memegang pundak Choi Yong Do kemudian memutar tubuh putranya menghadap nyonya Goo. “Ibu dan Ayahmu bukan mendukung gadis itu, tapi kami hanya ingin agar kau menunjukan pada mereka, kalau keluarga kita tidak egois. Mengalah akan selalu membuat orang lain terlihat menang, Sayang.” Nyonya Goo mengusap rambut putranya. “Ya, baiklah.” Wajah Yong Do berubah masam. “Aku sudah bilang kalau aku setuju, ‘kan?” Wajah Yong Do kembali terlihat kesal. Nyonya Goo mendesah. Dia terus mengusap kepala putranya. “Kalau begitu, ayo. Kita hampiri mereka dan katakan kalau kau siap untuk pindah,” ujar nyonya Goo. Wajah Yong Do masih terlihat kusut. Nyonya Goo melingkari lengan putranya dengan kedua tangan. “Ayo, tampan. Jangan cemberut,” bujuk Nyonya Goo. Choi Hye Min berjalan lebih dahulu, sementara istri dan anaknya mengikutinya dari belakang. Mereka melangkah menghampiri keluarga Park. “Maaf membuat kalian menunggu lebih lama,” kata Choi Hye Min dengan ramah. “Ya. Kami memang sudah banyak membuang waktu di sini,” ucap Park Yibeom. Senyum Choi Hye Min dan Goo Hae Young perlahan mengendor. Keduanya kembali saling melempar tatapan. Sekarang jelaslah, bagaimana sifat dan karakter keluarga Park. Namun, baik Choi Hye Min dan Goo Hae Young, keduanya tetap menjaga sopan santun dan bersikap ramah. “Sekali lagi kami minta maaf,” kata Choi Hye Min. Memandang istrinya yang masih memeluk tubuh putranya dari samping. “Putra kami bersedia untuk pindah.” “Hahhh ….” Nyonya Kim mendesah. “Syukurlah.” Lanjutnya. Raut wajah nyonya Kim kembali berubah saat mendapatkan tatapan peringatan dari sang suami. “Baiklah.” Kali ini giliran Park Yibeom yang bersuara. “Seperti janjiku, aku akan membayar apartemen di sebelah.” “Itu tidak perlu, tuan Park,” kata Goo Hae Young. “Kami sudah melunasinya.” “Aku tidak suka berhutang budi,” ucap Park Yibeom dengan nada dingin. “Michael.” “Ya, Tuan Park.” “Segera kembalikan p********n keluarga Choi,” ujar Park Yibeom. “Tidak.” Suara Choi Hye Min berubah tegas. “Aku tetap tidak akan menerima uang tersebut. Maaf, jika menurut Anda ini hutang budi, maka yang kami perlukan hanyalah permohonan maaf dari putri Anda,” ujar tuan Choi. Dia memindahkan tatapannya pada si gadis Park yang sedang memainkan aktingnya. Tuan Choi tersenyum formal. “Nona Park, bukankah ada yang harus Anda katakan?” Park Yiseo terdiam selama beberapa saat. Dia tak memandang siapa pun, selain si pemuda Choi yang tampak sangat payah menempel dengan ibunya. Mereka bertatapan selama beberapa detik sampai akhirnya Park Yiseo menarik kedua sudut bibirnya dan sekarang wajah tegas itu terlihat manis. Gadis Park itu mengentakkan kakinya saat ia bangkit dari singga sana. Sambil melipat kedua tangan di depan d**a, dia berjalan. Mengitari sofa tempat ibu dan ayahnya duduk. Dia masih terus mengunci tatapan pada si pria Choi yang berdiri di samping ibunya. Senyum Yiseo makin merekah seiring dengan langkah kakinya yang semakin mendekat. Lalu akhirnya sepatu boots-nya berhenti tepat setelah kedua kakinya selesai melangkah. Dia memandang si pria berambut hitam lebat di depannya. Senyum Park Yiseo makin lebar. Bahkan nyonya Goo yang melihatnya menjadi sangat tersentuh. Sepertinya dia harus mematahkan perspektif suami dan anaknya. Gadis Park ini terlihat sangat baik. Tangan yang sebelumnya terlipat di depan d**a, kini terlepas lalu Yiseo mengatupkan kedua tangan di depan d**a. “Maafkan aku,” ucap Yiseo dengan bahasa Korea. Mata bulatnya berlapis cairan bening. Ia memohon dengan tatapan memelas. Ekspresinya persis seperti kelinci yang meminta tuannya menyuapinya wortel. Orang tua Yong Do tersenyum bangga menyaksikan gadis Park itu meminta maaf pada putra mereka. Bahkan dengan begitu manis menjulurkan tangan memohon untuk dijabat. “Maafkan aku, Teman.” Awalnya Choi Yong Do mengernyit. ‘Teman?’ batinnya. Choi Yong Do menatap tangan Yiseo dan beralih menatap wajah gadis itu. Bisa dipastikan kalau Park Yiseo sedang berakting, tapi Yong Do tak punya pilihan lain. Gadis itu sudah menang sejak kemunculannya di ruangan ini. Sehingga yang bisa dilakukan Yong Do adalah menjabat tangan gadis itu. Orang tua Yong Do tampak gembira, sementara orang tua Yiseo tampak biasa saja. “Syukurlah …,” gumam Goo Hae Young. Wanita itu bersih keras kalau gadis Park di depannya adalah gadis yang baik hati. Seolah-olah mengerti kalau remaja itu selalu identik dengan kata labil. Sebentar marah lalu berbaikan. Begitulah para remaja pada umumnya. Namun, hanya Yong Do yang tahu bagaimana sifat yang berusaha disembunyikan lewat senyum palsu itu dan bagaimana semua ini akan menjadi lebih dramatis kalau dia tidak segera menjabat tangan gadis itu. ‘Dasar psikopat,’ batin Choi Yong Do.   _______________  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN