Bab 6: Jasmine

1833 Kata
Aku turun dari kereta pada jam 10 malam. Hari pertama bekerja benar-benar luar biasa. Aku terkekeh mengingatnya, mulai dari pagi hari Arion sepertinya yang sengaja mengerjaiku perihal sebuah kopi. Ya... aku tidak sebodoh itu untuk tidak bisa menduga hal tersebut ketika bertemu dengan OB yang biasa membuatkan kopi untuk lelaki tersebut. Dan Arion seperti sengaja membuatku lembur. Tapi, satu hal yang membuatku tak mengerti, dia berada di depan lobi ketika aku hendak pulang dan menawarkan untuk pulang bersama. Apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu? "Kak Mine!" Aku tersenyum ketika melihat Raffan melambaikan tangan padaku dari atas motor di saat aku baru saja keluar dari stasiun. Hujan telah reda di sini. Tadi Syafira menelepon waktu aku masih di kantor jika hujan deras, tapi tidak lama. Raffan, adik lelakiku itu tadi mengirimkan pesan padaku jika hari ini dirinya pulang cepat dari tempatnya bekerja. Raffan yang bekerja di sebuah cafe saat pulang kuliah hingga malam hari. "Kakak udah makan belum?" tanya Raffan ketika aku sudah berada di atas motor, di boncengannya. "Belum. Gampang, nanti bikin mie." Aku hari ini tidak sempat memasak sebelum berangkat. Aku hanya membuat nasi goreng saja untuk sarapan. Untuk makan Syafira di rumah, aku meminta adikku itu untuk membeli lauk di warteg saja. Kebetulan ada warteg dekat kontrakan kami yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Jadi, Syafira hanya perlu memasak nasi. Syafira tidak ke kampus hari ini. Dia akan ke kampus lagi saat sidang nanti. "Aku juga belum makan. Nanti kita makan sama-sama ya, Kak? Aku bawa lauk tadi dari cafe, ada chicken teriyaki sama capcay. Tadi itu karena pulang cepat, terus ada makanan lebih dan beberapa karyawan yang mau disuruh bawa pulang. Lumayan, makan enak kita malam ini," ujar Raffan terkekeh. Raffan mengendarai motor dengan santai dan kami mengobrol sepanjang perjalanan. Sudut mataku berair yang mendengar begitu saja dari Raffan. Kami memang jarang sekali memakan makanan yang enak. Apa lagi saat aku menganggur sampai beberapa bulan. Sebelumnya, sekali sebulan aku pasti akan mengajak adik-adikku itu untuk makan di restoran yang harganya cukup terjangkau. Aku sering meminta maaf kepada adikku karena belum mampu memberikan yang terbaik untuk mereka. Dan biasanya, mereka akan mengomeliku karena berkata seperti itu. Adikku memang sangat mengerti keadaan kami, hanya saja aku yang merasa kurang dalam memenuhi kebutuhan mereka sejak orang tua kami meninggal. Sedangkan posisi aku adalah sebagai pengganti kedua orang tua kami. "Kak Syaf juga belum makan. Kami nungguin Kak Mine,” lanjut Raffan lagi. Aku mengusap sudut mataku yang berair. "Iya, Dek. Entar kita makan sama-sama." Tiba di rumah, Syafira langsung menyambut kedatanganku dengan sebuah petasan kertas, lalu memelukku. Aku terkekeh akan aksi yang dilakukan adikku itu. "Selamat buat Kakak tercinta yang udah bekerja di perusahaan ternama," ucap adikku itu. Kemudian, melepaskan diri dariku. "Ayo, Kak Mine bersih-bersih dan ganti baju. Habis itu, kita rayakan sama-sama untuk keberuntungan Kakak." Aku terkekeh mendengarnya. Aku tidak tahu, apa kah bekerja di perusahaan milik Arion merupakan sebuah keberuntungan bagiku? Entah lah, melihat bagaimana sikap yang ditunjukkan Arion hari pertama aku bekerja dengannya, aku curiga jika lelaki itu sengaja membuatku berada dalam masalah. Di sisi lain, aku tak menampik jika di sana akan mendapatkan salary yang besar dibandingkan tempatku sebelumnya. Itu belum termasuk bonus dan gaji langsung dari kantong Arion sebagai asisten pribadinya nanti. Mengenai pekerjaan sebagai asisten pribadinya, Arion belum menjelaskan secara detail mengenai apa saja yang harus aku kerjakan. Apa pun itu, aku akan menjalaninya dengan sepenuh hati. Aku butuh uang dan semoga bisa mengambil sebuah rumah yang nyaman untuk aku tinggali bersama adik-adikku. “Ya udah, kakak ganti baju dan bersih-bersih dulu, ya? Mau mandi air anget kayaknya bentar, tadi kena hujan.” “Aku rebusin airnya kalau gitu,” sahut Syafira. Kami memang akan merebus air dulu jika ingin mandi air hangat. “Boleh. Makasih ya, Syaf.” Usai aku mandi kilat dan memakai piyama tidur, di karpet dekat kursi telah tersedia makanan dan minuman yang bukan air putih. Ada soft drink dan juice. Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. “Anggap aja kita lagi makan di resto atau cafe-cafe, Kak Mine!” ujar Raffan. “Tapi bentuknya lesehan.” “Cafe lesehan ini, ya? Not bad lah. Lain kali kita bikin lampu hiasan yang kecil-kecil gitu nggak, sih?” ”Boleh juga tuh, Kak!” sahut Syafira menimpali. “Nanti aku cari online.” ”Bekas acara di kampus ada kayaknya, entar aku bawa,” ujar Raffan. “Nggak apa-apa, yang penting suasananya di sini.” “Betul! Oh ya, aku ada bikin spaghetti juga loh!” ujar Syafira. “Kalau enggak enak, bilang aja enak, oke? Kejunya aku beli yang merek biasa soalnya.” “Nggak apa-apa. Bikinan kamu, pasti enak aja, sih.” Dan kami mulai berdo’a sebelum makan bersama. Sambil menyendokkan spaghetti ke dalam mulutku, aku menatap kedua adikku bergantian. Air mataku menetes begitu saja melihat keduanya yang makan dengan lahap. Sudah lama juga kami tidak makan bersama begini di kontrakan sederhana ini. Raffa sering pulang malam dan paginya sudah jalan lebih dulu ke kampus bersama Syafira. Atau ketika masih bekerja, aku yang duluan berangkat. Aku merebahkan diriku di kasur setelah bercerita tentang hari pertamaku kerja kepada kedua adikku. Syafira telah tidur lebih dulu di sampingku, sementara aku baru saja kembali dari kamar mandi. Raffan, adikku itu tidur di kasur kecil tak jauh dari kursi yang dihalangi oleh sebuah lemari kayu sederhana sebagai penyekat biar tak langsung kelihatan dari luar saat membuka pintu. Sebelum tidur, aku meraih ponselku di dalam tas untuk memastikan apa kah alarm sudah ter-setting secara daily atau belum. Ketika membuka ponsel, aku mengernyit ketika mendapati pesan dari nomor tak dikenal sekitar 2 jam yang lalu. Aku pun membuka pesan tersebut, ternyata Arion lah yang mengirimkanku pesan. 08111667798 Ini Arion Km udah sampe rumah? Kok ga balas? Hallo???? Bls chat saya Lalu, aku baru sadar jika ada notifikasi panggilan tak terjawab juga. Ponselku memang dari tadi aku silent. Aku mengganti modenya jadi berdering agar mendengar bunyi alarm besok. Aku tersenyum tipis membaca pesan lelaki itu. Apa Arion khawatir padaku? Aku menggelengkan kepala. Mana mungkin? Dia bertanya, mungkin karena ingin memastikan posisi karyawannya saja. Aku pun mengetikkan balasan pesan lelaki itu. Sudah pukul 23:50, sepertinya Arion sudah tidur. Tak apa, biar dia membacanya besok pagi. Baru saja memejamkan mata setelah membalas pesan Arion, ponselku berdering. Nomor Arion yang menelepon rupanya. “Kenapa baru balas?” “Tadi HPnya di tas.” “Sampe rumah jam berapa emangnya?” “Jam 10 lewat.” “Naik apa dari stasiun ke rumah?” “Dijemput Raffan pakai motor.” “Ooh. Saya cuma mau pastiin keadaan karyawan saya aja, makanya hubungin. Besok jangan sampai telat masuk kerja!” “Iya. Selamat tidur, Pak. Saya matiin dulu teleponnya karena mau istirahat.” Baru akan meletakkan ponselku di lantai, tidak jadi karena ada notifikasi pesan masuk. Dari Arion lagi. Aku sudah menyimpan nomor lelaki itu karena untuk ke depannya pasti akan sering berkomunikasi dengannya terkait pekerjaan. Arion Ga sopan banget langsung matiin telepon sblm saya menjawab Saya atasan kamu loh! Aku mengerjap, dengan cepat aku mengetikkan balasan meminta maaf semisal meski aku tidak merasa bersalah, karena sudah bilang jika akan tidur. Arion Besok tunggu di Stasiun Tebet jam stngh 8 Bareng saya, ada meeting pagi ke Sudirman Aku kembali mengetikkan balasan jika akan turun kereta di stasiun Sudirman saja dan bertemu di gedung tempat tujuan. Arion Kok jd kamu yg ngatur saya? Saya bilang di Tebet, ya tnggu dsana berangkat bareng. Km itu hnya krywan, jgn membantah apa yg atasan km bilang! Dah, skrg tdr biar ga kesiangan. Aku menghela napas. Jika dulu hubungan kami berawal bukan karena sebuah taruhan demi mendapatkan uang dari Gladys, aku dan Arion mungkin saja akan langgeng. Dan lelaki itu tak akan pernah berkata ketus dan kasar padaku. Arion itu penyayang… dulu. Aku yang merasakan bagaimana dicintai begitu dalam oleh lelaki itu. Walau umurnya lebih muda dariku, tapi dia memperlakukanku layaknya bak ratu. *** "Bosmu ada?" tanya seorang lelaki kepada Melanie. Aku menatap lelaki itu dari samping Melanie. Sepertinya wajah lelaki itu tidak asing? "Ada. Langsung masuk aja." "Oke." Saat hendak melangkah, lelaki itu kembali beralih pada kami. "Kayaknya muka kamu enggak asing.” Lelaki itu menatapku dengan mata menyipit. "Kita pernah ketemu sepertinya. Tapi, di mana, ya?" Aku juga sedang berpikir-pikir. Dan aku ingat jika lelaki ini adalah teman dekatnya Arion waktu SMA. Kalau tidak salah, namanya adalah Saga? "Saga, bukan?" "Yap. Kok kamu tahu nama saya? Wait... " Saga menatap lekat padaku, memperhatikanku. "Jasmine. Kakak kelasmu dulu," ucapku sambil tersenyum. "Nah, ya... saya baru inget! Jasmine mantannya Arion, ‘kan?” “Hah?” Melanie seketika melongo. “Kerja sama mantan sekarang? Mau coba untuk memanfaatkan kekayaan teman gue lagi?” tanyanya mengejek. Sabar, Mine… sabar. Meski Saga adalah teman dekat Arion dulu, akan tetapi aku tahu jika lelaki tampak tidak suka dengan hubungan kami. Terbukti ketika aku ketahuan ketahuan oleh Arion menjadikannya bahan taruhan, dia sering menghina saat tak sengaja bertemu di saat aku masih sesekali ke sekolah usai ujian akhir. Dan Arion waktu itu diam saja, membiarkan temannya mengejekku. Mungkin karena Arion sudah terlalu kecewa padaku kala itu. “Dah ah, mau masuk dulu! Gue akan pastiin jika Arion nggak akan terpengaruh lagi sama lo.” Melanie menyentuh bahuku yang mematung menatap kepergian lelaki itu. “Jadi, lo mantan pacarnya Pak Bos?” Aku mengangguk pelan. “Tapi, Mbak, aku masuk di sini bukan karena hubungan mantanan dengan Pak Arion, kok,” ujarku cepat agar Melanie tak salah duga. “Kami sudah lama sekali berakhir, cinta monyet zaman SMA.” “Kali Pak Arion masih berharap sama kamu.” Aku tertawa. “Mana ada, Mbak! Justru dulu hubungan kami enggak baik setelah putus. Pak Arion nggak bakalan berharap lagi sama saya.” “Loh, emang dulu putusnya kenapa?” “Panjang ceritanya, Mbak. Intinya, dulu saya pernah ngecewain dia banget. Makanya, kemarin ini saya sempat deg-degan takut enggak keterima. Ternyata, dia cukup profesional. Mungkin memang dia tertarik sama isi CV saya. Bukannya sombong, tapi portofolio saya cukup bagus.” Sedang mengobrol, lalu ada telepon di meja sekretaris berbunyi. Melanie mengangkatnya. “Pak Arion minta kamu bikinin kopi untuk temannya itu,” ujar Melanie setelah meletakkan gagang telepon. “Oke, Mbak.” Aku memsuki ruangan Arion setelah membuat secangkir kopi di pantry. Namun, ketika akan meletakkan kopi tersebut di atas meja, kakiku tersandung oleh kakinya Saga yang sepertinya dia sengaja melakukan itu. Cangkir kopi tersebut pecah dan tumpahan airnya ke mana-mana. “Kamu gimana bawanya, sih?” semprot Arion menatapku tajam. “Kok ceroboh banget!” “Maaf, Pak, barusan Sa— “ “Nggak usah ngeles! Ceroboh ya, ceroboh aja,” ujar Saga dengan tatapan mengejek. “Yang begini kok bisa lolos jadi sekretaris lo sih, Ar? Ada masa probation, ‘kan? Mending cari kandidat baru dari sekarang buat gantiin dia ini deh!” “Kamu nggak usah ikut campur! Nggak usah pengaruhin atasan saya!” seruku pada Saga, kesal. Dia jelas-jelas sengaja hendak menjatuhkanku. “Beresin kecerobohan kamu barusan! Enggak usah debatin teman saya, karena perkataan dia ada benarnya juga.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN