Bab. 6.

1315 Kata
Aw ...!" Tanpa diduga teh yang dipegang Nyonya Inggrid tumpah mengenai kaki Bunga. Reski langsung berjongkok melihat kaki istrinya. "Mama gimana sih, kok bisa tumpah tehnya?" tanya Reski menatap marah ke arah Mamanya. 'Waduh, gimana ini? Padahal niat awal ingin aku yang kena air panas agar mendapatkan perhatian Reski. Kenapa malah Bunga yang kena sih!' Nyonya Inggrid menggerutu dalam hati. "Ya, mana mama sengaja. Bunga nyenggol tangan Mama, otomatis teh yang mama pegang tumpah," jawab Nyonya Ingrid. "Ini oles salep bakar agar tidak melepuh, Ki!" titah Tuan Hardi kepada putranya. Reski menerima salep itu kemudian mengoleskannya di kaki istrinya yang memerah. "Jangan panik, Mas! Ini cuma perih," ucap Bunga. "Lain kali hati-hati, Yang!" Reski meniupi kaki istrinya yang baru dioles salep. Sedangkan Nyonya Inggrid memandang kesal ke arah menantunya. 'Tunggu saja, aku bakal berikan kejutan hingga kau tak bisa lagi melawanku!' Nyonya Ingrid bergumam dalam hati. Bunga hanya diam sambil memandang ibu mertuanya itu. Dia sadar betul kalau dia tak menyenggol tangan wanita paruh baya itu. Kenyataannya adalah, Nyonya Inggrid yang sengaja memantik masalah demi mencari perhatian suami dan anaknya. 'Sabar, Bunga! Kau sudah melewati banyak hal hingga kau berada di fase ini. Anggap saja semua yang terjadi pada dirimu adalah ujian naik kelas,' ucap Bunga dalam hati. Ada masanya Bunga ingin menyerah dan mengakhiri semuanya. Tapi, cinta suaminya adalah penyemangat dalam menjalani rumah tangga yang begitu dramatis ini. Maka, apa pun yang datang ke dalam bidupnya akan dia buat happy meski di hatinya merasa sakit. "Aku antar kau ke kamar ya?" Reski menatap lembut ke arah istrinya. Bella mengangguk, dia mencopot satu sandalanya agar tak mengenai kakinya yang luka. Namun Reski bertindak cepat dengan menggendong sang istri. "Pa, Ma, kita ke kamar dulu!" pamit Reski kepada kedua orang tuanya. "Iya, biar Bunga istirahat. Kalau besok kakinya bengkak, bawa ke rumah sakit," jawab Tuan Hardi. Reski mengangguk sebelum dia meneruskan langkah menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, Bunga di dudukkan di atas ranjang. "Terima kasih," ucap Bunga menghentikan langkah Reski yang sudah menjauh. "Sama-sama, Sayang. Besok kalau tidak membaik kita ke dokter ya!" Bunga hanya mengangguk saja, daripada dia menolak dan akhirnya mendengarkan ceramah dari suaminya. Reski mengambil tas kerjanya kemudian duduk di sofa yang ada di kamarnya. "Aku cek kerjaan dulu, ya?" Bunga mengangguk dengan senyum tipis, 'Jangan berubah dingin lagi seperti setahun kemarin, Mas! Biarkan begini saja asal kau tak menjauh dariku, aku akan terima perlakuan ibumu dengan lapang hati.' Setelah beberapa menit berlalu, Reski selesai dengan pekerjaannya. Dia mulai mengganti baju dan juga mengambilkan baju ganti untuk istrinya. "Aku bisa sendiri, Mas," ucap Bunga saat suaminya memberikan baju piyama. "Kau masih malu jika aku yang menggantikan baju untukmu?" tanya Reski dengan tatapan nakal dan senyum menggoda. "Ish ...! Enggak gitu juga tapi—" "Tapi, kamu takut kalau aku apa-apain!" Reski memotong ucapan istrinya kemudian keduanya tertawa bersama. "Kamu ganti, dan aku akan melihat Malik sudah pulang apa belum," ucap Reski. "Jangan terlalu keras kepada adik sendiri, Mas!" Bungan mengingatkan suaminya untuk tidak membuat Malik semakin liar dengan kemarahannya. Kau tenang saja," jawab Reski sambil berjalan keluar dari kamar. Reski berjalan ke arah kamar adiknya yang tak jauh dari kamarnya. Hanya selang tiga kamar dan letak kamar Malik ada di paling ujung. Lelaki bertubuh tinggi itu mengetuk pintu kemudian masuk ke dalan kamar adiknya. "Kakak ...?" Malik terkejut karena tak biasanya kakaknya masuk ke dalam kamarnya. "Kau baru datang?" tanya Reski meihat jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Malik mengangguk sebagai jawaban kemudian dia duduk di ranjangnya. "Ada apa, Kak?" "Tidak ada hal penting. Hanya akan bicara sesuatu saja," jawab Reski menatap wajah adiknya. Sesaat keduanya hening, hingga suara Reski kembali mengiterupsi. "Kau sudah dewasa, Malik. Tentu saja sudah punya dunia sendiri. Tapi, hanya satu pesan Kakak. Nakal, boleh. Asal kau tahu mana tanggung jawab sebagai anak yang baik itu seperti apa." "Pergaulan di luar sana itu sangat tidak baik. Banyak hal yang ingin kamu tahu dan mungkin ingin kamu coba. Tapi, harus ingat kalau kamu masih harus sekolah untuk bekal saat kamu sudah bekerja." Malik hanya dian mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kakaknya. Pemuda itu menyadari kalau dia begitu urakan. Bahkan kuliah pun sering telat. "Apa kamu pikir Kakak tak memperhatikan setiap gerak gerikmu?" tanya Reski masih menatap lekat ke arah adiknya. Malik mengangkat pandangannya, menatap lekat wajah kakaknya. "Maaf, Kak!" Dua kata yang keluar dari bibir Malik, pemuda tampan itu sangat takut kala sang Kakak memandangnya dengan tatapan yang tak biasa. "Mama yang selalu mendukung setiap langkahmu kan? Tapi, kalau kamu terus hidup di bawah nangungan orang tua, kapan kau mandiri? Ayo, Malik, kau harus berubah menjadi pemuda yang lebih baik. Jangan sampai kau menyesal!" Reski menepuk pelan pundak Malik kemudian keluar dari kamar adiknya. Langkah lelaki tampan itu kembali ke kamarnya. "Sudah lega bisa bicara dengan Malik. Anak itu selalu dimanjakan Mama!" Reski membaringkan tubuhnya di dekat istrinya. "Kau tidak memarahinya, kan?" tanya Bunga menatap ke arah istrinya. "Tidak, Sayang. Ayo kita tidur!" Reski memeluk erat tubuh langsing istrinya kemudian memejamkan mata. Lelaki tampan itu ingin memperbaiki semua sikapnya kepada Bunga agar rumah tangganya segera dikarunia seorang bayi. Bayi yang akan menguatkan hubungan pernikahannya. Bayi, yang selalu diocehkan sang mama. * Waktu berlalu begitu cepat, entah sudah berapa kemalangan yang diperoleh Bunga setiap Reski berangkat kerja. Seperti siang ini ibu mertuanya pulang dari arisan membawa seorang gadis cantik yang katanya anak temannya. "Bunga bawakan kami minuman yang seger dan jangan lupa makanan ringannya!" titah Nyonya Inggrid. Bunga menatap sekilas ke arah wanita cantik itu, Mamanya Reski melihat kalau menantunya curi pandang ke arah gadis yang ia bawa. "Bunga kenalin dia Rosmala, dia anak sahabatku," ucap Nyonya Ingrid memperkenalkan gadis itu ke menantunya. Rosmala menatap malas ke arah Bunga. Sedangkan istri Reski itu tersenyum ramah ke arah wanita berpenampilan mewah itu. Tanpa menunggu lama, Bunga memilih pergi ke dapur agar tak kena marah oleh ibu mertuanya. "Nona mau apa?" tanya Mbak Sri saat melihat Nona-nya sibuk. "Ada tamu, Mbak. Aku disuruh Mama bikin minuman dan bawa cemilan," jawab Bunga menatap sekilas ke arah Mbak Sri. "Owh, biar saya saja, Non! Nona Bunga duduk di sini!" Mbak Sri menarik pelan lengan Bunga agar duduk di meja makan. "Dijamin Nyonyah enggak bakal ke dapur, Non. Enggak usah tegang begitu!" Mbak Sri menenangkan majikannya. Bunga hanya tersenyum canggung karena dia tak dapat menyembunyikan rasa takutnya karena ibu mertuanya yang suka ngomong pedas. Setelah beberapa menit berlalu, Mbak Sri sudah selesai membuat dua gelas minuman rasa jeruk dan juga satu toples kecil kue kering. "Ini, Nona!" "Terima kasih, Mbak!" Bunga mulai membawa nampan itu ke arah ruang tamu. Langkah Bunga sempat terhenti saat ibu mertuanya itu membicarakan dia di depan tamunya. 'Anggap saja angin lalu, Bunga!' "Ini orang yang di omongin nongol. Lelet banget sih, Bunga!" Nyonya Inggrid menatap kesal ke arah menantunya. "Maaf, Ma" Dua kata untuk menenangkan ibu mertuanya. "Kamu mau tahu enggak Rosmala ini aku bawa ke sini untuk apa?" tanya Nyonya Inggrid dengan nada angkuh. Bunga hanya menggeleng tanda tak tahu. "Dia aku bawa ke rumah untuk aku kenalkan dengan Reski!" "Owh, tapi, Mas Reski belum pulang, Ma!" Bunga masih tak paham akan pembicaraan ibu mertuanya. Senyum aneh tersungging di bibir Rosmala wanita itu seolah menertawakan keb*d*han istri CEO muda yang tampan itu. "Ya biarkan saja, dia siap menunggu. Dia akan menggantikanmu menjadi istrinya karena kamu enggak hamil juga!" Perkataan Nyonya Inggrid itu bak belati tajam yang menikam jantung Bunga. Wanita berambut panjang itu langsung berbalik untuk meninggalkan ruang tamu. Rasanya dia sudah tak tahan untuk tidak menangis. 'Kenapa harus selalu begini ya, Allah .... Semua ini menjadi beban berat untukku. Hanya sebuah keturunan, setiap saat aku harus menerima perlakuan buruk secara berkala,' ucap Bunga dalam hati. Bunga bersandar di tembok dapur dengan menggigit bibirnya agar isak tangisnya tak diketahui siapapun. Namun ada seseorang yang secara tiba-tiba mengangetkannya karena usapan lembut di bagian pundak. Bunga menoleh dengan air mata berurai, dia semakin terisak saat mengetahui siapa yang datang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN