"Aku juga. Belum pernah ada orang yang memasak untukku sejak usiaku lima belas tahun, dan ... sejak usia tiga belas tahun, aku belum pernah merasakan masakan seorang ibu. Hingga aku bertemu dengan ibumu."
"Kalau begitu ibu Phi ..."
"Ibu sudah tidak ada sejak usiaku tiga belas tahun, dan aku mulai hidup sendiri sejak usia lima belas tahun, karena tak ingin bersama ayahku."
"Bagaimana bisa anak remaja tinggal sendiri diusia itu?"
"Hahaha, kau pasti berpikir begitu karena kau kaya," Body berbalik lalu menatap White. Mereka berbaring sambil menatap satu sama lain, "Kau itu, Tuan Muda jadi tak kan mengerti. Hidup sendiri itu sangat mudah, kau tak perlu bergantung dengan orang lain."
"Tapi ... aku tetap ingin hidup bersama ibuku."
"hmm, kau memang anak manja."
"Aku hanya punya ibu. Ibu menyayangiku dan menerima semua keadaanku."
"Semua ibu memang begitu. Tak ada ruang bagi mereka untuk membenci."
"Phi ..."
"Hmmm,"
"Phi sebenarnya orang baik."
"Jadi selama ini kau menganggapku tidak baik?"
"B-Bukan begitu, Phi bukannya tidak baik hanya saja ... sedikit kasar,"
Body menatap White lekat, lalu mengambil boneka beruang yang ada di bawah kepalanya dan melemparkan boneka tersebut ke White. White kaget, tapi dia bisa menangkap boneka tersebut dengan aman.
"Tidurlah, dan jangan biarkan orang lain memukul wajahku lagi. Aih, kau ini benar-benar," Body berbalik lalu menutup matanya.
White tersenyum, dia perlahan mengambil guling dan menaruh guling tersebut ke samping Body, "Selamat tidur, Phi."
***
Keesokan harinya, seharusnya Body pergi ke lokasi syuting hari ini. Tapi, karena White tidak bekerja, Body memutuskan untuk meminta izin agar tidak melakukan syuting. Sebagai gantinya keesokan harinya dia akan mengambil adegan ekstra. Hal itu membuat White protes. Dia tak pernah bolos syuting sekalipun, tapi kini dia melakukannya. Walau yang melakukan itu adalah Body. White menatap Body dengan cemberut sambil memotong apel di tangannya.
"Kenapa Phi tak bekerja hari ini? aku tak pernah bolos kerja sekalipun. Itu bisa merepotkan para kru dan pemain."
"Karena kau tak mau mengantarku."
"Sudah kubilang. Bawa saja mobilnya, kita tak boleh terlihat begitu akrab di luar. Jika Phi Zee melihat kita, dia akan salah paham."
"Salah paham apanya?"
"Pokoknya Phi harus selalu bersama dengan Phi Zee. Kalian harus membangun kemistri yang bagus baik itu di tempat syuting atau diluar syuting."
"Masa bodoh,"
"Phi! dengarkan kata-kataku. Aku ingin memenangkan best couple tahun ini."
"Ya ampun. Kau begitu ingin memenangkannya? kau ingin memamerkan penghargaan b*doh itu kesemua orang?"
"Aku mau membuat ibu bangga."
"Kau pikir ibumu akan bangga melihatmu memenangkan best couple sementara couple -nya sendiri adalah sesama laki-laki?"
"Tentu saja. Ibu selalu bangga dengan semua pencapaianku."
"Lalu apa hubungannya dengan mobil? kenapa kau menyuruhku membawa mobilmu kembali?"
"Ah, itu agar Phi tak kesusahan pulang dan pergi ke tempat syuting. Aku tak bisa mengantarkan Phi lagi, jika mau memenangkan best couple ..."
"Lalu kau bagaimana? mau naik taksi ke tempat kerja?"
"T-Taksi ...." White terdiam dan mulai ketakutan, "M-Masalah itu jangan dipikirkan. Aku akan mengurusnya sendiri."
"Kau mau beli mobil baru?"
"Tidak juga ... ah, benar. Lebih baik aku membeli mobil baru saja."
"Kau ini ... tidak bisa! jika kau tak mau membawa mobilmu, aku akan mengantarmu ke tempat kerja."
"Tidak bisa, Phi ... kau lebih baik terus bersama dengan Phi Zee. Jika orang selalu melihat kita berdua, maka proyek bisa bermasalah."
"Kau ini sebenarnya takut si Br*ngsek itu berpaling darimu, kan? karena kau tak bisa menempel padanya. Jadi kau menyuruhku yang berada di tubuhmu ini untuk selalu mengawasi dia."
"Aku hanya ingin memenangkan Best couple."
"Bohong, itu hanya alasan."
White terdiam. Yah, ingin memenangkan pasangan terbaik memang hanyalah alasan. Tapi ingin mengawasi Zee juga bukan alasan yang sebenarnya. White hanya mengingat kata-kata Zee bahwa dia akan membuat perhitungan jika White dan Body masih terus terlihat bersama. Jika sudah begitu, bukan hanya White, tapi Body jika bisa saja berada dalam masalah. Selain itu, Body memang ada benarnya. White sedang menunggu Zee untuk berubah. Dia menunggu Zee untuk menyukainya secara tulus. Dia harus memastikan Body bersikap baik, agar tidak kehilangan Zee.
"Akh!" White tanpa sadar tangannya dengan pisau. Body terlonjak, lalu segera menghampiri White.
"Kau tak bisa membedakan apel dan tanganmu sendiri? kenapa kau memotong tanganmu!"
"Kerena Phi sangat cerewet. Mengganggu konsentrasiku!"
"Kau yang melamun tapi malah menyalahkan aku! aish, dasar b*doh. Kemarikan!" Body merebut apel dan pisau dari tangan White, "Bersihkan lukamu. Biar aku yang melakukan ini."
Body menggantikan White memotong apel, sementara White mencuci lukanya. Selesai dengan itu, White mengambil handuk bersih untuk mengeringkan lukanya, dan mengambil plester untuk menutupi lukanya dengan susah payah.
"Kau kesulitan?" tanya Body lalu menghampiri White yang duduk di depan meja makan. Dia sudah selesai memotong apel, dan menaruh apel tersebut di atas meja, "Kemarikan!" Body mengulurkan tangan.
"Tidak Phi, aku bisa sendiri, sebentar lagi selesai," ucap White, masih berusaha membuka lapisan plester di tangannya. Namun, sayangnya plester tersebut malah meregang dan menempel satu sama lain.
"Aih, dasar keras kepala. Bukan begitu caranya!"
Body menarik kursi White agar White mendekat. Dia kemudian membuka selembar plester lagi, dan menempelkan olester tersebut dengan hati-hati ke jari telunjuk White yang luka.
"Lihat, mudah kan? kalau kau tidak bisa, katakan tidak bisa. Jangan keras kepala."
"Hmm, terimakasih." White memonyongkan bibirnya sambil menunduk.
"Makan apelmu. Karena hari ini tidak ada kegiatan, lebih baik kita ke tempat yang penting saja."
"Tempat penting apa maksud Phi?"
"Kau akan tahu nanti. Habiskan apelmu, dan bersiaplah."
***
White berdiri di ambang pintu gerbang dengan berbagai tempelan kertas dan kain di atasnya. Dia tak bergerak sedikitpun. Beberapa detik kemudian, White mundur selangkah dari gerbang tersebut dengan matanya yang terbelalak, seekor burung gagak terbang di atas kepalanya, hampir membuat jantungnya lepas.
Body yang susah lebih dulu masuk dengan santai, menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap White yang mematung.
"Kenapa kau masih disana? ayo masuk," ajak Body. Namun, White menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah mundur.
Body menghela nafas, dan berjalan kembali menghampir White, "Kau takut?"
"P-Phi ... ini tempat apa? mengerikan sekali. Aku tidak mau masuk,"
"Kita harus mencari cara mengembalikan jiwa kita seperti semula."
"Tapi ... kenapa harus kemari?"
"Aku dengar disini ada dukun hebat. Dia pasti punya cara."
"Phi, jaman modern ini bagaimana kita masih percaya pada dukun?"
"Menurutmu dukun tak bisa membantu kita?" White kembali menggeleng. Body menatap tangan White yang mengepal, dan agak gemetar. Jelas sekali dia takut untuk masuk ke dalam rumah dengan hawa suram di depan mereka. Body terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya, "Kau hanya ketakutan, kan? dasar pengecut."
"Jika ibu tahu kita ada disini, ibu pasti akan marah,"
"Jangan bawa-bawa ibumu. ayo," Body menggenggam tangan White, lalu menarik White agar masuk ke dalam.
"Phi!"
"Tenanglah, jangan takut. Ada aku disini," Body tersenyum. White terdiam sejenak, mendengar perkataan Body membuatnya merasa aman. White akhirnya mempercayai dan mengikuti Body masuk ke dalam, menuju rumah berdinding kulit kayu yang suram tak jauh dari gerbang utamanya.
White bersembunyi di belakang Body begitu mereka masuk. Tampak seorang laki-laki paruh baya, tengah duduk di lantai dengan berbagai macam benda di depannya. Ada bunga, kelapa, serta sebuah wadah berisi bara api dengan bau yang menyengat.
White terhenti saat melihat laki-laki tersebut. Dia tampak berpakaian normal seperti orang desa kebanyakan. Mengenakan kaus berwarna putih polos, dan kain sarung. Begitu melihat White dan Body, dia tersenyum lalu menyuruh mereka duduk dengan gerakan tangannya.
"Phi, yakin kita akan mendapat solusi disini?" bisik White dengan gugup.
"Kita coba saja. Tidak ada jalan lain lagi, kan? kau diam dan tetap di sampingku, biar aku yang bicara."
White mengikuti Body dan duduk di samping Body, dia duduk agak rapat lalu memegangin kemeja Body, karena masih merasa takut.
"Hmm ... sepertinya kalian datang dari jauh. Ada yang bisa kubantu?" tanya laki-laki di depan mereka. Setelah laki-laki itu bersuara, hawa seram disekitar tempat itu seolah memudar.
"Begini Khun ..."
"Panggil saja aku Aroon,"
"Ah, Khun Aroon, kami datang karena ada masalah yang tak bisa diselesaikan," ucap Body dengan tenang.
"Masalah? hmm, temanmu tampak ketakutan melihatku,"
"T-Tidak Khun ... aku hanya ... hanya ...." White menatap Body, lalu menundukkan kepalanya, "Maaf, bukan maksudku takut padamu,"
"Hahaha, jiwamu lembut sekali, jelas tak cocok dengan tubuhmu ini, kan?"
Mendengar tanggapan dukun yang dipanggil Aroon tersebut, Body langsung terperangah, tampaknya Khun Aroon mengerti dengan keadaan mereka.
"Maksud Khun ... Khun tahu bahwa jiwanya ..."
"Dan kau, parasmu begitu lembut. Tapi cara bicara dan sikapmu sangat berani, kalian tertukar?"
TBC