Bab 7: Arion

2160 Kata
"Lo pekerjakan mantan lo di sini?" tanya Saga ketika baru saja memasuki ruanganku. Saga adalah satu-satunya teman SMAku yang dekat hingga saat ini. Kadang dia berkunjung ke kantorku, kadang kami bertemu di luar. Dia merupakan seorang marketing manajer di sebuah perusahaan swasta yang letak kantornya tidak jauh dari gedung kantorku. Aku bergumam malas menanggapi pertanyaan Saga. Sudah kuduga, dia pasti tidak suka melihat Jasmine ada di sekitarku. Memang, dari dulu Saga tak begitu menyukai sosok Jasmine, entah kenapa aku juga tak ambil pusing. Yang penting, dia merupakan teman yang solid dan peduli meski tak setuju jika aku bersama Jasmine dulu. "Kenapa, Ar? Lo gagal move on? Masih cinta sama dia?" Dulu, Saga adalah saksi bagaimana tergila-gilanya aku akan Jasmine. Tidak menyukai hubungan kami, akan tetapi Saga tahu bagaimana aku memperlakukan Jasmine. "Lo lupa kalau gue udah pernah pacaran sama yang lain juga habis putus dari dia?" "Ya, tahu. Tapi kali aja gitu, rasa yang dulu pernah ada bersemi kembali." "Nggak akan!" "Jangan sampe, sih! Lo jangan lupa kalau dia dulu enggak benar-benar cinta sama lo. Cuma jadiin lo bahan taruhan." Tanganku mengepal mengingat bagaimana terungkapnya kebohongan Jasmine olehnya yang saat itu sedang berbicara dengan Gladys. Hari yang seharusnya akan menjadi momen indah yang ingin aku ciptakan, berakhir kacau. Jasmine ulang tahun di saat hari terakhir dirinya mengikuti ujian akhir. Sebagai kekasihnya, aku sudah menyiapkan kejutan spesial untuknya di hari lahirnya itu. Aku menguras isi tabunganku untuk membelikannya hadiah serta ingin membawanya jalan-jalan hingga dinner nantinya. Aku sudah meminta izin kepada ibunya jika mengajak Jasmine jalan dan akan pulang malam. Turun dari motor yang aku parkir di seberang sekolah, aku menyebrang menuju gerbang sekolah. Aku lihat sudah banyak yang pulang, tapi belum menemukan sosok Jasmine. Dia tidak membawa ponsel, makanya aku mencari perempuan itu ke area dalam sekolah. Biasanya, aku menunggunya di depan sekolah persis. Hari ini, aku datang lebih awal dan memarkirkan motorku lebih dulu. Aku mengobrol dengan si Bibi pemilik warung di dekat motorku dititip, baru setelah itu menuju sekolah karena telah melihat para siswa/i yang sudah keluar gerbang sekolah. "Jasmine ada di dalam?" tanyaku pada seseorang yang baru saja keluar dari kelasnya Jasmine. Perempuan yang kutanyai itu menggeleng. "Dia udah keluar duluan, nggak tahu ke mana." Ke mana perginya Jasmine? Seharusnya di sudah berada di depan sekolah jika sudah keluar lebih dulu. Lalu, aku melihat rekan tim basketku yang merupakan teman kelasnya Jasmine juga dari arah lain. "Lihat cewek gue nggak, Bro?" tanyaku padanya. "Barusan gue lihat ada dekat toilet, lagi ngobrol sama Gladys." "Oke, thanks." Aku pun melangkah menuju ke arah yang dimaksud lelaki itu. Namun, saat akan mendekat, aku mengurungkan niatku untuk sembunyi di balik tembok karena mendengar pembicaraan Jasmine dengan Gladys, kakak kelas yang pernah mendekatiku dulu. "Pokoknya lo harus segera putusin Arion!" "Dys, tolong kasih gue waktu. Gue akan cari momen yang tepat dulu." Jantungku berdegup dengan kencang mendengar percakapan keduanya. Kenapa Gladys menyuruhku putus dengan Jasmine? Apa karena dia tidak terima aku jadian dengan Jasmine. sementara dia yang menyatakan cinta padaku waktu itu tidak aku terima? Tapi, mendengar jawaban Jasmine, sepertinya perempuan itu berniat mengakhiri hubungan kami. Apa maksudnya? Aku tidak langsung menghampiri, ingin mendengar lebih lanjut pembicaraan mereka. "Lo kebanyakan alasan!" decak Gladys terdengar emosi. "Ingat, hubungan lo sama Arion itu karena gue! Gue yang nyuruh lo deketin dia. Lo dapat uang dari gue atas keberhasilan lo yang bisa jadiin dia pacar lo." Aku terkejut mendengar kenyataan itu. Apa benar Jasmine hanya menjadikanku sebagai bahan taruhan saja... demi uang? "Gue udah bilang, lo harus putusin dia di saat dia lagi sayang-sayangnya sama lo. Tapi lo selalu mengulur waktu? Kenapa? Lo mulai cinta sama bahan taruhan kita itu?" "Iya, gue cinta sama Arion. Tapi tenang aja, gue nggak akan ingkarin perjanjian kita. Gue akan putusin Arion secepatnya. Gue janji." Dadaku sesak sekali rasanya. Berharap Jasmine membantah semuanya, akan tetapi realita menamparku. Aku melangkah dari balik tembok hingga terlihat oleh keduanya. Jasmine tampak terkejut melihatku. "Arion... " Aku berjalan mendekat dengan langkah kaki gemetar. "Kamu selama ini nggak benar-benar cinta sama aku, Mine?" Jasmine meraih tanganku, tapi aku menepisnya. "Ar, dengerin aku dulu. Aku cinta sama kamu, Ar. Cinta banget. Aku— " "Kamu mau mutusin aku, bukan? Oke, aku kabulin. Kita putus sekarang, ya?" Sekarang tinggal kami berdua saja, Gladys telah beranjak pergi. "Kalau kamu butuh uang dari awal, bilang sama aku, Mine. Kamu nyakitin perasaan aku." Jasmine menggelengkan kepala. "Maaf... " "Aku sayang banget sama kamu. Bahkan, aku berpikir jauh untuk masa depan nanti meski kita masih sekolah." Aku terkekeh miris. Ternyata, selama ini hanya aku yang berharap sendirian pada hubungan kami. "Pantesan kamu enggak mau aku ajak tunangan dulu. Karena kamu nggak mau terikat sama aku. Kamu nggak benar-benar cinta sama aku." "A-aku... aku juga cinta sama kamu, Ar." Jasmine menangis terisak, akan tetapi aku membiarkannya. Tangis yang tak bisa kuartikan, entah tulus atau tidak menangisi hubungan kami. Sulit rasanya untuk percaya setelah apa yang telah kudengar. Aku berbalik pergi meninggalkannya. Hari yang seharusnya akan aku buat menjadi spesial tak terlupakan, hancur begitu saja. Malah jadi hari yang sangat menyedihkan bagiku. Sebelum menjauh, aku ingat dengan kado yang ada di kantong celana jeans-ku. Sebuah kotak kecil berisi kalung. Aku mengeluarkannya, lalu melempar begitu saja ke arahnya. Kesal, sakit hati, kecewa, marah, sedih, semua campur aduk. Jasmine hanya melihat kalung yang terjatuh di depannya persis. Aku kembali mendekat dan meraih kalung tersebut. Sialnya, air mataku menetes begitu saja. Untuk pertama kalinya aku menangis karena seorang perempuan. "Selamat ulang tahun," ujarku meraih tangannya dan menempatkan kalung itu dalam genggamannya. Satu lagi, aku mengeluarkan sebuah cincin dari saku celanaku yang lain. "Buat kamu juga. Terserah mau kamu buang atau ke manain juga." "Aku sayang kamu, Ar... " Aku menggeleng. "Terima kasih atas semuanya, Mine. Ini sakit sekali, terima kasih atas pelajaran berharganya." Aku berbalik badan dengan cepat dan melangkah pergi. Jasmine mengejar dan memelukku dari belakang, akan tetapi aku melepas paksa pelukan perempuan itu. Dan sejak itu, berita mengenai kandasnya hubungan kami dan penyebabnya, menyebar cepat di sekolah. Aku hanya diam tanpa mau mengklarifikasi apa pun. Ketika Saga, teman dekatku bertanya, aku hanya berdehem menanggapinya. Saga terus saja mencecar, tak setuju denganku yang mempekerjakan Jasmine di sini. "Gue tahu apa yang gue lakuin, Ga. Nggak akan gue jatuh cinta lagi sama dia." Jasmine masuk beberapa saat kemudian dengan membawa kopi yang aku minta batkan olehnya untuk tamuku, Saga. Aku geleng-geleng kepala ketika perempuan itu menjatuhkan cangkir yang berisi kopi tersebut. "Cepat bersihkan dan segera keluar dari sini," ucapku dingin. "Kamu nggak usah bikin kopi yang baru, suruh OB aja." "Baik, Pak. Sekali lagi, saya minta maaf." Aku memutar bola mata. "Keseringan ceroboh, saya benar-benar akan pertimbangkan lagi kontrak kerja kamu di sini. Nggak peduli meski kamu mampu ngerjain kerjaan lainnya dengan baik." *** Dulu, aku pernah ribut dengan kakak kelas perihal Jasmine. Dia memang tak begitu cantik, karena banyak di sekolah kala itu yang jauh lebih cantik darinya. Namun, Jasmine itu punya daya tarik tersendiri yang tak semua orang bisa lihat. Ada kakak kelasku yang juga suka Jasmine dan terang-terangan menunjukkan kepeduliannya kepada perempuan itu. Aku tentu saja murka dibuatnya. Tak hanya duel basket karena lelaki itu sempat menjadi kapten, kami juga pernah adu jontos tanpa sepengetahuan Jasmine. Saga saksinya yang geleng-geleng kepala melihatku yang begitu emosi. Aku geleng-geleng kepala. Dulu memang Jasmine begitu menarik bagiku, sebelum aku tahu tujuannya memacariku. Setelah itu, rasaku padanya terkikis perlahan. Aku membencinya. Sekarang setelah belasan tahun tidak bertemu, aku ternyata masih tetap membencinya. Luka lama itu seolah menganga kembali. Ada pun alasanku menerimanya bekerja di sini, murni karena profesional. Dia memang layak mengemban tugas itu, aku tahu dia merupakan sosok yang pintar dan isi CV-nya juga menarik. Jasmine juga punya beberapa pengalaman kerja yang cukup bagus. Satu lagi alasanku lainnya adalah karena ingin sedikit bermain-main dengannya sebagaimana dia yang pernah mempermainkan perasaanku dulu. Hal pertama yang aku lakukan, membuatnya merasa kesusahan di sini sementara tidak bisa berhenti disebabkan terikat kontrak. Aku memang tak memberinya masa probation, akan tetapi langsung kontrak kerja selama 5 tahun. Harusnya, ada masa probation dan setelah itu diangkat sebagai karyawan tetap. Tapi, kecuali dia, aku membuat peraturan sendiri dengan kontrak kerja 5 tahun pertama, nanti diperbarui lagi setelahnya, baru bisa menjadi karyawan tetap. Selanjutnya, ada hal lain lagi yang ingin aku tunjukkan padanya nanti. "Minggu pagi ini kamu ada acara?" tanyaku pada Jasmine yang baru memasuki ruanganku. "Nggak ada, Pak." "Bagus. Nanti ikut temenin saya main golf, ketemu rekan bisnis saya di sana." "Baik, Pak. Ada lagi?" "Ada. Sebagai aspri saya, besok Sabtu pagi kamu datang ke apartemen saya. Nanti akan saya kasih tahu kerjaannya." Dan keesokan harinya Jasmine datang pukul 07:00 pagi di saat aku baru saja bangun. Aku akan ke rumah mama hari ini, ada perkenalan dengan cucunya teman oma. Meski tak begitu tertarik, aku menghargai oma. Lagi juga, mama atau pun oma juga tak akan memaksa jika nantinya aku tidak suka. "Tugas pertama, tolong bikinin saya sarapan. Dapur sebelah sana," ujarku menunjuk ke arah dapur. "Bapak mau dibikinin sarapan apa?" "Apa aja, yang penting enak! Awas aja kalau enggak enak, saya potong gaji kamu! Emm, kayaknya saya harus cantumin beberapa hal terkait kontrak sebagai aspri ini. Kemarin ini, saya belum kepikiran apa-apa." "Iya." "Nanti saya pikirin dulu dan kasih tahu kamu kalau udah bikin." Aku melangkah menuju ke dalam kamar hendak mandi di kamar mandi yang terletak di dalam sana. Sebelum mencapai pintu kamar, aku kembali berbalik badan. "Mine!" Aku berdehem. Sialann, kenapa aku malah memanggilnya dengan sebutan yang sering aku panggil dulu? "Ya. Ada apa, Pak?" Jasmine yang belum tiba di dapur, berbalik badan ke arahku. "Tolong pilihan saya baju! Buat acara keluarga." Jasmine mengangguk. Aku kesal rasanya dari tadi dia manut-manut saja tanpa membantah. "Acara apa kalau boleh tahu, Pak? Resmi atau tidak?" "Perkenalan. Perkenalan antara saya dengan cucu dari temannya oma, semacam perjodohan." Aku memperhatikan ekspresi Jasmine. Dia tampak biasa saja mendengarnya. Memang benar sepertinya, dulu dia tak mempunyai perasaan apa pun padaku, hanya main-main saja. Makanya, hingga saat ini pun biasa saja reaksinya mendengarku berkata akan dijodohkan. Karena dia memang tak pernah mencintaiku. Aku tak pernah ada di dalam hatinya. Kesal sekali rasanya mengingat bagaimana aku yang cinta sendirian. Aku tak percaya dia yang pernah berkata bahwa mencintaiku. Jasmine tersenyum. Dia mengeluarkan beberapa baju dari lemariku. "Kalau menurut saya, antara ketiga ini, Pak. Bapak bisa pakai baju kaos berkerah begini dengan celana jeans, atau yang ini baju kaos dengan outer kayak jas gini. Bawahannya tetap jeans." Jasmine meraih yang lainnya lagi dari dalam lemari. "Atau mau pakai kemeja yang ini? Oke semua menurut saya. All items, fit on you." "Begitu?" tanyaku dengan alis terangkat. "Yap. Karena Bapak tinggi dengan bentuk badan bagus dan umm... ganteng, jadi cocok-cocok aja pakai semuanya." Jasmine mengalihkan pandangan ke arah lain, meletakkan kembali ke dalam lemari salah satu kemeja yang diambilnya. "Menurut kamu, saya ganteng, ya? Terima kasih, saya jadi lebih percaya diri jadinya untuk datang ke rumah mama bertemu dengan perempuan yang akan dijodohkan dengan saya itu." "Good luck, Pak Arion!" seru Jasmine sambil tersenyum. "Ya udah, saya ke dapur sekarang bikin sarapan." Aku menuju kamar mandi dan setelahnya memilih salah satu di antara ketiga pakaian yang dipilihkan oleh Jasmine. Selera perempuan itu bagus. Apa sebelum ini dia mempunyai kekasih dan pernah memilihkan baju seperti ini juga? Kenapa aku jadi kesal membayangkannya? Setelah rapih, aku keluar kamar dan aroma makanan langsung tercium olehku. Aku duduk di meja makan dan telah tersedia sepiring nasi goreng di sana. "Maaf, saya cuma bikin nasi goreng hari ini. Tadinya mau bikin sandwich, tapi bahannya nggak lengkap." "Hmm. Kamu udah sarapan?" "Udah tadi." Kami tak berbicara lagi. Hingga aku mulai makan, sementara Jasmine masih berdiri tak jauh dariku duduk. "Kenapa berdiri di situ?" "Gimana rasanya, Pak? Enak nggak?" "Biasa aja. Tapi karena saya lapar, saya akan habisin." Jasmine beranjak ke arah dapur. Dia mencuci bekas peralatan memasak. "Saya selesai," ucapku bersamaan dengan Jasmine yang juga selesai membersihkan area kompor. "Saya langsung pergi dan kamu tetap di sini. Bersihkan seluruh area apartemen saya, sampai benar-benar bersih dan rapih. Setiap minggu, ini bakalan menjadi kerjaan rutin kamu karena saya tak lagi menyewa seseorang asisten rumah tangga. Saya nggak lama, akan segera balik. Saya akan pastikan kerjaan kamu dulu nantinya, baru setelah itu kamu boleh pulang." "Baik, Pak." Tak lama di rumah mama, aku beralasan hendak bertemu rekan bisnis yang baru bisa ditemui hari ini, mendadak. Mengenai perempuan yang dikenalkan oma padaku, dia cukup cantik dan sepertinya baik. Hanya saja, aku tidak tertarik. Namun, oma tadi meminta kami untuk bertukar nomor ponsel. Aku mengikuti saja dulu. Tiba di apartemen, aku melihat Jasmine yang tertidur di sofa depan TV. Aku mengedarkan pandangan ke arah sekitar, sudah terlihat bersih dan wangi. Melihatnya tertidur begitu, langkah kakinya tiba-tiba tergerak menghampirinya. Aku berjongkok di hadapannya, menatap wajahnya lekat. Tanganku terulur hendak menyentuh wajahnya, akan tetapi aku mengurungkannya. Lo ngapain sih, Ar? Aku bangkit berdiri dan di saat itu mata Jasmine terbuka perlahan. Dia tampak terkejut melihatku. "Disuruh kerja, kamu malah enak-enakan tidur!" seruku sambil berkacak pinggang. "Mau potong gaji?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN