"Maka dari itu. Kau harus membantuku, berakting itu mudah, aku akan mengajarimu, aku akan membantumu mempelajari dialog dan melakukan adegan yang natural. Bagaimana?"
"Tidak!"
"Tapi ibuku akan ..."
"Keluar dari sini! kau benar-benar menyusahkan. Keluar!" Body mendorong White keluar dari kamarnya lalu menutup pintu.
White menghela nafas, dan menunduk, "Aku harus bagaimana? Phi Body benar-benar jahat."
"Apa yang terjadi? sepertinya kau sedang ada masalah," Bu Lada mendekati White. White ingin sekali memeluk ibunya tersebut. Tapi, dengan keadaannya saat ini, rasanya tak mungkin dia bisa melakukannya.
"Ah, tak ada masalah apapun, Bu. Aku permisi dulu,"
"Body, aku senang kau berteman dengan White. Sepertinya kalian cukup akrab. Kau kesini membawa mobil White, kan?"
"B-Benar, Bu. Maaf aku akan mengembalikannya," White merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil.
"Tak perlu. Itu milik White, jadi dia bebas mau melakukan apapun, termasuk memberikannya kepadamu."
"Tidak Bu. White tidak memberikannya. Dia hanya meminjamkan padaku."
"Hmm, kau ini imut sekali. Tak perlu khawatir begitu. Ah, kau mau pulang? bagaimana jika tetap disini dan makan malam bersama kami?"
"Benar, aku ingin makan malam bersama ibu. Aku rindu masakan ibu, tapi ..."
"Body,"
"Tak perlu Bu, aku masih ada urusan. Aku permisi dulu," White membungkuk, lalu segera beranjak pergi.
"Anak itu, tingkah lakunya mirip seperti White, manis sekali," ucap Bu Lada sambil tersenyum.
***
"White, makan yang banyak. Ibu tak mau kau berdiet lagi. Kau harus makan banyak daging, agar kau bersemangat. Biasanya kau menghindari daging karena berdiet, padahal daging adalah makanan kesukaanmu, ibu jadi sedih,"
Body menatap semua makanan yang tertata di atas meja. Begitu banyak daging, sayuran, makan laut, dan hidangan lainnya. Matanya berbinar melihat semua makanan tersebut, "Si l*mah itu berdiet padahal dia bisa makan makanan mewah selengkap ini? dasar b*doh," batin Body, lalu segera menaruh banyak daging ke piringnya.
"Kau mau ini juga?" tanya Bu Lada, sambil menunjuk kepiting rebus yang ada di depannya. Body segera mengangguk, Bu Lada kemudian menaruh kepiting tersebut ke piring White, "Senang melihatmu makan lahab begini. Ah, sayang temanmu pulang. Jika dia ikut makan malam bersama kita pasti lebih seru."
Body tak bicara. Dia sibuk memenuhi mulutnya dengan berbagai makanan, hingga mulutnya menggembung. Bu Lada tersenyum lalu mengelus kepala Body, "Jangan terburu-buru. Pelan-pelan saja, kau bisa tersedak nanti."
Body menatap Bu Lada, lalu tersenyum dengan mulut penuh. Bu Lada sangat bahagia melihat senyum putranya itu, semenjak pulang dari rumah sakit, hari ini pertama kalinya Bu Lada melihat putranya tersenyum dengan tulus.
"Hmm, White ... katakan pada ibu, apa kau ... ada masalah?"
"Tidak. Aku baik-baik saja," jawab White sambil memasukkan beberapa potong daging sekaligus ke mulutnya.
"Ibu tak bermaksud ikut campur. Tapi ... ada begitu banyak artikel bertebaran. Apa kau mau bercerita? sebenarnya apa yang terjadi di tempat syuting?"
"I-Itu ... sebenarnya ...." Body menunduk dan tak bisa menjawab pertanyaan Bu Lada. Apakah dia harus mengatakan bahwa akting sangat menjijikkan baginya. Itu tidak mungkin. Karena dia saat ini ada White Pattchara, seorang aktor yanh sangat mencintai pekerjaannya.
"White ... jika kau tak mau cerita, tak masalah. Ibu hanya khawatir padamu. Jangan melakukan hal yang bisa melukai dirimu sendri, hmm ..."
"Apa ibu sedih?" Body menatap Bu Lada. Kali ini tatapannya tampak lembut sekaligus tegas.
"Karena kau berlelahi di lokasi syuting? hmm, tak masalah. Kau pasti ada alasan melakukan itu, untungnya kau yang memukul. Jika kau yang dipukul ibu akan sedih,"
"Bagaimana dengan artikel dan komentar kebencian di media? ibu juga sedih mengenai itu?"
"Tentu saja. Tak ada seorang ibu yang senang jika anaknya dibenci. Tapi, apapun alasanmu melakukan itu, ibu harap kau melakukan hal yang benar, dan ... ibu mohon, jangan membuat ibu khawatir. Kau bisa ceritakan semua pada ibu. Ibu akan berusaha membantumu dan melindungimu."
"Jadi begini rasanya diperhatikan seorang ibu?" Body memasukkan sesuap makanan ke mulutnya. Dia berusaha menahan emosinya agar tidak menunjukkan wajah sedih di hadapan Bu Lada.
"Baiklah, kau harus makan yang banyak. Ingat, jika kau butuh tempat bercerita ibu selalu ada untukmu. Jangan memendam masalahmu sendiri, kau mengerti?"
Body mengangguk lalu meneruskan makannya. Dia tak bicara apapun lagi. Selesai makan, dia langsung menuju ke kamar dan langsung merebahkan diri. Body tidur dengan lelap hingga keesokan harinya.
***
Arunika mengintip dengan malu dari balik gorden abu-abu. Sebagian cahayanya menusuk tepat di mata White. Seperti biasa, White bangun lebih awal dan berbenah setiap paginya. Dia membersihkan rumah dan membuat sarapan untuk dirinya dan Pond. White berkali-kali menghela nafas pagi ini. Dia kehabisan cara untuk membujuk Body agar mau belajar akting. Jika Body masih seenaknya saja, dengan tubuhnya itu maka na White bisa menjadi buruk. Media dan fans akan meninggalkannya, dan terlebih Ibunya akan kecewa.
"Aku harus mencoba cara apa lagi? Phi Body tak mudah diancam ataupun di bujuk,"
White mendesah beberapa kali, lalu dudk di meja makan. Matanya menyipit, karena cahaya dari luar sana terus mengenai matanya.
"Phi Dew hanya memberiku waktu seminggu. Hah, semuanya kacau. Kenapa aku harus bertukar jiwa dengan Phi Body? apa yang sedang direncanakan Tuhan untukku?"
Beberapa menit kemudian, White yang tengah melamun dikejutkan dengan nada dering yang keluar dari gawainya. White segera mengangkat telepon tersebut begitu melihat nama si penelepon.
"Halo, Phi Body ..."
"Lemah, kali ini aku akan menurutimu. Tapi ini yang terakhir,"
"Maksud Phi, Phi mau belajar akting denganku!"?
"Hmm, tapi dengan catatan. Selama aku berakting dnegan tubuhmu, semua honor akting menjadi milikku."
"Tak masalah. Phi bisa mengambil semuanya. Terimakasih Phi Body!"
"Siang hari kau harus menggantikan aku sebagai teknisi, dan gajiku kau tak boleh mengambilnya. Itu semua milikku."
"Itu juga tak masalah!"
"Dasar orang kaya b*doh,"
"Tak masalah juga Phi memanggilku b*doh. Aku akan sarapan dan pergi bekerja sekarang. Phi di rumah saja, aku akan datang setelah bekerja,"
Body menutup teleponnya. White berlonjak kegirangan, "Akhirnya Phi Body luluh juga," White menyusun meja makan dengan ceria, "Phi Pond, ayo sarapan!"
***
"Body? kesini mau bertemu White?" Bu Lada tersenyum lembut ketika membuka pintu dan melihat White berdiri di depan pintu tersebut. Kali ini White memilih untuk bertamu dengan benar, tanpa menerobos masuk walaupun dia bisa melakukannya.
"Selamat sore, Bu. Iya aku mau bertemu White."
"Masuklah. White tak pernah membawa siapapun kemari, aku sangat senang kau sering berkunjung."
"Benar juga. Padahal Phi Zee sering ke rumah. Hanya saja saat ibu tidak ada. Ibu pasti mengira aku benar-benar tak punya teman."
"Apa yang kalian rencanakan hari ini? kalian akan jalan-jalan keluar?"
"Tidak, Bu. Aku disini untuk membantu White dengan aktingnya. Ibu tahu kan ... masalah di lokasi syuting ...."
"Ah, masalah itu. Aku juga terkejut. Mungkin kondisi emosi White tidak stabil pasca kecelakaan. Syukurlah kau mau membantunya."
"Tidak masalah, Bu."
"White! temanmu datang!" seru Bu Lada kepada Body yang selalu saja mengurung dirinya di kamar.
"Kalian mau latihan drama? latihan di kamar White atau ..."
"Di studio saja."
"Ah, White sudah memberitahumu bahwa dia memiliki studio pribadi?"
"I-Iya. Dia mengatakan padaku tempo hari."
"Baiklah, kalian berlatih saja. Aku akan siapkan makanan dan minuman,"
Bu Lada segera bergegas ke dapur. Sementara White langsung masuk ke studionya. Body uang baru saja bangun tidur keluar kamar dengan wajah yang kusut lalu melihat sekeliling.
"Kau mencari Body? dia sudah di studio. Ibu akan membuat minuman untuk kalian, jadi latihan saja dengan baik,"
"Studio? studio mana?" Body menggaruk-garuk kepalanya, "Ah, ruangan ini, aku lupa kalau ini studio."
Body segera masuk, dan menemukan White tengah memainkan piano. Nada dari tuts piano tersebut begitu lembut, dan sangat nyaman masuk ke telinga. Nada yang begitu indah seperti lagu penyembuh. Mungkin karena masih mengantuk, Body terpana sejenak di ambang pintu sambil menatap White. Kini dia tak melihat dirinya ada disana. Entah mengapa dia melihat White. Laki-laki dengan kulit putih dan wajah merona itu, duduk anggun sambil tersenyum memainkan nada yang begitu indah.
Body perlahan menutup pintu dan berjalan menghampiri White, "Hei ... Lemah, apa jiwa kita sudah kembali ke tempat asalnya?"
White menghentikan permainan pianonya, lalu menatap White sambil tersenyum, "Phi ..." White berdiri, lalu mengacak-acak rambut Body, "Sebaiknya cuci muka dulu. Phi sepertinya masih bermimpi, ya ampun lihat tampang yang berantakan ini, kapan terakhir kali Phi Mandi?"
Body akhirnya tersadar, lalu menepis tangan White darinya, "S*alan. Kenapa kau menyentuh rambutku,"
"Hahaha, kenapa Phi mengira jiwa kita sudah kembali?"
"I-Itu ..." Body terdiam sejenak, "Apa yang aku lihat tadi? sepertinya aku kebanyakan tidur," Body menggelengkan kepalanya, "Karena kau bermain piano. Aku sama sekali tak bisa main piano, jadi kukira tubuh kita sudah bertukar."
"Phi harus cuci wajah atau mandi. Kita akan mulai belajar akting beberapa menit lagi,"
"Kenapa aku harus mandi?"
"Setidaknya cuci wajahmu, Phi."
"Kenapa aku harus cuci wajahku?"
"Phi, kau bisa membuat wajahku berjerawat. Cuci sebentar saja, hanya taruh fashial foam di tangan lalu usap ke wajah ..."
"Kau tak perlu mengajariku itu, kau pikir aku bodoh!?" Body kembali keluar untuk mencuci wajahnya. Beberapa menit kemudian, Body masuk kembali sambil membawa kue dan minuman ke dalam studio.
"Ibu ... maksudku ibumu membuatnya. Dia pergi keluar sebentar untuk berbelanja."
"Terimakasih, Phi."
"Jangan tersenyum. Itu menjijikkan,"
"Hmm, baiklah. Kalau begitu ini," Whote memberikan salinan naskah kepada Body, naskah yang begitu tebal hingga membuat kepala Body pusing, "Baca naskahnya dulu, lalu kita mulai latihan adegannya beberapa menit lagi."
"Naskah setebal ini?"
"Kita mulai dari adegan tiga puluh lima. Karena yang sebelumnya sudah di ambil. Phi harus memahami alurnya dan perasaan pemeran di adegan itu."
"Repot sekali."
Body mengomel dan menghela nafas berkali-kali. Namun, dia masih membaca naskah tersebut.
"Baiklah, sudah siap? kita mulai adegannya. Phi lihat disini, suasana sangat suram karena Sky bersedih. Dia memilih meninggalkan orang yang dia cintai, jadi Phi harus memahami perasaannya. Bagaimana rasanya saat kita terpaksa meninggalkan orang yang kita cintai?"
"Entahlah, aku belum pernah melakukan itu."
"Aih, Phi. Phi harus memahami karakternya. Baik coba baca dialognya,"
"Aku sangat merindukanmu,"
"Bukan begitu. Masukkan sedikit perasaan ke dalamnya, sekali lagi."
"Aku sangat merindukanmu?"
"Phi!"
"Terserah, aku pusing!"
TBC