"Apa yang ada di otakmu, kenapa kau menatapku begitu?" tanya Body ketika menyadaro bahwa White menatapnya tanpa berkedip.
"Ah, tidak apa-apa, Phi." White bergeser lalu mengusap wajahnya, yang telah diolesi saleb oleh Body, "Sudah selesai, kan?"
"Hmm, sudah selesai. Sekarang buka bajumu."
White langsung terbelalak, dan otomatis menjauh dari Body, "Kenapa aku harus membuka bajuku!?"
"Ei ...." tak! Body memukul kepala White.
"Phi! kenapa kau memukulku?"
"Sebenarnya kau memikirkan apa dari tadi. Kenapa kaget begitu saat aku menyuruhmu membuka baju? kau pikir aku mau melakukan apa?"
"M-Memangnya Phi mau melakukan apa?"
"Bocah ini. Aku hanya mau mengoleskan saleb di perutmu. Kau dipukul di bagian itu juga, kan?"
"Kenapa Phi mengoleskan saleb di perutku! aku bisa melakukannya sendiri!" White berdiri lalu menatap Body dengan cemberut.
"B*odoh! sadarlah, kau itu laki-laki. Kita berdua laki-laki, kau pikir aku akan melakukan sesuatu yang aneh padamu? aku masih normal!"
"Terserah!" White merebut saleb dari tangan Body, "Aku akan melakukannya sendiri!" White bergegas masuk ke kamar lalu menutup pintu.
"Wah! dia itu gila atau apa? bisa-bisanya ... aish, dasar bocah."
***
Ranjang yang ditiduri White dari tadi berderit. Keempat kaki ranjang yang lemah itu bergeser, tatkala White menggerakkan tubuhnya. Sejak masuk ke kamar dua jam yang lalu, White belum juga keluar. Dia tidak tidur, hanya berbaring dengan gelisah di ranjang tua yang telah uzur tersebut. Awalnya White ingin mengganti ranjang milik Body itu dengan yang baru. Namun, Body sudah memberi ultimatum agar White tidak merubah barang-barang yang ada di kamarnya. White juga tak mau memaksakan kehendak, karena sangat tidak sopan mengatur sesuatu yang sebenarnya milik orang lain, jika orang tersebut tidak menginzinkannya.
White telah berguling kekiri dan kanan untuk kesekian kalinya. Dia berusaha untuk mengabaikan rasa penasaran di kepalanya. Namun, dia akhirnya duduk dan menatap ke pintu kamar.
"Phi Body sudah pulang atau belum? apa aku keluar saja?" White memutar tubuhnya lalu menjejakkan kakinya ke lantai, "Aih, tapi aku terlalu malu untuk bertemu Phi Body. Kenapa dia bersikap aneh dengan cara ingin memakaikan saleb di perutku?" White kembali menatap pintu, "Apa aku keluar saja? tapi ... aku sudah berpura-pura tidur dari tadi. Rasanya sangat aneh jika aku keluar dan Phi Body masih ada di sofa sana."
White dilema. Selain masih merasakan nyeri, perut White juga merasakan lapar saat ini. Dia terlalu gengsi untuk pergi keluar, karena Body pasti akan mengatainya lemah dan mulai mengatakan hal-hal sesuka hatinya lagi.
"Tapi, Phi Body tak mungkin ada disana jam segini, kan? dia pasti sudah pulang ke rumahku. Untuk apa dia tetap diluar jika tak ada sesuatu yang bisa dia lakukan?"
White akhirnya berjalan pelan kearah pintu. Dia memutar gagang pintu dengan hati-hati. Beberapa detik kemudian, dia mulai mengintip. Body tak terlihat di sofa tempat dia sebelumnya duduk, "Kurasa dia sudah pulang," gumam White lalu keluar dari kamarnya dengan sambil melihat ke sekitar, "Ah, syukurlah dia benar-benar sudah pergi," White menghela nafas lega.
"Kau baru bangun?"
"Wuaa!" White kaget. Tiba-tiba saja Body muncul di meja makan mengejutkannya, "Phi Body ... Phi belum pulang?" Body mengangkat bahunya, lalu duduk di depan meja makan, "Phi dari tadi mengerjakan apa?"
"Menonton televisi, main game, tidur, dan ... memasak," jawab Body sambil menunjuk nasi dan telur dadar polos di meja makan yang baru saja dia buat.
"Phi tak berencana menginap disini, kan?" tanya White dengan hati-hati.
"Pond belum pulang. Kau yakin mau di rumah sendirian?"
"Phi Pond akan pulang sebentar lagi. Walau akhir pekan dia selalu pulang larut, tapi dia tetap pulang."
"Dia tidak akan pulang. Dia menginap di tempat pacarnya."
"Ah, benarkah? berarti Phi akan menginap disini!?"
"Menurutmu?"
"Ibu tidak akan mengizinkan aku menginap diluar. Saat syuting saja jauh saja, ibu selalu meminta Phi New menjemputku."
"Ibumu sudah mengizinkan."
"Benarkah? kenapa? ah, maksudku ... Phi benar-benar meminta izin pada ibu?
"Kau pikir aku bohong?"
"Phi bilang akan menginap disini? Phi menyebutkan nama Phi?"
"Body Hemsakul. Aku menyebutnya dengan jelas."
"Tak biasanya ibu mengizinkan aku menginap. Apalagi di rumah laki-laki."
"Pfttt. Kau pikir kau perempuan? berhenti bertingkah bodoh, dan hiduplah secara normal. Kenapa kau masih disana? makananmu akan segera dingin."
White bergegas menuju meja makan, dan menatap nasi serta telur dadar yang disiapkan Body untuknya.
"Phi memasak untukku?" White tampak tersenyum dengan gembira.
"Hanya telur dadar. Aku tak bisa masak yang lain,"
"Terimakasih, Phi." White duduk dengan raut bahagia terukir nyata di wajahnya
"Kau sesenang itu? hanya karena dimasakkan telur dadar polos begini?"
"Belum pernah ada orang yang memasak untukku. Selain ibu tentunya, dan ... aku belum pernah memakan telur dadar murni seperti ini."
"Telur dadar murni?"
"Aku selalu memakan telur dadar dengan campuran, daging, sayuran kentang, atau paprika. Sedangkan ini ... bahkan tidak ada irisan bawang. Benar-benar telur dadar murni."
"Dasar. Itu karena kau kaya. Kami hanya memasak telur dengan garam, untuk menghemat. Makanya aku hanya bisa membuat ini."
"Aku akan makan. Terimakasih, Phi."
White memasukkan suapan pertama ke mulutnya, "Ternyata telur dadar polos enak juga."
"Tentu saja. Aku membumbuinya dengan baik."
Body melirik White yang tampak bersemangat memakan telur dadar buatannya. Diam-diam Body tersenyum. Ini kali pertama dia memasak untuk orang lain, dan orang tersebut menyukai masakannya. Bahkan Body tidak pernah memasak untuk Pond.
Selesai makan, dan membereskan meja makan. White duduk di tempat tidur, sambil menatap Body yang berbaring di lantai beralaskan kasur tipis.
"Phi, kenapa kau tidur di bawah sana?" tanya White sambil memeluk boneka beruangnya.
"Kau masih sakit, kan? jadi aku akan tidur di bawah, kau tidur saja di ranjang."
"Maksudku ... kau kan bisa tidur di sofa depan."
Body terdiam, dia otomatis duduk dan menatap White, "Kau mengusirku dari kamarku sendiri?"
"B-Bukan begitu ... setidaknya saat di rumahku, aku bahkan tidur di kamar ibu. Kalau begitu, Phi tidur di kamar Phi Pond saja."
"Tidak mau," Body berbaring membelakangi White.
"Kenapa kau tidur di bawah sana? kau membuatku merasa tidak nyaman."
"Kau ingin aku tidur di ranjang dan berhimpitan denganmu?" Body berbalik lalu menatap White lekat.
"Bukan begitu! siapa yang ..."
"Hahaha, kenapa wajahmu memerah? dasar b*doh. Kita kan pernah tidur bersama."
"Itu bukan tidur bersama!"
"Lalu apa? bukankah kita sama-sama tidur?"
"M-Maksudku ... itu ..."
"Kau ini. Sudah kubilang hiduplah dengan normal. Kemarikan!" Body merebut boneka beruang White lalu menaruh boneka itu di kepalanya sebagai bantal.
"Phi Body! tidak, tidak, kembalikan bonekaku. Kenapa kau membuat bonekaju sebagai bantal? bulunya bisa rusak!"
"Coba saja kau ambil kalau berani."
White terdiam. Dia tak berani mendekat, apalagi mengambil boneka di bawah kepala Body. White akhirnya memilih berbaring. Sejenak suasana hening, tak ada satupun dari mereka yang bicara, tak ada juga dari mereka yang tertidur. Mereka hanya diam, menikmati sunyi. Merangkai-rangkai kata untuk diucapkan, namun tak juga terucap dari mulut mereka masing-masing.
"Aku juga belum pernah," ucap Body setelah kesunyian yang mendominasi mereka.
White berbalik, tampak Body menerawang ke langit-langit ruangan, sambil menarik nafas panjang.
"Aku juga. Belum pernah ada orang yang memasak untukku sejak usiaku lima belas tahu, dan ... sejak usia tiga belas tahun, aku belum pernah merasakan masakan seorang ibu. Hingga aku bertemu dengan ibumu."
TBC